Allah swt telah mengagungkan kesepakatan dan perjanjian, serta telah mewajibkan menepatinya, mengharamkan berkhianat dan berpaling atau merusak janji. Allah juga mengharamkan segala upaya untuk tidak melaksanakan sebagian pasal-pasal yang tercantum dalam sebuah nota kesepakatan. Karena Islam telah mengakui segala macam bentuk kesepakatan dan perjanjian manusia yang dibolehkan demi untuk menjaga iklim kestabilan, menebarkan perdamaian dan rasa saling percaya di antara manusia, melarang saling bertikai dan menguburkan segala jenis perselisihan yang dapat menimbulkan fitnah, kerusakan dan saling bunuh-membunuh.
Melanggar salah satu poin sebuah kesepakatan dan mengkhianati piagam perjanjian dianggap sebuah kelemahan dan merusak keimanan, memperlemah kekuatan dan meleburkan kemuliaan dan sifat kejantanan dan kehormatan. Lagi pula ini bertentangan dengan risalah Islam yang telah menyuruh menjaga kemuliaan ucapan dan mensucikan perjanjian dan kesepakatan.
Banyak sekali ayat-ayat dan hadits Nabi yang memerintahkan untuk menepati janji dan mengkategorikannya sebagai bagian dari iman, serta melarang untuk mengkhianati perjanjian atau salah satu syarat dan poinnya.
Allah swt berfirman: “Dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya.” (QS. Al Isra: 34).
Kata “al Ahd” dalam ayat ini mencakup seluruh jenis dan bentuk akad, pernjanjian dan kesepakatan. Mempertanggungjawabkan janji maknanya mempertanyakan pemenuhan dan penjagaannya.
Allah swt juga berfirman: “Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah(mu) itu sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpah itu). Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.” (QS. Annahl: 91)
Atau tepatilah apa yang telah menjadi kewajiban dan telah kalian sepakati, dan tepati pula apa yang telah menjadi kewajiban ubudiah kepada Allah.
Firman Allah swt: “Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat. Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan.” (QS. As-Shaff: 3).
Atau sangat dibenci Allah jika kalian mengucapkan satu perkataan tanpa melakukannya. Dalam hal ini ada peringatan yang keras bagi orang yang perbuatannya tidak sesuai dengan ucapannya.
Di zaman ini banyak sekali orang-orang yang pintar dalam mengeluarkan ucapan dan tidak melaksanakannya, atau melanggar isi dan kandungan sebuah akad dan perjanjian, seakan mereka tidak melihat bahayanya. Padahal melanggar janji di mata Allah adalah sebuah perkara dan kejahatan yang besar, karena perilaku ini mengandung dosa besar. Bahkan mengkhianati perjanjian merupakan warna kemunafikan amal dan bukan kemunafikan akidah.
Dalam hadits muttafaq alaih yang diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda: “Ciri-ciri orang munafik itu ada tiga: Jika berbicara ia berbohong, jika berjanji ia melanggarnya, dan jika dipercaya ia berkhianat.” Muslim menambahkan: “Walaupun ia berpuasa, shalat dan mengaku-ngaku sebagai muslim.”
Atau, walaupun ia mengerjakan pekerjaan kaum muslimin seperti shalat, puasa dan ibadah lainnya, ia tetap dikategorikan munafik jika melakukan ketiga hal tadi.
Dalam hadits muttafaq alaih lain diriwayatkan bahwa tanda-tanda kemunafikan itu empat. Diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr bin al ‘Ash ra, bahwa Rasulullah saw bersabda: “Ada empat hal yang jika keempatnya ada dalam diri seseorang, maka orang itu sudah dikatakan benar-benar munafik, dan jika sebagiannya ada pada dirinya, maka sebagian kemunafikan itu ada juga dalam dirinya sampai dia meninggalkan hal-hal tersebut, yaitu; ‘Jika dipercaya ia berkhianat, jika berbicara ia berbohong, jika berjanji ia berpaling, dan jika dia bertikai, maka dia bersikap lebih keras.”
Seorang munafik aslinya adalah orang yang menyembunyikan kekufuran dan menyatakan keislamannya. Dengan demikian batinnya buruk dan lahirnya terlihat baik. Kemunafikan merupakan tabiat yang buruk dan dapat mendatangkan bahaya bagi kemanusiaan baik individual maupun sosial.
Maksud dari kedua hadits ini adalah bahwa orang yang menyimpan sifat-sifat ini mirip dengan orang munafik dan berperilaku sepertinya di mata orang-orang yang telah dijanjikan dan dipercayainya. Hadits tadi tidak bermaksud bahwa orang seperti ini tergolong orang munafik yang berada pada tempat yang paling bawah di neraka Jahannam. Karena munafik itu ada dua macam, munafik syar’ie, yaitu menyembunyikan kekufuran dan menunjukkan keimanan, serta munafik ‘urfi, yaitu jika kondisi batinnya berbeda dengan amal nyatanya. Dan ini yang dimaksudkan dalam hadits tersebut.
Tidak ada pertentangan antara dua hadits tadi. Hadits yang pertama menyatakan tentang tiga sifat, sementara yang kedua empat sifat. Karena bilangan di sini tidak menunjukkan pembatasan dan tidak bisa dijadikan argumen. Oleh karena itu bisa ditambahkan satu sifat lagi sesuai dengan kondisinya. Atau bahwa empat sifat itu asalnya kembali ke tiga sifat dengan menambahkan: ‘Jika berjanji maka dia berpaling’ ke dalam kalimat: ‘Jika dipercaya ia berkhianat’.
Para sahabat salafussalih merupakan teladan yang sangat tinggi dalam menepati janji dan tidak berkhianat. Karena menepati janji sebagian dari iman, dan melanggarnya adalah satu warna pengkhianatan.
Ada sebuah contoh dari catatan ketinggian akhlak mereka. Dalam sebuah hadits muttafaq alaih yang diriwayatkan dari Jabir ra, dia berkata: Rasulullah saw bersabda: “Jika datang harta dari Bahrain, maka aku akan memberi kalian sekian…sekian…dan sekian…” Harta dari Bahrain itu pun tidak datang sampai beliau wafat. Dan ketika harta itu datang, Abu Bakar ra langsung memerintahkan kepada orang-orang yang dijanjikan Nabi untuk menerima harta tersebut agar mendatanginya. Jabir lalu berkata: Aku katakan pada Abu Bakar bahwa Nabi saw telah menjanjikan padaku sekian…dan sekian…Akhirnya Abu Bakar memberi jatahku, dan saat aku menghitungnya ternyata berjumlah 500. Lalu ia berkata: “Ambil dua lagi sejumlah itu.”
Ini merupakan bukti betapa Abu Bakar sangat menepati apa yang telah dijanjikan Rasulullah saw dengan mendasarkan keputusannya atas kejujuran dan kewara’an Jabir ra. (Taufik Munir)