Dalam komunitas masyarakat yang beragam terdapat fenomena perantara atau patron (pelindung) di kalangan manusia untuk memenuhi setiap kebutuhan dan mewujudkan tujuan-tujuan tertentu. Syafa'at atau perantara seperti ini baik saja untuk mencapai tujuan penting dan dibolehkan oleh syari'at. Bisa juga syafa'at ini menjadi buruk karena dapat mendatangkan bahaya bagi maslahat orang lain, atau juga karena syafa'at atau perantara ini bertentangan dengan aturan keadilan dan persamaan yang harus dianut oleh manusia dalam muamalahnya, baik misalnya dalam mendapatkan pekerjaan atau dalam mewujudkan pelayanan lainnya.
Islampun tidak melarang adanya fenomena syafa'at dan perantara seperti ini dalam hal selain hudud, demi kebaikan. Yang penting tidak menyentuh maslahat orang lain. Tidak dibolehkan menggunakan suap atau hadiah untuk mewujudkan satu tujuan. Juga tidak diperkenankan untuk memberi apa saja baik sebelum atau sesudah sesuatu permintaan dipenuhi, karena kebaikan harus murni dan lepas dari manfaat dan kepentingan materiil, kebaikan harus bertujuan mendapat ridha Allah dan untuk mempermudah saudara-saudara dalam memenuhi kebutuhannya.
Ajaran ini, apa yang diungkapkan Al Qur'an dalam firmanNya: Barangsiapa yang memberikan syafa'at yang baik, niscaya ia akan memperoleh bahagian (pahala) dari padanya. Dan barang siapa yang memberikan syafa'at yang buruk, niscaya ia akan memikul bahagian (dosa) dari padanya. Allah maha kuasa atas segala sesuatu." (QS. Annisa: 85)
Di sini merupakan isyarat akan kelembutan Allah terhadap hamba-hambaNya.
Syafa'at adalah permohonan agar dosa dihapuskan, dan wasathah (perantara) adalah segala usaha terpuji untuk mencapai maksud tertentu. Jika perantara itu untuk kebaikan, maka dibolehkan. Ini masuk ke dalam kategori syafa'at hasanah, tapi jika washatah itu untuk satu kejahatan, maka dilarang dan masuk dalam kategori syafa'ah sayyi'ah.
Nabi saw pun telah menganjurkan syafa'ah hasanah ini. Dalam hadits muttafaq alaih diriwayatkan dari Abu Musa al Asy'ari ra, dia berkata: "Nabi saw jika didatangi orang yang membutuhkan sesuatu, maka beliau menemui teman-teman duduknya, lalu beliau berkata: berikan syafaat kepadanya niscaya kalian mendapat pahala, dan Allah telah memutuskan apa yang disukaiNya melalui lisan NabiNya."
Dalam riwayat lain: "Apa yang dikehendakiNya."
Hadits ini mengandung anjuran untuk memberi syafaat yang baik
untuk memenuhi kebutuhan orang lain, dan akan diberi pahala bagi orang yang mengerjakannya, baik tujuannya terpenuhi ataupun tidak. Syafa'at tidak boleh dilakukan dalam hudud (sanksi yang termaktub dalam al Qur'an) seperti had mencuri, zina, had penyamun, menuduh orang berzina dan meminum arak jika perkaranya telah sampai pada hakim, karena bagaimanapun seorang hakim dituntut untuk menjalankan syari'at Allah dan agamanya.Tentang peristiwa
yang berhubungan dengan syafa'at, seperti halnya syafa'at Nabi saw untuk Barirah, budak milik Aisyah, ummul mu'minin. Barirah adalah budak yang dibebaskan oleh Aisyah, sementara suaminya masih menjadi budak. Kemudian Nabi saw memberikannya hak pilih untuk memilih antara tetap bersama suaminya menjadi budak atau memilih dirinya sendiri dan menggugurkan perkawinannya.
Bukhari meriwayatkan dari Ibn Abbas ra tentang kisah Barirah dan suaminya ini, Ibn Abbas berkata: "Nabi saw berkata kepada Barirah: 'Bagaimana jika engkau merujuk suamimu? Kemudian Barirah berkata: Wahai Rasulullah, apakah engkau menyuruhku untuk melakukan itu? Nabi menjawab: Aku hanya memberi syafa'at. Kemudian Barirah berkata lagi: aku tidak membutuhkannya lagi."
Ini kisah tentang penggunaan hak syar'ie dalam memfasakh perkawinan jika seorang budak perempuan dibebaskan oleh tuannya sementara suaminya tetap menjadi budak. Hak ini seperti halnya hak memilih di saat seseorang perempuan telah mencapai baligh jika dia kawin saat masih kecil, maka baginya hak untuk memilih antara harus memfasakh perkawinannya setelah baligh atau tetap melanjutkannya, ini menurut pandangan ulama Jumhur.
Sebab dilarangnya syafa'at dalam had Allah adalah bahwa had itu merupakan penunaian hak dan penegakkan keadilan dalam perkara-perkara umum yang paling penting, di samping itu had diberikan untuk menahan terjadinya kembali kejahatan serupa sehingga kejahatan dan kerusakan itu tidak merajalela.
Sesuai dengan sabda Nabi saw –yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan lainnya: "Barangsiapa yang syafa'atnya menghalangi pelaksanaan hudud Allah, berarti dia telah melawan milik Allah, dan barang siapa yang membantu perseteruan tanpa tahu sebabnya, maka dia tetap dimurka Allah sampai dia tidak melakukannya."
Syafaat dalam hudud tidak dibolehkan kecuali dalam qishas (hukuman mati akibat membunuh secara disengaja). Syafa'at dan pemberian maaf dalam hal ini dibolehkan sehingga hukuman qishas diganti menjadi kewajiban membayar diat saja. Karena Allah sendiri lebih menganjurkan memberi maaf dan menggugurkan hukuman dalam qishas. Allah swt berfirman: (QS. Al Baqarah: 237)
Ajaran memberi syafa'at yang baik yang bukan berhubungan dengan hudud Allah merupakan satu ciri adanya kerjasama dan solidaritas sosial masyarakat Islam, asal bertujuan untuk mendapat ridha Allah. Ini juga bukti bahwa kebutuhan seseorang bisa dipenuhi oleh orang lain dan hanya Allahlah yang berhak menentukan dan menghargai apa yang telah dilakukan orang tersebut.
Dengan demikian syafa'at dan perantara merupakan sebab-sebab yang boleh diambil oleh manusia sementara hasilnya tetap ada di tangan Allah swt. Ini adalah hakikat makna tawakkal, karena tawakkal adalah pondasi akidah.
Setelah manusia melaksanakan sebab-sebab lalu menggunakan akal dan usahanya untuk mewujudkan satu tujuan tertentu maka tujuan itu jika tercapai, tentunya adalah karena karunia dan kebaikan Allah semata, dan jika tidak tercapai berarti Allah menghendaki yang lainnya. (Taufik Munir)