Secara syar'ie, makruh hukumnya keluar dari sebuah negeri yang telah dilanda wabah menular untuk menghindarinya, begitu juga makruh hukumnya memasuki negeri tersebut. Inilah kaedah Karantina Medis yang telah menjadi ketetapan pada zaman sekarang.
Dengan demikian orang yang sehat dan yang sakit tidak boleh bercampur, sesuai dengan prinsip kehati-hatian "al hadzr" dan sikap preventif (pencegahan). Karena sikap preventif lebih baik dari sikap kuratif (pengobatan). Lagi pula hal ini tidak bertentangan dengan qadha dan qadar Allah, karena qadar adalah sesuatu yang misterius bagi kita. Yang bisa kita lakukan adalah hanya mempertimbangkan sebab-sebab dzahir saja, sementara ketentuan sepenuhnya tetap berada di tangan Allah. Tidak ada yang sanggup menahan hukumNya, dan tidak ada yang bisa melawan ketetapanNya. Yang hanya bisa kita lakukan adalah lari dari satu qadar Allah untuk beralih ke qadarNya yang lain. Ini seperti yang diucapkan Umar pada saat wabah kolera melanda.
Al Qur'an telah membimbing kita akan pentingnya menjaga prinsip "al hadzr" (kehati-hatian) tadi, di samping beriman atas berlakunya qadar dan ketetapan Allah di mana dan kapan saja. Allah swt berfirman: "Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh." (Annisa: 78). Atau, walau kamu berlindung dalam benteng yang kuat dan tinggi sekalipun.
Allah juga berfirman: "Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan." (Al Baqarah: 195)
Ada sebuah kisah nyata yang terjadi pada zaman Khalifah Amirul Mukminin Umar bin Khattab ra. Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Ibn Abbas ra, dia berkata: "Bahwa Umar bin Khattab ra mengunjungi negeri Syam. Saat sampai di daerah Basragh, beberapa pemimpin pasukan menemuinya, di antaranya: Abu Ubaidah bin al Jarrah dan rekannya-rekannya. Kemudian mereka memberitahu Umar akan adanya wabah yang sedang melanda negeri Syam."
Lalu Ibn Abbas melanjutkan: "Umar lalu berkata kepadaku; 'Tolong panggilkan para pemuka kaum Muhajirin!' Kemudian aku panggil mereka. Umar pun meminta pendapat dan pertimbangan mereka setelah menceritakan bahwa wabah kolera tengah melanda negeri Syam. Mereka pun berselisih pendapat. Sebagian berkata: 'Engkau telah berangkat untuk satu tujuan, maka menurut kami tidak layak lagi engkau kembali'. Sebagian lagi berkata: 'Engkau berangkat bersama banyak orang dan para Sahabat Rasulullah saw, maka menurut kami hendaknya engkau tidak perlu pergi menghadapi wabah ini'. Kemudian Umar berkata: 'Beranjaklah kalian!'
Lalu Umar berkata: 'Panggilkan untukku kaum Anshar!' Akupun memanggil mereka. Dan Umar meminta pendapat mereka. Kaum Anshar itupun tidak berbeda jauh dengan kaum Muhajirin. Mereka saling berselisih pendapat. Kemudian Umar berkata: 'Beranjaklah kalian!'
Umar berkata lagi: 'Panggilkan untukku para pemuka Quraisy yang ikut hijrah pada hari 'Fath'!' Lalu aku panggilkan mereka. Dan tidak ada di antara mereka yang berbeda pendapat. Menurut mereka: 'Engkau hendaknya kembali bersama orang-orang dan jangan pergi ke tempat wabah tersebut.' Akhirnya Umarpun mengumpulkan seluruh orang dan berkata: 'Aku akan kembali pulang.' Akhirnya semua orang mengikuti Umar untuk kembali pulang.
Lalu Abu Ubaidah bin al Jarrah ra berkata: 'Apakah engkau lari dari ketentuan (qadar) Allah?' Lalu Umar menjawab: 'Kalau bukan engkau yang berkata wahai Abu Ubaidah!' (Umar tidak suka berselisih pendapat dengannya). Lalu menurut Umar: 'Ya, kita lari dari qadar Allah untuk masuk ke qadarNya yang lain. Tidakkah engkau lihat jika engkau memiliki seekor unta yang turun di sebuah lembah yang memiliki dua tepi. Salah satu tepinya subur dan banyak rumputnya sementara satunya lagi kering. Tidakkah jika engkau menggembala unta itu di tepi yang subur sama dengan menggembalanya sesuai dengan qadar Allah. Dan jika engkau menggembalanya di tanah yang kering, juga karena qadar Allah?'
Kemudian Ibn Abbas melanjutkan; "Lalu datanglah Abdurrahman bin Auf ra. Dia tidak hadir saat rapat karena beberapa hajatnya. Abdurrahman pun berkata: 'Aku ahu apa yang tengah terjadi. Dan aku pernah mendengar Rasullllah saw bersaba: "Jika engkau mendengar ada wabah di suatu negeri, maka jangan engkau masuki negeri tersebut, dan jika wabah itu terjadi di suatu negeri sementara engkau ada di dalamnya, maka janganlah engkau keluar dari negeri tersebut untuk menghindari dan lari darinya."
Umar pun akhirnya memuji Allah atas ungkapan Abdurrahman bin Auf ini. Lalu diapun beranjak.
Hadits ini menunjukkan bahwa Khalifah pun telah menggunakan prinsip Syura' dalam perkara-perkara yang berhubungan dengan maslahat umum.
Dalam hadits lain muttafaq alaih yang diriwayatkan dari Usamah bin Zaid ra, bahwa Nabi saw bersabda: "Jika engkau mendengar ada wabah di satu negeri, maka jangan kau masuki negeri itu. Dan jika wabah itu telah melanda satu negeri sementara kau ada di dalamnya, maka jangan keluar dari negeri itu."
Kedua hadits tadi menunjukkan perlunya berhati-hati dalam segala hal dan makruh hukumnya masuk ke tempat yang tengah dilanda wabah menular dan keluar dari tempat tersebut. Ini dilakukan supaya meminimalisir bahaya yang ditimbulkan agar tidak melebar ke mana-mana. Inilah prinsip 'Karantina Medis' yang telah dibimbing Islam sejak zaman dahulu. Kehati-hatian ini tidak bertentangan sama sekali dengan keimanan terhadap qadha dan qadar Allah dan ajaran tawakkal kepadaNya. Karena sikap hati-hati lebih banyak berhubungan dengan masalah sebab-sebab saja sehingga perlu diambil langkah untuk menjauhi segala tempat kerusakan. Sebagaimana firman Allah swt: "Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan." (Al Baqarah: 195)
Karena langkah awal dari tawakkal yang paling penting adalah, berusaha dahulu untuk kemudian mendeteksi sebab-sebab. Karena hukum sebab-musabab (kausalitas) merupakan dasar umum dalam segala bidang kehidupan. Lagi pula jika sebab-sebab ini diabaikan, maka segala upaya dan usaha dalam kehidupan akan terhenti. Oleh karena itu harus menghindari tempat-tempat bahaya dan kerusakan. Hal ini sendiri merupakan qadar, ketetapan dan kehendak Allah. Di samping itu doa juga dapat membalikkan ketetapan Allah.
(Taufik Munir)