Dalam Islam solidaritas sosial mempunyai dua bentuk, aktif dan pasif. Solidaritas aktif adalah dengan melakukan kerjasama yang konstruktif (membangun), saling menyayangi, mencintai dan saling menunaikan hak, silaturrahmi, menyayangi anak-anak dan orang tua, saling mencintai antara yang lemah dan yang kuat, individu dan masyarakat, dan antara lembaga-lembaga yang beragam.
Sementara solidaritas pasif berupa upaya untuk menahan kedzaliman, tidak membiarkan jiwa permusuhan dan hawa nafsu syetan menguasai diri, melupakan kesedihan, menghilangkan duka, menutupi cacat dan kesalahan yang tidak sengaja, tidak berbohong dan menghina, tidak mengecewakan saat krisis dan musibah-musibah melanda, menahan diri untuk tidak menipu dan berbuat curang, tidak mengambil harta muslim lain dengan cara yang tak hak, bahkan menolongnya jika dia terdzalimi.
Allah swt berfirman: “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain.” (QS. Attaubah: 71)
Atau saling membantu dalam kebenaran dan bukan dalam kebatilan.
Juga firmanNya: Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan da takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS. Al Maidah: 2)
Sunnah Nabi juga telah menjelaskan semua bentuk-bentuk kerjasama dan solidaritas sosial ini.
Tentang solidaritas yang bersifat aktif, ada sebuah hadits muttafaq alaih yang diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda: “Hak seorang muslim atas muslim lainnya ada lima: menjawab salam, menjenguk orang sakit, mengiring jenazah, memenuhi undangan dan mengucapkan “Yarhamukallah” untuk orang yang bersin.”
Atau jika orang yang bersin mengucapkan “Alhamdulillah”, maka yang mendengar hendaknya mengucapkan “Yarhamukallah”, lalu yang bersin kembali mendoakannya dengan “Yahdiina wa yahdiikumullah wa yaghfir lakum”.
Dalam satu riwayat Muslim: “Hak seorang muslim atas muslim lain ada enam: Jika engkau bertemu dengannya maka ucapkan salam, jika mengundangmu maka datanglah, jika meminta nasihatmu maka berilah nasihat, jika bersin dan mengucapkan Alhamdulillah maka doakanlah ia, jika ia sakit kungjungilah, dan jika ia meninggal maka iringilah jenazahnya.”
Dan dalam riwayat muttafaq alaih antara Muslim dan Bukhari dari Abu Imarah al Barra’ bin Azib ra, dia berkata: “Rasulullah saw memerintahkan kita dengan tujuh perkara, dan melarang kita dari tujuh perkara: Beliau menyuruh kita untuk mengunjungi orang sakit, mengiring jenazah, mendoakan orang bersin, memenuhi orang yang bersumpah, membantu yang didzalimi, memenuhi undangan dan menebarkan salam. Dan beliau melarang kita untuk menggunakan cincin emas, minum dengan gelas perak, duduk di pelana yang terbuat dari sutera, mengenakan kain sutera, mengenakan pakaian sutera, dan mengenakan kain brokat dan mantel sutera.”
Dalam riwayat lain: “Mengumumkan barang temuan selama tujuh hari pertama.”
Prinsip dan aturan dalam hubungan sosial adalah persaudaraan. Dalam hadits muttafaq alaih diriwayatkan dari Anas ra, bahwa Nabi saw bersabda: “Seseorang tidak benar-benar beriman sampai dia mencintai saudaranya seperti dia mencintai dirinya sendiri.”
Sedang bentuk solidaritas pasif, diriwayatkan dalam hadits muttafaq alaih dari Ibn Umar ra, bahwa Rasulullah saw bersabda: “Seorang muslim adalah saudara muslim lainnya, maka tidak dibolehkan baginya untuk mendzaliminya, tidak menyerahkannya kepada musuhnya atau hawa nafsu dan syetannya, dan barang siapa yang bisa memenuhi hajat saudaranya, maka Allah akan penuhi hajatnya, dan barangsiapa yang melapangkan kesulitan orang muslim, maka allah akan melapangkan kesulitannya juga pada hari kiamat, dan siapa yang menutupi cacat seorang muslim, Allah akan menutupi cacatnya pada hari kiamat.”
Tirmidzi meriwayatkan –hadits hasan—dari Abu Hurairah ra, Rasulullah saw bersabda: “Seorang muslim adalah saudara muslim lainnya, tidak mengkhianatinya, membohonginya dan tidak mengecewakannya. Setiap muslim diharamkan atasnya muslim lain; kehormatannya, harta dan darahnya. Di sinilah ketakwaan –di hati—seorang muslim bisa dikatakan jahat dengan hanya menghina saudaranya yang muslim.”
Dalam interaksi yang biasa berpotensi menimbulkan pertentangan dan perselisihan, saling hasad dan saling membenci, Nabi saw memperingatkan kita dari sebab-sebab yang kira-kira akan menimbulkan hal-hal tersebut, menanam benih-benih perpecahan dan pertentangan dalam barisan umat.
Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda:
“Janganlah engkau saling hasud, dan melakukan jual beli najasy
, jangan saling membenci dan saling berpaling, jangan menawar barang yang sudah dibeli orang lain, dan jadilah hamba Allah yang bersaudara, seorang Muslim adalah saudara bagi muslim lainnya, tidak mendzaliminya, menghinanya, dan tidak mengecewakannya. Di sini letak ketakwaan (Nabi saw menunjuk dadanya tiga kali)
. Seorang muslim bisa dikatakan jahat dengan hanya menghina saudaranya yang muslim, setiap muslim diharamkan atasnya muslim lain; darahnya, harta dan kehormatannya.”
Bukhari meriwayatkan dari Anas ra, bahwa Rasulullah saw bersabda: “Bantulah saudaramu baik yang dzalim ataupun yang terdzalimi. Kemudian seorang laki-laki bertanya: Wahai Rasulullah! Aku memang akan mebantu orang yang terdzalimi, tapi bagaimana menurut engkau, jika orang itu berbuat dzalim bagaimana aku harus membantunya? Beliau menjawab: dengan mengurungnya dan melarangnya untuk berbuat dzalim, inilah bentuk bantuan untuknya.”
Hadits-hadits ini semuanya menunjukkan haramnya darah, harta dan kehormatan seorang muslim atas muslim lainnya. Juga menyatakan haramnya berbuat dzalim, menghina dan mengecewakan seorang muslim dengan tidak menolongnya pada saat menerima musibah. Di samping itu hadits juga menunjukkan haramnya mengambil harta orang lain dengan jalan yang tidak hak, seperti dengan berlaku curang, menipu, dan dengan najasy (meninggikan harga barang tanpa niat membelinya). Semua hal tadi bertentangan dengan prinsip amanat dan akhlak Islam yang mulia. (Taufik Munir)