Islam merupakan agama pertengahan (wasathiah), agama keadilan, kebaikan dan agama kemuliaan. Islam juga selalu senantiasa mengajarkan cinta dan kasih sayang, melarang perseteruan dan menyuruh memadamkan percikan api-api perselisihan. Pandangan Islam terhadap segala permasalahan adalah pandangan realistis bukan pandangan yang dangkal dan penuh khayal (imajinatif). Oleh karena itu, Islam tidak memperbolehkan seorang bapak berpilih kasih atas sebagian anak-anaknya dalam hibah dan pemberian selama hidupnya. Karena hal itu dapat menimbulkan perselisihan dan menjerumuskan sang bapak ke jurang dosa dan kelak akan dipertanggung-jawabkan di hari hisab. Di samping itu pilih kasih semacam ini dalam hal warisan merupakan bentuk pelanggaran bagi prinsip keadilan, hak dan rahmat. Bagaimana bisa seorang anak mendapat harta bapaknya sementara lainnya tidak mendapatkannya? Tidakkah ini dzalim dan tidak adil?
Islam juga melarang berduka cita atas mayit lebih dari tiga hari, kecuali duka seorang istri yang ditinggal mati suaminya bisa mencapai 4 bulan sepuluh hari, dalam hal ini disebut masa 'iddah.
Larangan Islam untuk berpilih kasih dalam hibah terhadap sebagian anak ini sesuai dengan yang diterangkan dalam hadits muttafaq alaih. Diriwayatkan dari Nu'man bin Basyir r.a., bahwa bapaknya mendatangi Rasulullah saw. dan berkata: "Aku memberi salah seorang anakku seorang hamba yang kumiliki." Lalu Rasulullah saw bertanya padanya: "Apa setiap anak-anakmu engkau berikan hal yang sama? Dia menjawab: tidak. Lalu Rasulullah saw berkata: "Ambil lagi pemberianmu itu!".
Dalam riwayat lain, Rasulullah saw bertanya: "Apa kau lakukan hal yang sama terhadap anak-anakmu yang lain? Dia menjawab: "Tidak". Lalu Rasulullahberkata: "Bertakwalah kepada Allah, dan berlaku adillah terhadap anak-anakmu." Kemudian bapakku pulang dan mengambil kembali sedekah itu.
Dalam riwayat lain disebutkan juga bahwa Rasulullah saw berkata: "Hai Basyir, apa engkau mempunyai anak selain dia?" Dia menjawab: "Ya". Lalu Rasul bertanya: "Apa setiap orangnya kau beri hal yang sama?" Dia menjawab: "Tidak". Kemudian Rasul berkata lagi: "Jika begitu, jangan minta aku bersaksi, karena aku tidak bersaksi dalam kedzaliman."
Atau dalam riwayat lain: "Jangan minta aku bersaksi dalam kedzaliman."
Juga riwayat lain menyebutkan: "Mintalah orang lain untuk bersaksi dalam hal ini." Lalu Rasul juga berkata: "Tidakkah engkau senang jika semua anak-anakmu sama-sama berlaku baik kepadamu." Lalu dia menjawab: "Ya". Rasulpun berkata lagi: "Kalau begitu, jangan kau lakukan!"
Hadits tersebut mengajarkan pentingnya belaku adil dalam pemberian hibah kepada anak-anak, laki-laki maupun perempuan, sesuai dengan kewajiban syariat. Jangan sampai sebagian diutamakan atas sebagian lainnya. Karena hal itu dapat menanamkan benih fitnah dan kerusakan serta kebencian di kalangan anak-anak. Dan ini adalah kedzaliman yang bertentangan dengan prinsip keadilan dan persamaan hak.
Sedangkan menurut pendapat para ulama, Jumhur ulama menyatakan bahwa pilih kasih di antara anak-anak adalah makruh hukumnya. Karena setiap orang bebas melakukan apa saja dalam hartanya semasa hidupnya. Ulama Hanabilah berpendapat lain –pendapat mereka lebih tepat dan sesuai dengan ajaran sunah--, menurut mereka haram hukumnya bepilih kasih di antara anak-anak sesuai dengan hadits tersebut di atas dengan berbagai riwayatnya.
Adapun tentang pengharaman perempuan untuk berduka cita atas mayit lebih dari tiga hari kecuali terhadap suaminya boleh 4 bulan sepuluh hari, dalilnya adalah hadits
muttafaq alaih yang diriwayatkan dari Zainab binti Abi Salamah ra, bahwa dia berkata:
"Aku masuk ke ruangan Ummu Habibah ra, Istri Nabi saw, saat bapaknya, Abu Sufyan bin Harb, meninggal. Dia memakai wangi-wangian yang harum baunya. Dia memakainya sambil bersegera menyongsong dan memegang-megang kedua pipinya, lalu berkata: "Demi Allah, aku tidak butuh wangi-wangian, akan tetapi aku pernah mendengar Rasulullah saw berkata di atas mimbar: "Tidak dihalalkan bagi seorang perempuan yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk berduka cita atas mayit lebih dari tiga malam kecuali terhadap suaminya yaitu empat bulan sepuluh hari."
Lalu Zainab berkata lagi: "Kemudian aku masuk ke ruangan Zainab bin Jahsy ra, saat saudara laki-lakinya meninggal. Dia meminta minyak wangi lalu menyentuhnya. Kemudian dia berkata: Demi Allah, aku tidak butuh wangi-wangian, akan tetapi aku mendengar Rasulullah saw berkata di atas mimbar: "Tidak dihalalkan bagi seorang perempuan yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk berduka cita terhadap mayit lebih dari tiga malam kecuali terhadap suaminya yaitu empat bulan sepuluh hari."
Hadits tersebut menyatakan diperbolehkannya berduka cita atas mayit selain suami hanya sampai tiga hari saja, selebihnya haram. Sedang duka cita atas kematian suami masanya sama dengan masa iddah kematian, yaitu empat bulan sepuluh hari dan malam.
Hikmah disyari'atkannya 'iddah dan duka cita ini adalah untuk meyakinkan betul-betul akan kekosongan rahim sang istri dan tidak sedang mengandung, juga untuk menjaga kehormatan sang perempuan. Di samping itu untuk menghindari tudingan dan su'udzhann terhadap mereka, juga sebagai penghargaan bagi indahnya perkawinan dan menjaga perasaan keluarga sang suami.
Ini adalah bukti bahwa Islam merupakan agama pertengahan (
washathiyah) dan keadilan. Oleh karenanya Islam membolehkan duka cita dan menangis atas mayyit selama tiga hari bagi laki-laki dan perempuan, dan mengharamkan berduka cinta atas mayit melebihi masa ini, supaya mereka bisa langsung menjalani kehidupannya sehari-hari dan menghadapi hidupnya dengan penuh kekuatan dan keseriusan, tidak dihambat oleh kesedihan yang berkepanjangan sehingga dapat melemahkan manusia dan mengacaukan pikiran dan fisiknya. Kecuali seorang istri, Islam memperkenankannya untuk berduka cita atas kematian suaminya selama masa '
iddahnya, yaitu; empat bulan sepuluh hari dengan pertimbangan-pertimbangan yang telah disebutkan di atas.
(Taufik Munir)