Seseorang kadang melakukan kesalahan, tergelincir atau melakukan satu keburukan dan kejahatan tanpa disengaja. Maka tidak dibolehkan bagi orang lain menggunakan kesempatan ini untuk menyebarkan keburukan dan rahasianya serta membongkar cacatnya kepada khalayak ramai. Lebih baik dia menutupinya, karena itulah adab yang baik. Jika seseorang melakukan keburukan atau maksiat secara sembunyi, maka tidak layak dan tidak ada maslahatnya bagi orang lain untuk menceritakannya ke banyak orang tentang apa yang telah dilakukannya pada malam hari, misalnya. Mestinya dia mengucapkan "Alhamdulillah" karena Allah telah menutupinya sehingga keburukannya tidak nampak.
Tidak diperbolehkan juga mencela orang yang telah diberi hukuman atau sanksi, dengan melontarkan cacian, hinaan dan makian kepadanya, atau mengatakan kepadanya: 'Semoga Allah merendahkanmu atau menghancurkanmu!'. Semua perilaku semacam ini akan menyebabkan pelakunya dikenakan sanksi dan azab dari Allah, karena hal tersebut dilakukan bukan pada tempatnya.
Oleh karena itu Allah swt berfirman yang memperingatkan orang-orang yang menyebarkan isu-isu dan kejelekan: Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui." (QS. An Nur: 19)
Orang-orang yang ingin menyebarkan dan menampakkan keburukan tanpa alasan atau kepentingan, mereka berhak mendapatkan azab yang pedih di dunia dan akhirat. Ini jelas larangan yang sangat tegas tentang perilaku memberitakan kabar-kabar buruk dan propaganda tendensius yang tidak bermanfaat.
Sementara itu sunah Nabi saw lebih menekankan untuk tetap menutup-nutupi hal tersebut dan tidak menyebarkan atau menyebut-nyebut hal-hal yang tidak berguna. Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah, ra, bahwa Rasulullah saw bersabda: "Seorang hamba tidak menutupi cacat hamba lain di dunia kecuali pada hari kiamat nanti Allah pun akan menutup aibnya."
Atau imbalan bagi orang yang menutupi kesalahan yang tidak sengaja dari seseorang di dunia dan orang yang tidak mempertunjukkan maksiatnya, adalah Allah akan menutupi kesalahannya kelak pada hari kiamat dengan cara menghapus dosanya ataupun dengan menghisabnya secara tersembunyi tanpa dilihat orang lain.
Dalam hadits muttafaq alaih yang diriwayatkan dari Abu Hurairah ra dia berkata: Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: "Seluruh umatku akan selamat kecuali orang-orang Mujahirin yang termasuk perbuatannya adalah; jika seseorang mengerjakan sesuatu pada malam hari hingga pagi, Allah pun telah menutupinya, kemudian orang lain berkata: Hai fulan, semalam engkau berbuat ini dan itu! Maka Allah akan tetap menutupi rahasia orang ini pada malam harinya, sementara pada pagi harinya Dia akan membuka rahasianya."
Ini merupakan bukti betapa besar dosa orang-orang yang dengan sengaja menunjukkan maksiatnya. Mempertunjukkan maksiat akan mendapatkan murka Allah, karena hal ini akan menyinggung perasaan manusia dan merusak kehormatan umum dan meremehkan agama.
Ajaran ini dikuatkan oleh hadits lain yang melarang berbicara berlebihan dan mencela pelakunya.
Dalam hadits pada dua kitab Shahih Bukhari dan Muslim diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, bahwa Nabi saw bersabda: "Jika seorang budak perempuan berzina kemudian terbukti maka cambuklah ia dan janganlah kalian mencelanya. Kemudian jika dia berzina lagi, maka cambuklah lagi dan jangan kalian cela. Jika dia melakukan zina lagi untuk yang ketiga kalinya, maka juallah ia walaupun seharga selembar rambut."
Atau bahwa pelaksanaan had zina disini yang merupakan peraturan umum bagi setiap pezina bertujuan untuk mendidik dan meluruskannya kepada kebenaran. Dan jika tuannya menjual budak ini, maka wajib baginya untuk menerangkan kondisi budak tersebut kepada pembeli, karena itu merupakan cacat dan aib budak tersebut, sementara menerangkan cacat itu wajib hukumnya, tapi cacat tersebut sebatas bahwa si budak tersebut telah menerima sanksi had zina dengan tanpa mencela atau melebihkannya.
Demikian juga halnya pada diri orang merdeka. Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah ra, dia berkata: "Nabi saw didatangi seorang laki-laki yang mabuk, lalu beliau berkata: 'Pukullah orang ini!' Kemudian Abu Hurairah berkata lagi: Di antara kita ada yang memukulnya dengan tangan, ada juga dengan sendal, dan ada yang memukul dengan bajunya. Setelah orang tersebut pergi, sebagian kaum berkata: 'Allah mencela dan merendahkan kau!' Kemudian Nabi berkata: 'Jangan kau ucapkan ini dan jangan kau perbantukan syetan terhadap dirinya."
Atau bahwa had bagi pemabuk adalah memukulnya dengan tangan, baju, dan lain sebagainya termasuk kulit pohon korma, tapi jangan mencelanya supaya ini tidak menjadi bantuan bagi syetan. Hendaknya ia didoakan agar mendapat hidayah dan beristiqamah serta selamat dari kesia-siaan. Metode menyikapi para pelaku maksiat dengan cara seperti ini atau tidak mencela dan menghinanya akan berdampak para pelaku maksiat akan meninggalkan maksiatnya.
Ajaran dan didikan Nabi saw dalam menyikapi pelaku maksiat dengan tidak mencela dan menyebarkan keburukannya merupakan ajaran Islam di bidang muamalaat dan pemberian had (sanksi). Sanksi ini terbatas pada yang dibolehkan saja dan tidak boleh berlebihan. Dalam memberi sanksi harus diperhatikan prinsip keadilan dan keserasian antara perbuatan dan hukuman. Inilah yang layak bagi kita agar kita selalu memiliki moralitas yang tinggi, berbeda dengan apa yang kita lihat pada zaman sekarang di mana para pelaku kejahatan selalu akan dihujani dengan berbagai celaan dan cercaan dan panggilan-panggilan buruk. (Taufik Munir)