Haramnya syafa'at (berbelas kasihan) dalam melaksanakan hudud, buang air besar di jalan, dan buang air kecil di air yang tergenang.
Islam ingin menjaga jiwa masyarakat, harta dan kehormatannya dari berbagai macam tindak kejahatan. Islam juga memburu para pelaku kejahatan dan kriminal tersebut serta telah menetapkan hukumannya yang tepat bagi mereka dan orang-orang semacamnya. Oleh karena itu Islam tidak membolehkan adanya syafa'at atau belas kasihan dalam melaksanakan hudud (hukuman yang telah ditetapkan secara syar'i). Di samping itu Islam juga menjaga lingkungan masyarakat dari berbagai macam bahaya dan pencemaran. Karena itu Islam mengharamkan buang air besar di jalan yang biasa dilalui manusia, di saluran-saluran air dan sebagainya termasuk tempat penyimpanan air, juga Islam mengharamkan buang air kesil di air yang tergenang.
Al qur'an dan sunnah Nabi telah membimbing kita tentang hukum-hukum ini disertai keterangan tentang hikmah dan alasan pelarangannya.
Tentang hukum haramnya belas kasih dalam pelaksanaan hudud dan wajibnya memberikan hukuman, lihat misalnya firman Allah swt tentang had zina: "Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat." (QS. An Nur: 2)
Atau bahwa pelaksanaan had itu wajib hukumnya, dan seorang pelaku kriminal tidak berhak mendapat belas kasihan sehingga dia bebas dari hukuman. Tidak diperbolehkan bermain-main dengan kewajiban seperti ini sesuai dengan ajaran iman kepada Allah dan hari akhir, juga untuk menjaga kehormatan dan kesucian masyarakat dari pengaruh dan dampak yang ditimbulkan zina dan perbuatan yang serupa dengannya.
Nabi saw telah menyerukan prinsip persamaan dalam masalah hukuman. Beliau tidak membolehkan berpilih kasih antara yang mulia dan yang hina, yang kaya dan yang miskin, laki-laki ataupun perempuan. Seruan ini merupakan aplikasi dari penghormatan terhadap aturan Allah dan syariatNya dalam kehidupan.
Dalam sebuah hadits muttafaq alaih yang diriwayatkan dari Aisyah ra: "Bahwa kaum Quraisy disibukkan dengan masalah seorang perempuan dari bani Makhzum yang mencuri, lalu mereka berkata: 'siapa yang bisa melaporkan hal ini kepada Rasulullah saw?' Ada yang menjawab: 'tidak ada yang berani kecuali Usamah bin Zaid, orang yang dicintai Rasul!' Akhirnya Usamah melaporkan hal ini kepada Rasulullah, lalu beliau berkata: 'Apakah kalian mengasihani orang dalam melaksanakan hudud Allah?' Kemudian beliau berdiri dan berkhutbah, seraya berkata: 'Sesungguhnya hancurnya kaum sebelum kalian adalah akibat perbuatan mereka yang jika seorang terhormat ada yang mencuri, mereka membiarkannya, sedang jika ada seorang yang lemah mencuri mereka memberikan hukumannya. Aku bersumpah demi Allah, jika Fatimah anak Muhammad mencuri, niscaya aku potong tangannya'."
Dalam riwayat lain disebutkan: "Bahwa wajah Rasulullah berubah warnanya dan beliau berkata: 'Apa kalian mengasihani seseorang dalam melaksanakan hudud Allah?' Lalu usamah berkata: 'Mohonkan ampun untukku Wahai Rasulullah!' Kemudian Usamah bercerita: 'Lalu Rasulullah memerintahkan agar perempuan itu dipotong tangannya'."
Hadits tadi menunjukkan haramnya berbelas kasihan dalam melaksanakan had jika sudah diputuskan oleh sang hakim. Hadits juga memerintahkan untuk melaksanakan hudud dalam kerangka persamaan antara manusia. Maka siapa saja yang melakukan kejahatan yang telah ditetapkan hadnya, maka harus dilaksanakan hukumannya, seberapapun derajat dan pangkat orang itu.
Tentang haramnya buang air besar di tempat-tempat duduk manusia, tempat berteduh dan saluran-saluran air, serta buang air kecil di air yang tergenang, sesuai dengan firman Allah swt: "Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata." (QS. Al Ahzab: 58)
Diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah ra, dia berkata: sesungguhnya Rasulullah saw bersabda: "Hindarilah al laa'inain?" Lalu mereka bertanya: "Apa itu al laa'inain?" Beliau menjawab: adalah orang yang buang air besar di tengah jalan manusia atau di tempat berteduh orang-orang."
Atau: Hindarilah dua perkara yang mengakibatkan laknat dari manusia: orang yang buang air di jalan dan di tempat berteduh manusia.
Hadits ini jelas mengandung pengharaman. Haramnya buang air di tempat bernaung adalah jika tempat itu disediakan khusus untuk perkumpulan yang dibolehkan. Akan tetapi jika tempat itu untuk perkumpulan yang diharamkan, seperti untuk berjudi dan bertaruh atau untuk berghibah, maka buang air di sana tidak berdosa karena tujuannya adalah untuk mengusir mereka.
Sebenarnya, tujuan dari larangan ini tidak lain adalah untuk menjaga lingkungan agar tidak tercemari dan tidak kotor, serta menjaga kebersihan dan merupakan bentuk tindakan penjagaan dari tersebarnya penyakit dan wabah, menjaga perasaan manusia, serta mewujudkan keindahan dalam segala hal. Dengan demikian pengharaman ini berlaku secara umum. Oleh karena itu perlu menjaga eksistensi manusia dari perbuatan keji semacam ini, apapun tujuan mereka berkumpul di tempat itu.
Diriwayatkan oleh Muslim dari Jabir ra: "Bahwa Rasulullah saw melarang mengencingi air tergenang."
Atau: Air yang diam dan tidak mengalir. Larangan ini mengandung pengharaman kencing di semua air tergenang, walaupun air tersebut banyak kadarnya. Pengharaman ini semakin kuat jika air tergenang itu dimiliki oleh seseorang. Dan membuang tahi (kotoran) itu lebih besar lagi haramnya ketimbang air kencing.
Hadits tadi menunjukkan haramnya kencing dan kotoran lain sebagainya di tempat air yang diam tak mengalir. Demikian pula buang air besar. Alasan dan hikmah dilarangnya adalah bahwa perbuatan seperti ini dapat mendatangkan bahaya, kerusakan dan penyakit. Sementara dalam Islam ada kaedah "Tidak boleh ada bahaya dan tidak ada yang dibahayakan".
(Taufik Munir)