Hal-hal yang makruh dalam Islam adalah hal-hal yang diperintahkan untuk ditinggalkan bukan secara keras atau paksaan. Atau hal-hal yang jika ditinggalkan, orang yang meninggalkannya akan terpuji, dan jika dilaksanakan, orang yang melaksanakannya tidak berdosa dan tidak mendapat sanksi, tapi mungkin hanya mendapat celaan dan cemoohan.
Makruh berbeda dengan haram, karena haram adalah hal-hal yang diperintahkan untuk ditinggalkan secara keras dan paksaan. Atau hal-hal yang jika dilakukan, pelakunya akan mendapat dosa dan sanksi baik di dunia maupun di akhirat. Hal-hal yang makruh itu banyak sekali sementara yang haram sedikit.
Hal-hal yang makruh dalam ibadah misalnya, keluar dari masjid setelah adzan dikumandangkan dan sebelum melaksanakan shalat fardhu, kecuali karena uzur. Seperti yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu As-Sya'tsa, dia berkata: "Kami tengah duduk bersama Abu Hurairah di dalam masjid, kemudian seorang mu'adzin mengumandangkan adzan. Lalu seorang laki-laki berdiri dan beranjak keluar dari masjid. Abu Hurairah pun terus memperhatikannya sampai dia keluar, lalu dia berkata; 'perbuatan ini dikecam oleh Abul Qasim (Nabi saw)'."
Hadits ini menunjukkan dibencinya meninggalkan masjid setelah adzan karena masuk waktu shalat dan sebelum dilaksanakannya shalat fardhu tanpa halangan atau uzur yang jelas, seperti sakit atau bepergian, karena perbuatan ini dianggap maksiat.
Hal-hal yang makruh dalam kebiasaan sehari-hari misalnya: menolak 'raihan' (sejenis tumbuhan-tumbuhan yang wangi) atau menolak wangi-wangian tanpa sebab. Sebagaimana yang diriwayatkan Muslim dari Abu Hurairah ra, dia berkata: "Rasulullah saw bersabda: "Barangsiapa yang ditawarkan kepadanya raihan (wangi-wangian) maka hendaknya ia tidak menolaknya, karena sebetulnya wangian-wangian itu tidak berat dan wangi baunya."
Hadits lain yang menguatkan hal serupa diriwayatkan oleh Bukhari dari Anas bin Malik ra.: "Bahwa Nabi saw tidak pernah menolak wangi-wangian."
Kedua hadits tadi menunjukkan dianjurkannya menerima hadiah wangi-wangian dan memakainya, khususnya di tempat-tempat keramaian seperti saat shalat jum'at dan shalat berjama'ah.
Hal-hal yang makruh lainnya secara umum, misalnya memuji wajah seseorang yang berpotensi sombong, besar hati dan ujub. Memuji seperti ini dibolehkan untuk orang yang tidak berpotensi demikian. Sebagaimana yang ditegaskan hadits muttafaq alaih yang diriwayatkan oleh Abu Musa Al Asy'ari ra, dia berkata: "Nabi saw mendengar seseorang memuji orang lain dan berlebihan dalam memujinya, lalu beliau bersabda: 'Kalian telah merusak orang itu'." Atau kalian menjerumuskan orang itu sehingga menjadi sombong, besar hati dan ujub.
Hadits ini menunjukkan makruhnya memuji orang lain yang berpotensi besar hati akibat pujian, tapi jika pujian itu tidak membuatnya sombong, maka tidak dilarang.
Hadits lain yang muttafaq alaih juga menegaskan hal yang sama. Dari Abu Bakrah ra, bahwa seorang laki-laki namanya disebutkan di depan Nabi saw, kemudian orang lain memujinya dengan hal-hal yang baik, lalu Nabi saw berkata kepadanya: "Hendaknya engkau tidak melakukan itu, engkau sama saja dengan memotong lehernya –nabi mengucapkan hal ini berkali-kali— Jika seseorang memuji, boleh saja dan hendaknya ia berkata: 'aku pikir begini…begini…, jika memang dia kelihatan seperti itu. Hendaklah Allah yang menjadi bahan pujiannya, dan tidak seorangpun yang berhenti memuji Allah."
Hadits ini menunjukkan makruhnya pujian melebihi kondisi yang ada pada orang yang dipujinya. Jika dia ingin memuji, maka hendaknya dia berkata: "Aku pikir" karena hakikat seseorang itu tidak diketahui kecuali oleh Allah swt.
Dan hendaknya orang yang dipuji tidak perlu mendengar pujian tersebut dan merasa besar hati akibat pujian. Ini untuk menghindari hal yang tidak diinginkan dan jangan sampai pujian itu dijadikan sarana untuk berbohong dan gombal sehingga bisa menjerumuskan orang menjadi sombong dan congkak.
Seperti yang diriwayatkan Muslim dari Hammam bin Al Harits dan dari Miqdad bin al Aswad ra: "Bahwa seroang laki-laki memuji-muji Utsman ra. Lalu Miqdad berlutut di depannya dan melemparkan batu kecil ke mukanya. Lalu Ustman berkata: 'Apa yang kau lakukan?' Dia menjawab: 'Rasulullah saw bersabda: 'Jika kalian menemukan para pemuji, maka lemparkan debu ke mukanya'."
Larangan memuji seseorang ini berlaku bagi orang yang dikhawatirkan berpotensi untuk besar hati, sombong dan ujub. Dengan demikian pujian ini menjadi makruh secara keras. Tapi jika orang yang dipuji memiliki kekuatan iman dan keyakinan sehingga diyakini tidak akan sombong, maka pujian dibolehkan berdasarkan penggabungan hadits-hadits yang saling bertentangan, seperti yang disebutkan oleh al Nawawi.
Di antara dalil-dalil yang membolehkan pujian, hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dari perkataan Nabi saw untuk Abu Bakar ra: "Aku harap engkau termasuk golongan mereka." Yaitu golongan orang-orang yang dipanggil masuk syurga melalui semua pintunya.
Dalam hadits lain yang juga diriwayatkan Bukhari tentang sifat-sifat Abu Bakar: "Engkau tidak seperti mereka." Yaitu orang-orang yang menjulurkan bajunya secara sombong. Atau: "Engkau, wahai Abu Bakar tidak seperti orang-orang yang memanjangkan ujung bajunya dengan sombong."
Bukhari juga meriwayatkan bahwa Nabi saw berkata kepada Umar ra:
"Bila Syetan melihat engkau melewati sebuah jalan maka dia akan melewati jalan selain jalan yang engkau lalui." Atau Syetan sendiri sangat takut dan segan dengan kedudukan Umar dan kepribadiannya. Oleh karena itu dia selalu menghindar dari jalan yang tengah dilalui Umar ra.
(Taufik Munir)