Setiap keluarga, masyarakat maupun individu pasti memiliki rahasia yang tidak ingin diketahui oleh orang lain. Setiap manusia juga memiliki cacat dan kekurangan yang jika diketahui orang lain, maka dia akan merasa terusik dan terganggu. Kadang orang lain menyangka salah bahwa si Fulan telah melakukan dosa padahal dia bebas dari prasangka tersebut. Dalam kondisi seperti ini dituntut sikap tetap berhusnudzan (berbaik sangka) kecuali karena darurat atau ada bukti yang jelas. Semuanya itu agar manusia bisa hidup aman dan tentram, bahagia dan stabil, penuh cinta kasih dan kerja sama tanpa harus terlibat dalam konflik atau perpecahan.
Oleh karena itu Allah mengharamkan menyakiti orang lain tanpa alasan yang hak, mencuri dengar pembicaraan mereka dan menyelidiki kegiatan dan kabar mereka, sementara mereka sendiri tidak suka kegiatan atau pembicaraannya diketahui orang lain. Karena itulah Allah swt berfirman: "Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain." (QS. Al Hujuraat: 12)
"Dan orang-orang yang menyakit orang-orang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata." (QS. Al Ahzab: 58)
Sunnah dan hadits Nabi saw telah menegaskan haramnya segala jenis perilaku menyakiti orang dan su'udzhon, saling membenci, hasad, memutus silaturrahmi dan saling berpaling.
Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda:
"Jauhilah prasangka, karena prasangka merupakan ucapan paling bohong, jangan saling membicarakan dan memata-matai, jangan ingin memenangkan diri sendiri, jangan saling hasud, saling membenci dan berpaling. Jadilah hamba Allah yang saling bersaudara seperti diperintahkanNYa. Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya, tidak mendzaliminya, tidak mengecewakannya dan tidak menghinanya, disinilah ketakwaan…di sinilah ketakwaan…(Nabi menunjuk dadanya). Seorang muslim sudah menyimpan benih kejahatan dengan hanya menghina saudara muslimnya, setiap muslim diharamkan atas muslim lain dalam hal: darahnya, kehormatan dan hartanya. Sesungguhnya Allah tidak melihat jasadmu juga tidak melihat penampilanmu, tapi Allah melihat hatimu."
Hadits ini menunjukkan pentingnya memperkuat hubungan persaudaraan antar manusia dan pentingnya kekuatan sebuah masyarakat. Hadits juga mengandung wajibnya menjaga kehormatan muslim lain, tidak boleh terlibat dalam perilaku mendzalimi orang lain, menghina dan sombong terhadapnya, atau mengecewakannya. Diharamkan darah, harta dan kehormatan seorang muslim atas muslim lainnya. Jika seluruh manusia sudah menghormati moralitas sperti ini, niscaya mereka akan hidup dalam kedamaian dan cinta kasih. Jika mereka melanggarnya, maka fitnah, kegoncangan dan konflik pun tidak akan bisa dihindarkan. Yang dinilai dalam diri manusia adalah amal hakikinya bukan kepura-puraan dengan ucapan yang manis dan kata-kata yang penuh madu, bukan juga penampilan jasad yang menipu, pekerjaan palsu atau kata-kata yang lembut.
Mencari-cari aib dan cacat orang lain serta auratnya merupakan perbuatan yang paling buruk. Karena perilaku semacam ini akan menjerumuskan mereka ke jurang kerusakan dan selalu berkeinginan untuk merusak dan menyimpang.
Abu Daud meriwayatkan –sanad shahih— dari Mu'awiyah bin Abu Sufyan ra, dia berkata: Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: "Sesungguhnya engkau jika membuka-buka dan mencari-cari aurat muslim lain berarti engkau telah merusak mereka, atau engkau hampir merusaknya."
Atau, wahai manusia jika engkau mencari-cari aib orang lain dengan memata-matainya atau menyelidikinya, maka sama saja dengan menjerumuskan mereka ke jurang kerusakan, atau engkau hampir melakukannya serta menyebabkan mereka menantang perasaan orang lain dan selalu cenderung untuk berbuat kejahatan dan kerusakan.
Para sahabat merupakan teladan yang paling mulia dalam hal melaksanakan perintah agama dan meninggalkan larangannya. Mereka tidak cepat-cepat menuduh orang lain dan tidak membolehkan memberikan had (hukuman) terhadap perbuatan yang masih syubhat sebelum yakin benar terjadi sebuah kejahatan atau dosa.
Abu Daud meriwayatkan dengan sanad menurut syarat Bukhari dan Muslim dari Ibn Mas'ud ra, "Bahwa dia didatangi oleh seorang laki-laki tertuduh dan orang-orang mengata-ngatainya: 'si Fulan membasahi janggutnya dengan khamar'. Lalu Ibn Mas'ud berkata: kami dilarang untuk memata-matai, tetapi jika nampak sesuatu di mata kita, kita akan ambil (sebagai bukti)." Ini hadits hasan shahih.
Islam mengharamkan su'uzhon terhadap orang lain tanpa alasan atau tanpa keperluan, karena ini mengandung tuduhan palsu. Allah swt berfirman: "Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa." (QS. Al Hujurat: 12) Ini dikuatkan oleh hadits muttafaq alaih yang diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda: "Jauhilah prasangka, karena prasangka adalah perkataan yang paling bohong." Atau, pelaksanaan hukum pengadilan itu harus berdasarkan keyakinan dan bukan prasangka. Karena asal sifat manusia itu adalah adil dan bebas dari tuduhan sampai bukti-buktinya kuat sehingga menetapkan dia sebagai tersangka. (Taufiq Munir)