Menganiaya orang lain terhadap orang yang hidup maupun yang sudah wafat merupakan ciri manusia primitif dan terbelakang, karena penganiayaan bisa menyebabkan reaksi yang bermacam-macam bahkan mungkin lebih buruk lagi. Di antaranya bisa menumbuhkan benih dendam, kedengkian dan perselisihan, dapat menghancurkan komunitas dan memecah belah umat. Manusia bisa saling menganiaya, serta banyak lagi efek buruknya. Lagipula menganiaya orang tidak ada guna dan faedahnya, karena perilaku semacam ini dapat merusak dan menghancurkan.
Sementara itu, perilaku saling memaafkan, toleran dan menahan amarah merupakan ciri peradaban yang mulia, menunjukkan ketinggian akhlak dan jiwa, luasnya cakrawala, dan jauhnya pandangan dalam melihat masa depan.
Oleh karena itu al Qur'an melarang segala macam bentuk penganiayaan terhadap orang lain dan membebankan dosa dan dampak perilaku ini kepada diri penganiaya sendiri. Al Qur'an juga mengancam akan memberi balasan setimpal atas perbuatan mereka, yaitu neraka Jahannam.
Di satu sisi al Qur'an memuji orang-orang pemaaf dan toleran, karena merekalah yang berperan menjaga ikatan persaudaraan, cinta dan kasih sayang serta prinsip bertetangga yang baik. Allah swt berfirman: "Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata." (QS. Al Ahzab:58). Ayat ini berkenaan tentang haramnya menganiaya atau menyakiti, sedang tentang ajaran memberi maaf dan toleransi, maka Allah berfirman: "(Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan." (QS. Al Imran: 134).
Sunah dan hadits Nabi saw juga mengharamkan perilaku menyakiti orang apapun bentuk dan motifnya. Apalagi menghina mayat tanpa hak dan tanpa maslahat syar'i, berdasarkan ayat tadi: "Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata." (QS. Al Ahzab: 58), juga berdasarkan hadist-hadits Nabi sebelumnya yang berkenaan tentang haramnya melaknat diri manusia atau binatang tertentu. Juga sesuai dengan apa yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Aisyah ra, bahwa dia berkata: Rasulullah saw bersabda: "Janganlah engkau menghina orang yang telah mati, karena mereka telah sampai pada keputusan atas apa yang mereka lakukan semasa hidup." Atau, mereka telah berlalu dengan kebaikan dan keburukan apa yang mereka lakukan dahulu, maka tidak perlu lagi menghinanya, bahkan walaupun yang dihina seorang kafir sekalipun, karena ada kemungkinan dia mati dalam keadaan muslim. Kecuali orang yang telah ditetapkan teks-teks syar'ie bahwa dia mati dalam keadaan kafir, seperti Abu Lahab dan Abu Jahal.
Sunah Nabi telah meletakkan satu prinsip yang benar, beradab, manusiawi dan universal dalam menggambarkan dan menyatakan perkara hubungan sosial dan individual manusia. Dalam hadits muttafaq alaih diriwayatkan dari Abdullah bin Amr bin Al Ash ra, dia berkata: Rasulullah saw bersabda: "Seorang Muslim adalah orang yang menjaga orang muslim lain dari lidah dan tangannya, dan seorang muhajir adalah orang yang berhijrah meninggalkan apa yang telah dilarang Allah."
Atau muslim sejati dan murni keislamannya adalah orang yang menjaga muslim lain dari penganiayaan yang dilakukan lidah dan tangannya sendiri, baik tangan sebenarnya seperti dengan memukul dan sebagainya, ataupun tangan metafor, seperti kekuasaan,pangkat dan wibawa. Sementara orang muhajir yang sempurna saat ini --setelah masa hijrah dari Mekkah ke Madinah usai-- adalah orang yang meninggalkan maksiat, hal-hal munkar dan segala hal yang dilarang Allah. Itu semua dilakukan sebagai bentuk ketaatan akan perintah Allah swt.
Hadits ini mengandung satu dasar sosial umum, menetapkan wajibnya menjauhi segala macam perilaku yang membahayakan orang lain, baik muslim atau non-muslim, juga menyatakan bahwa kesempurnaan Islam dicapai dengan cara mensucikan jiwa dari dosa-dosa dan kesempurnaan hijrah diraih dengan meninggalkan maksiat dan tetap taat kepada perintah Allah.
Islam tidak hanya cukup mengaramkan penyiksaan, bahkan Islam juga menyuruh kita untuk selalu berbuat kebaikan dan memberikan segala macam pertolongan dan kerjasama yang mulia, di samping juga memerintahkan kita untuk memenuhi kebutuhan orang lain dan tetap bersikap baik walau kepada orang yang menyakiti kita.
Muslim meriwayatkan dari Abdullah bin 'Amr, dia berkata: Rasulullah saw bersabda: "Barangsiapa yang ingin diselamatkan dari api neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka hendaknya dia mati dalam keadaan beriman kepada Allah dan hari akhir, dan hendaknya dia mendatangi orang-orang yang juga suka didatanginya."
Hadits ini menunjukkan dua hal:
Pertama, perintah untuk beriman dan beramal shaleh serta tetap konsisten di dalamnya. Karena iman dan amal shaleh merupakan pancaran segala kebaikan dan kemuliaan, agar manusia bisa mengakhiri hidupnya dengan kebahagiaan dan keimanan. Allah swt berfirman yang menguatkan perintah ini: "Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepadaNya, dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam." (QS. Al Imran: 102)
Kedua, perintah untuk mempergauli manusia dengan cara yang disukainya.
Jika Islam dan iman sudah terkumpul, kemudian didukung lagi oleh amal shaleh yang bermanfaat bagi diri, umat dan masyarakat, dan manusia berinteraksi dengan etika dan akhlak sosial yang mulia, niscaya kebahagiaan yang melimpah akan terwujudkan, keamanan social akan terjaga, kehormatan dan kemuliaan umatpun akan tercipta dan terlindungi. Di mata umat lain, umat Islam akan terlihat lebih tinggi sehingga umat ini akan memiliki wibawa dan reputasi. Kerjasama yang dilakukan pun akan berdasarkan kebaikan dan hak, rasa saling percaya dan ketenangan, keadilan dan persamaan, cinta dan kasih sayang, persatuan dan kerjasama, sehingga perselisihan dan permusuhan akan hilang dan musnah. Racun-racun dan tipu muslihat akan terkikis diganti dengan kebahagian yang menyeluruh, kemakmuran dan kesejahteraan yang pada akhirnya kemajuan peradaban yang dibutuhkan pun akan tercapai. [Taufiq Munir]