Seorang muslim yang berakal dan beragama harus menghormati orang lain, tidak menyakiti mukmin dan mukminah lain, menghindari memakan harta manusia dengan cara yang batil, seperti riba, merampas dan menipu. Semua harta yang didapat dengan cara seperti ini tidak akan diberkahi Allah dan dapat membahayakan orang lain, mengguncang rasa saling percaya dalam interaksi sosial khususnya dalam proses saling memberi dan mengambil.
Bentuk penipuan yang paling buruk contohnya, menciptakan perseteruan antara kedua suami istri, atau antara pembantu dan tuannya, juga menghancurkan para wanita dan pembantu. Semuanya adalah sifat-sifat orang-orang fasik dan sifat-sifat penjahat bagi umat dan masyarakat, rumah dan keluarga. Karena perilaku semacam itu merupakan bentuk dari penyiksaan dan penganiayaan, fitnah dan kehancuran.
Oleh karena itu, Allah swt berfirman: "Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata." (QS. Al Ahzab: 58)
Sedang meragukan keturunan orang yang telah tetap merupakan bentuk penganiayaan yang paling parah. Nabi saw bersabda yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah ra: "Ada dua macam manusia yang pada keduanya terdapat benih kekafiran, yaitu orang yang meragukan keturunan orang lain dan orang yang menangis keras atas mayyit."
Atau ada dua golongan yang sangat jelek dari manusia yang dianggap kafir jika keduanya tahu haramnya kedua perkara tadi tapi masih mengerjakannya. Karena kedua perbuatan ini dianggap pekerjaan dan moralitas kaum Jahiliah; meragukan keturunan orang dan mengangkat suara saat menangisi orang mati. Kedua pekerjaan ini dianggap sebuah kebohongan yang besar. Sementara itu kebohongan, menangis keras dan meragukan nasab orang merupakan dosa besar dan maksiat.
Menipu juga merupakan dosa besar dan akan berakibat fatal bagi penipu dan yang ditipu serta dapat menimbulkan konflik di antara keduanya.
Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah ra, dia berkata: Rasulullah saw bersabda: "Orang yang mengacungkan senjata kepada kita bukan termasuk golongan kita, dan orang yang menipu kita juga bukan termasuk golongan kita."
Hadits ini menyatakan haramnya mengacungkan senjata kepada seorang muslim juga haramnya menipu dalam bermu'amalah di pasar. Membunuh orang-orang muslim dan menipunya akan mendatangkan bahaya bagi umat serta dapat merusak bidang perdagangan.
Dalam riwayat Muslim yang lain: "Bahwa Rasulullah saw melewati sebuah tumpukan makanan, lalu beliau memasukkan tangannya kedalamnya. Kemudian tangannya menyentuh yang basah, dan beliau pun bertanya: 'Apa ini wahai pemilik makanan?' Lalu pemilik makanan menjawab: "Ini terkena hujan wahai Rasulullah! Kemudian beliau berkata lagi: 'Kenapa tidak engkau taruh di bagian atas tumpukan supaya semua orang melihatnya?! Siapa yang menipu, maka bukan termasuk golongan kita'."
Menipu ada dua macam, ada yang abstrak dan ada yang konkrit. Yang pertama dengan memalsukan hakikat dan menampakkan yang batil dengan penampilan yang hak. Yang kedua, contohnya menyembunyikan cacat suatu barang yang hendak dijual, atau mencampurkan barang yang jelek dengan yang bagus, bisa juga meninggikan penawaran harga barang supaya orang lain tertarik membeli atau yang biasa disebut jual beli Najasy, dan ini hukumnya adalah haram.
Dalam hadits muttafaq alaih yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw bersabda: "Jangan melakukan jual beli najasy".
Najasy seperti yang diterangkan di atas dilakukan dengan meninggikan penawaran harga suatu barang dengan tidak niat untuk membelinya tapi untuk menarik minat pembeli lain.
Dalam hadits lain muttafaq alaih diriwayatkan dari Ibn Umar ra: "Bahwa Nabi saw melarang jual beli najasy." Sebab dilarangnya adalah adanya unsur penipuan supaya menarik perhatian orang lain tadi.
Menipu juga diharamkan dalam mu'amalah seperti dalam jual beli dan sewa menyewa. Dalam hadits muttafaq alaih yang diriwayatkan dari Ibn Umar, dia berkata: "Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah saw dan mengaku telah menipu dalam menjual barangnya, lalu Rasul berkata: "Siapa orang yang membeli barangmu, katakan padanya: 'Tidak ada penipuan'."
Di sini jelas para pembeli harus diberikan hak untuk memilih yang biasa disebut dengan khiyaarusysyarth (syarat adanya hak memilih). Dengan demikian ia berhak untuk mengembalikan barang yang mengandung tipuan tadi jika terdapat syarat semacam itu.
Menghancurkan hubungan kedua suami istri atau pembantu dengan tuannya juga hukumnya haram. Seperti yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Abu Hurairah ra, dia berkata: Rasulullah saw bersabda: "Siapa yang menghancurkan dan menipu istri seseorang atau hambanya, maka bukan termasuk golongan kita."
Di sini jelas hadits tersebut mengandung haramnya segala perilaku dan tipu daya untuk menghancurkan perempuan dan pembantu orang lain atau yang bisa menimbulkan perselisihan di antara keduanya dengan suami ataupun tuannya. Ini jelas bertentangan dengan prinsip iman. Seorang mu'min harus selalu bekerjasama, saling membantu dan saling memperbaiki, bukan saling menghancurkan dan menanam benih fitnah. (Taufik Munir)