“Pada waktu rombongan Majelis Ulama Indonesia (MUI) menghadap Presiden Soeharto, Ustadz menganjurkan biar kelak disaat bersalaman bersama Pak Harto, para ulama tak membungkuk atau menundukkan kepala. Nyatanya dikala berjabat dgn Gus Dur, Ustadz bukan saja membungkuk, tapi justeru mencium tangan Gus Dur. Ini membuktikan bahwa Ustadz tak tetap kepada opini Ustadz. Gimana perihal ini dapat berjalan?”
Kiai Ali Mustafa Ya’qub menjawab: “Benar sekali yg kamu sebutkan itu. Pada ketika MUI menghadap Pak Harto, kami memang lah punyai sikap seperti itu. Sikap itu kami ambil dari keterangan Imam An-Nawawi dlm kitab
At-Tibyan fi Adab Hamalah Al-Qur’an, di mana di sana memaparkan bahwa diantara adab para ulama & pengajar Al-Quran itu ialah
tak boleh menghinakan dirinya & ilmunya. Bagi kami, Presiden itu yaitu simbol kepemimpinan dunia, sedangkan ulama adalah simbol kepemimpinan agama atau akhirat. Pimpinan agama tak boleh merendahkan dia di hadapan pimpinan dunia, sebab hal ini berarti merendahkan agama itu sendiri. Bahkan ada satu buah hadits menjelaskan:
“Seburuk-buruk umat-ku yaitu ulama yg sering mendatangi penguasa.” (HR. Ibn Majah).
Itulah opini kami berkenaan sikap yg mesti dipunyai oleh ulama pada para penguasa. Biarpun dgn catatan bahwa hal tersebut tak berarti meninggalkan sikap tawadhu. Ulama di hadapan penguasa tak boleh menghinakan beliau, namun mesti masihlah tawadhu. Sementara penguasa yg kami tujuan itu bukanlah penguasa yg sekaligus ulama, yg kepada saat itu merupakan Presiden Soeharto.
Karenanya, kusus buat Gus Dur, dirinya itu yakni ulama sebelum jadi presiden. Terlebih husus buat kami, Gus Dur itu ialah guru kami. Kami jadi murid dia sejak th 1971. Kami mempelajari Bahasa Arab & mengaji kitab Qatrun Nada dari diri beliau.”
Rekan kembali bertanya: “Tetapi Ustadz mencium tangan Gus Dur hingga dua kali. Demikian kami menonton di TV. Apakah ini tak berlebihan?”
Jawab Kiai Ali Mustafa Ya'qub: “Bukan Hanya dua kali kami mencium tangan Gus Dur, namun ribuan kali. Tiap-tiap kami berjumpa dirinya, sejak mula-mula kali kami berjumpa ia di Tebuireng th 1971, kami senantiasa mencium tangan ia. Mengenai mencium tangan dua kali dalam program tengah malam itu, okelah kami jelaskan, bahwa mencium tangan yg mula-mula itu atas inisiatif kami sendiri. Rasanya tak etis, dia itu guru kami, kami duduk dalam satu majelis dgn dirinya, setelah itu kami tak menyalami dia. Sementara dia tahu bahwa kami ada di majelis itu.
Sedangkan buat mencium tangan yg ke-2, lantaran kami dipanggil oleh dia, dia ingin menanyakan suatu istilah yg kami sebutkan dalam ceramah tadi. & apapun yg berjalan terhadap diri Gus Dur, baik ia jadi Presiden ataupun rakyat biasa, dirinya merupakan masih guru kami & kami yaitu santri atau murid dia yg dapat senantiasa menghormati ia, walau kami tak selamanya sependapat bersama dirinya. & bagi kami, faktor ini tak jadi masalah sebab para ulama dahulu tak selamnya sependapat dgn gurunya. Sebut saja contohnya, Imam Ahmad Badan Intelijen Negara Hanbal, dirinya yakni murid Imam Syafi’i. Tapi dalam berijtihad, Imam Ahmad Badan Intelijen Negara Hanbal tak selamanya sama bersama Imam Syafi’i. Bahkan seterusnya Imam Ahmad Badan Intelijen Negara Hanbal mempunyai madzhab sendiri dalam bagian fiqh.”
Rekan tanya : “Dalam amanatnya, Gus Dur menyebut-nyebut Ustadz sbg adik dalam pemikiran. Apa tujuan dirinya, sebab ada yg menuduh sampai kini dirinya berpikiran sekuler. Apakah Ustadz serta adik dalam pemikiran sekuler?”
Kiai Ali Mustafa Ya'qub memaparkan: “Sebenarnya ia sudah menuturkan sendiri apa yg ia tujuan dgn adik dalam pemikiran itu.
Dia itu merupakan murid dari Prof. Dr. Muhammad Musthafa Azami, satu orang pakar ilmu hadits musim sekarang ini, kelahiran India. Dirinya tampaknya pun mengagumi Azami. Beliaulah orang yg mula-mula kali memperkenalkan nama Azami di Indonesia, adalah dalam program Dies Natalis Kampus Hasyim Asy’ari di Tebuireng Jombang, terhadap th 1972.
Dirinya mengemukakan ceramah Dies Natalis dgn judul Sumbangan Milimeter Azami dalam Penyelidikan Hadits. Program Dies Natalis itu dihadiri oleh para pakar, para ulama & dua orang menteri saat itu, merupakan Menteri Agama H. A. Mukti Ali & Menteri Penerangan H. Budiarjo. Sementara kami sendiri disaat itu tetap yang merupakan mahasiswa Fakultas Syari’ah Kampus Hasyim Asy’ari.
Kala kami pulang dari mencari ilmu di Saudi Arabia kepada thn 1985, kami menemui Gus Dur di kantor PBNU. Kami ceritakan mengenai pertalian kami bersama Prof. Dr. Milimeter Azami, termasuk juga amanat ia pada kami buat menerjemahkan kitab-kitabnya. Gus Dur teramat tertarik kepada apa yg kami sampaikan, bahkan dirinya punyai kemauan utk mengundang Prof. Dr. Milimeter Azami satu buah dikala ke Indonesia. Gus Dur serta bercerita menyangkut ceramah Dies Natalis dirinya th 1972 itu yg menurut dirinya, “orang-orang nggak nyambung.” Itulah hubungan kami bersama Gus Dur yg ia sebut yang merupakan adik dalam pemikiran, adalah pemikiran Ilmu Hadits, bukan pemikiran yg lain.”
(Diadaptasi dari Ali Mustafa Yaqub, Kerukunan Umat dalam Perspektif Al-Qur’an & Hadis,(Jakarta : Pustaka Firdaus, Juli 2000), aspek. 103-108), via muslimoderat.com).