Seorang muslim sejatinya harus selalu sadar dengan apa yang dilihatnya sehingga bisa teliti dalam menyampaikan segala macam berita. Dia mesti selalu melakukan check dan re-check dalam menceritakan riwayat dan menyampaikan kabar berita, jauh dari isu dan desas-desus yang beredar di kalangan manusia.
Dia juga dituntut untuk selalu jujur dalam bertutur dan dalam menyampaikan segala hal kepada orang lain, sehingga tidak mengisi benak dan otak orang-orang dengan perkataan-perkataan bohong dan tidak konsisten. Allah swt berfirman: "Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya." (QS. Al Israa: 36)
Atau, jangan engkau ikuti hal-hal yang tidak sama sekali memiliki bukti-bukti konkret dan ilmiah.
Allah juga berfirman: "Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir." (QS. Qaaf: 18)
Al Qur'an telah menegaskan dengan keras tentang prinsip check dan re-check dalam menyampaikan berita, juga mengajarkan agar tidak segera mempercayai setiap isu yang diucapkan orang dan didengarnya. Allah swt berfirman: "Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu." (QS. Al Hujuraat: 6)
Banyak hadits-hadits Nabi yang juga menyatakan makna yang sama. Di antaranya hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah ra, bahwa Nabi saw bersabda: "Seseorang sudah cukup dikatakan bohong dengan hanya mengatakan langsung hal-hal yang didengarnya."
Hadits ini seperti halnya ayat-ayat al Qur'an di atas menunjukkan dilarangnya menyampaikan secara langsung segala hal yang didengar seseorang, karena bisa saja dia mendengar hal yang benar atau bisa juga bohong. Jika dia melakukan hal tersebut maka sudah bisa dikategorikan berbohong, karena dia telah memberitakan sesuatu yang belum tentu terjadi.
Hadits lain menegaskan makna yang sama. Muslim meriwayatkan dari Samarah bin Jundub ra, dia berkata: Rasulullah saw bersabda: "Barangsiapa meriwayatkan satu perkataan dari aku padahal itu bohong (bukan dari aku), maka dia termasuk orang-orang yang bohong."
Dengan kata lain, meriwayatkan satu perkataan bohong bisa membuat sang perawi digolongkan sebagai pembohong. Ini bukti bahwa sifat bohong diberikan kepada siapa saja yang membuat kebohongan, juga kepada orang yang ikut menceritakan kebohongan itu lagi kepada manusia. Maka bagi seorang muslim seharusnya mengecek terlebih dahulu kebenaran sebuah berita sebelum menyampaikannya lagi kepada orang lain.
Kebohongan bisa terjadi dengan berpura-pura akan sesuatu yang tidak pada hakikatnya. Karena hal itu merupakan kepalsuan dan kebohongan.
Dalam hadits muttafaq alaih diriwayatkan dari Asma binti Abu Bakar ra, bahwa seorang perempuan berkata: "Wahai Rasulullah, aku memiliki madu, apakah berdosa jika aku berpura-pura puas dengan apa yang sebenarnya tidak diberikan suamiku? Lalu Nabi saw menjawab: 'Orang yang berpura-pura puas dengan apa yang tidak diberikan kepadanya seperti orang yang mengenakan pakaian kepalsuan'."
Maksud dari kalimat 'Aku berpura-pura puas dengan apa yang sebenarnya tidak diberikan suamiku' di sini adalah, seseorang yang menganggap dirinya mendapat fadhilah (kemuliaan) padahal kemuliaan itu tidak ada padanya. Nabi saw sendiri menganggap berpura-pura dengan hal yang tidak sebenarnya sebagai kepalsuan dan kebohongan, dan mengumpamakannya dengan orang yang memakai pakaian kepalsuan. Inilah orang yang bersikap palsu terhadap manusia. Seperti halnya orang yang berpakaian dengan pakaian zuhud, alim dan berpura-pura kaya, supaya orang lain iri padanya, padahal dia tidak demikian adanya.
Hadits tadi menyatakan bahwa kepura-puraan seseorang dengan hal yang tidak ada pada dirinya bisa membuat dia dicap sebagai pembohong. Fenomena seperti ini banyak terjadi di zaman kita sekarang ini, baik di kalangan laki-laki maupun perempuan. Kepura-puraan ini dilakukan untuk menampakkan kemuliaan dan kedudukannya sehingga orang itu dianggap berasal dari golongan lapisan atas. Padahal kondisinya bertentangan dengan kenyataan sebenarnya.
Oleh karena itu Islam melalui hadits ini menyuruh supaya ada kesesuaian antara lahir dan batin, penampilan dengan kenyataan, supaya tidak ada penipuan dan kebohongan. Allah swt sendiri telah mengharamkan berbohong dalam kesaksian dan lain sebagainya.
Allah swt berfirman: "Maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta." (QS. Al Hajj: 30). Atau perkataan bathil dan bohong.
Dia juga berfirman: "Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya." (QS. Al Israa: 36)
Dan Allah juga berfirman: "Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir." (QS. Qaaf: 18).
FirmanNya juga: "Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengawasi." (QS. Al Fajr: 14) Atau Tuhanmu mengawasi semua pekerjaan manusia dan memberikan balasannya.
Dalam menggambarkan salah seorang hambaNya, Allah swt berfirman: "Dan orang-orang yang tidak memberikan kesaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya." (QS. Al Furqan: 72) Yaitu orang-orang yang tidak memberi kesaksian yang batil dan bohong.
Kesaksian palsu seperti halnya sumpah perjury atau sumpah bohong yang dilakukan dengan disengaja merupakan salah satu dosa besar. Tidak dihalalkan bagi seorang muslim untuk memberikan kesaksian palsu atau bersumpah dengan sumpah perjury tadi walaupun dia benar atau ada maslahatnya, supaya hal itu tidak dijadikan sarana untuk suatu kejahatan dan kebatilan sehingga akan mendatangkan bahaya bagi orang lain.
Dalam hadits muttafaq alaih yang diriwayatkan dari Abu Bakar ra, dia berkata: Rasulullah saw bersabda: "Maukah engkau aku beri tahu tentang dosa yang paling besar? Kami katakan: Ya, wahai Rasulullah! Kemudian beliau berkaa: Syirik kepada Allah dan melawan kedua orang tua. Tadinya beliau duduk bersandar kemudian duduk tegak. Lalu melanjutkan lagi: Juga berkata bohong, dan memberi kesaksian palsu." Itulah yang beliau ulang-ulang, sampai kami berpikir kapan beliau berhenti.
Atau bahwa ketiga perkara; syirik kepada Allah, melawan kedua orang tua, dan kesaksian palsu merupakan dosa besar yang paling besar, karena semuanya mengandung kerusakan dan bahaya parah di kalangan manusia, juga merupakan kejelekan dan aib berbahaya dalam masyarakat. (Taufik Munir)