Pilihlah salah satu kalimat yang menurut Anda benar:
A. Selamat Hari Raya Iedul Fitri
B. Selamat Hari Raya Ied
c. Selamat Hari Raya Fitri
D. Pilih b dan c saja
E. Semua benar
Idul Fitri atau edul Fithri adalah sebuah kalimat berbahasa Arab yang terdiri dari dua kata yaitu "Ied" (hari raya) dan Fithri (fitrah, atau suci). "Ied" lahir dari sebuah kata kerja 'aada (past tense), ya'uudu (present tense), dan 'audat (atau 'audah, sebagai kata dasar) yang artinya "kembali". Orang-orang yang sering mengulang-ulang kembali perbuatan atau perilaku yang sama sering disebut menjadi 'adat, alias "tradisi". Dalam kamus "Mukthar Al-Shohhah" karya monumental Muhammad bin Abu Bakar Al Rozi, kosa kata ini masuk dalam urutan huruf 'ain. Saat Penulis melihat, kata 'aada-ya'uudu-'audat di atas menginduk pada nenek moyangnya yaitu 'a-wa-da, yang terdiri dari 'Ain, Wau dan Dal, alias tiga huruf doang. Kalau fi'il terdiri dari tiga huruf doang dalam literatur morfologi Arab disebut dengan "Fi'il Tsulatsi Mujarrod". Fi'il artinya kata kerja, tsulatsi artinya tiga, Mujarrod artinya doang. Sedangkan arti "doang" di sini maksudnya adalah "terhindar dari segala (godaan) tambahan".
Permasalahannya, orang Arab itu alergi menjumpai huruf Wau di tengah-tengah kata, terlebih lagi ketiga-tiganya beraksi dengan memasang harakat fathah. Bayangkan, masa sih baca 'a-wa-da! Huruf Wau, menurut para pakar bahasa Arab, adalah virus berbahaya yang mengancam eksistensi kelezatan "morfen" (bersuara). Wau mempunyai gank bernama Alif dan Ya. Saking takutnya orang Arab menggunakan tiga huruf ini dengan harakat yang diucapkan beruntun (harakah mutawaliyah), mereka menamakannya Al-Ahruf Al-'illatiyah (huruf-huruf berpenyakit). Karena itu para pakar bahasa bermusyawarah bagaimana mengatasi sulitnya menjinakkan huruf Wau ini. Akhirnya mereka mufakat untuk melenyapkan Wau. Lalu alif yang menggantikan posisi Wau. Tapi, ya karena alif diklaim punya penyakit, akhirnya dia dimatikan saja, tidak berharkat. Maka jadilah 'aada (pada fi'il madhi), bukan 'aawada lagi! Anehnya pada fi'il mudhori dan masdar, huruf Wau dikembalikan lagi ke tempatnya, menjadi "ya'uwdu" (fi'il mudhori), "awdatan" (masdar). Tak apalah, biar pun mengandung penyakit, agar misi keindahan efek suara berlangsung sukses, huruf-huruf itu harus menemani harkat yang sesuai dengan fungsinya masing-masing:
- Kalau sebelumnya fathah harus ada Alif, biar baca A-nya lebih panjang: "aaaa".
- Kalau sebelumnya dhommah, harus ada Wau, biar baca U-nya lebih panjang: "uuu".
- Kalau sebelumnya kasrah, harus ada Ya, biar baca i-nya lebih panjang: "iii".
- Beres.
Di atas disinggung bahwa "Fi'il Tsulatsi Mujarrod" adalah fi'il yang terdiri dari tiga huruf doang. Arti "doang" yang dimaksud "terhindar dari segala (godaan) tambahan".
Hanya saja Fi'il Tsulatsi Mujarrod kadangkala tak pernah kuat godaan. Karena, biasanya, dia terus saja bermetamorfosa menjadi kata kerja tambahan yang dalam ilmu shorof disebut "Fi'il Tsulatsi Mazid". Mazid di sini maksudnya, ya, tambahan. Penambahannya cuma satu, yaitu: tasydid di tengah kata. Karena si Alif tak pernah bisa menerima tasydid (penekanan), akhirnya -lagi-lagi- alif tersebut harus ditukar dengan huruf lain. Yang beruntung menggantikannya adalah temannya sendiri, yaitu: Ya. Maka jadilah AY-YA-DA. Prosesnya dimulai dari 'ayyada (fi'il madhi mazid), yu'ayyidu (fiil mudhori) kemudian ta'yiid (masdar), lalu ta'yidah, lalu ti'yaad, dan akhirnya 'ied (semuanya masdar).
Contoh sederhana dalam bahasa Arab:
Yu'ayyidu Al-Indunisiyyun Iedal Fithri
(Masyarakat Indonesia tengah merayakan Idul Fitri).
Sampai di sini tidak ada permasalahan. Sebab "Ied", dengan segala derivasinya seperti yang sudah dipaparkan di atas, adalah hari raya, hari yang bersejarah, atau nostalgia, seolah hari-hari tersebut berulang kembali pada hari ini. Karenanya, ia dinamakan "Ied". Momentum akhir Ramadhan umat Islam mengucapkan "Ied Mubarak" (Happy Ied) atau "Selamat Ied Al-Fithri". Agar lebih akrab dan mudah di lidah orang melayu, kita biasa mengucapkan "Idul Fitri", sehingga kalau tiba hari raya Lebaran masyarakat kita berbondong-bondong mengucapkan "Selamat hari raya Iedul Fithri" atau "Selamat hari raya Idul Fitri". Berbeda kalau ada diantara teman atau kerabat kita merayakan Idul Milad (hari kelahiran), Idul Istiqlal (hari kemerdekaan), Idul Zafaf (hari perkawinan), tak satupun diantara kita mengucapkan kata-kata "selamat Idul Milad ya?". Seolah hanya Idul Fitri dan Idul Adha saja yang sah menyandang predikat "Idul".
Dan, kadang kita salah dalam menggunakan kalimat. Kita terbiasa mengucapkan "selamat hari raya Idul Fitri". Bukankah Idul itu maknanya hari raya? Iya, kan? Lantas, mengapa harus diucapkan berulang-ulang?
Jangan sampai ada mang Jaja anda sebut "Pak Mang Jaja", ada Gus Dur anda panggil "Pak Gus Dur", kepada Cak Nun anda bilang "Pak Cak Nun". Cukup Gus Dur saja, Cak Nun saja, "Selamat Idul Fitri" saja atau "Selamat Hari Raya Fitri" saja. Tidak sulit, yang penting mengena.
Memang, kesalahan seperti ini tak menjadi soal. Kita hanya mencoba semaksimal mungkin menghindari penggunaan kalimat yang berlebihan dan pemborosan kata, disamping menghindari kemurkaan JS Badudu. So, selamat Idul Fitri!
# Taufik Munir