Laknat artinya 'pengusiran dari rahmat Allah'. Seseorang tidak boleh melaknat sesuatu obyek, baik itu manusia ataupun binatang. Karena itu bertentangan dengan asal penciptaan Allah yang telah menciptakan makhlukNya dengan rahmat.
Melaknat seorang mukmin sama saja dengan membunuhnya, dan ini merupakan kejahatan yang sangat besar. Karena orang yang dilaknat tersebut akan terjauh dari rahmat Allah, padahal rahmat tidak dimiliki oleh si pelaknat.
Sekumpulan hadits Nabi yang shahih telah menyatakan haramnya melaknat seseorang, walaupun orang kafir atau bahkan binatang sekalipun.
Dalam hadits muttafaq alaih yang diriwayatkan Abu Zaid bin Tsabit bin Al Dhahhak al Anshari ra – sahabat yang ikut serta pada peristiwa 'bai'aturridwan', dia berkata: Rasulullah saw bersabda: "Barang siapa yang bersumpah bahwa seseorang beragama selain agama Islam dan dengan sengaja berbohong, maka diapun menjadi seperti itu (kafir), dan barang siapa yang membunuh dirinya dengan sesuatu benda, maka dia juga akan disiksa pada hari kiamat dengan benda tersebut. Seseorang tidak boleh bernadzar dengan sesuatu yang tidak dimilikinya, dan melaknat seorang mukmin adalah sama dengan membunuhnya."
Hadits ini mengandung empat ketentuan hukum:
Pertama, bersumpah bahwa seseorang beragama selain agama Islam, seperti jika dia berkata bahwa si fulan adalah seorang Yahudi atau seorang Nasrani, jika dia melakukan hal tersebut dengan sengaja berbohong, maka dia telah menjadi kafir langsung. Karena ada kaedah menyatakan: Keinginan untuk menjadi kafir juga bisa dikatakan kafir.
Kedua, bunuh diri hukumnya haram. Orang yang bunuh diri akan disiksa pada hari kiamat dengan membunuh dirinya sendiri juga dengan cara bunuh dirinya di dunia.
Ketiga, tidak perlu menunaikan nadzar dengan sesuatu yang tidak dimilikinya.
Keempat, melaknat seorang mukmin sama dengan membunuhnya, dan tergolong kejahatan besar seperti halnya membunuh orang dengan sengaja.
Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah ra, dia berkata: Bahwa Rasulullah saw bersabda: "Seseorang yang percaya dan beriman tidak boleh menjadi seorang pelaknat." Atau, bahwa sifat banyak melaknat tidak sesuai dengan keimanan dan kepercayaan.
Orang yang biasa melaknat termasuk fasiq, tidak bersih dan tidak jujur. Dengan demikian kesaksian dan syafa'atnya tidak perlu diterima pada hari kiamat.
Muslim meriwayatkan dari Abu Darda' ra, dia berkata: Rasulullah saw bersabda: "Para pelaknat tidak akan menjadi pemberi syafaat dan tidak layak menjadi saksi pada hari kiamat."
Orang yang banyak melaknat termasuk orang yang melampaui batas-batas Allah. Abu Daud dan Tirmidzi meriwayatkan --hadits hasan, dari Samarah bin Jundub ra, dia berkata: Rasulullah saw bersabda: "Janganlah engkau saling melaknat dengan laknat Allah, tidak juga dengan murkaNya, juga tidak dengan api." Atau diharamkan melaknat dengan laknat Allah, murkaNya, atau dengan api, karena kesemuanya ini merupakan hal yang sangat besar.
Laknat dan iman tidak pernah akan bertemu. Orang yang sempurna imannya tidak menjadi pelaknat, pembuka aib, tidak juga menjadi orang yang biasa berbicara kotor dan keji. Tirmidzi meriwayatkan –hadits hasan— dari Ibn Mas'ud ra, dia berkata: Rasulullah saw bersabda: "Seorang mukmin tidak akan menjadi pencari aib, pelaknat, dan tidak menjadi orang yang sering berbicara keji dan kotor." Kesemua sifat ini dicela Nabi saw karena dapat mengurangi kadar iman pada diri seseorang.
Jika laknat ditujukan kepada satu obyek yang tidak tertentu, maka bahayanya akan kembali kepada pengucap laknat itu sendiri. Abu Daud meriwayatkan dari Abu Darda' ra, dia berkata: Rasulullah saw bersabda: "Sesungguhnya seorang hamba jika mengucapkan laknat terhadap sesuatu, maka laknat itu akan naik ke langit, pintu langit pu akan tertutup tidak menerimanya, dan laknat itu akan turun kembali ke bumi, pintu bumi pun akan tertutup dan tidak mau menerimanya. Kemudian laknat itu berjalan ke kanan dan ke kiri. Bila laknat itu tidak menemukan tempatnya, maka ia akan kembali ke orang yang dilaknat tersebut jika dia memang layak mendapat laknat, tapi kalau dia tidak layak mendapat laknat, maka laknat tersebut akan kembali ke pengucap laknatnya sendiri." Dengan demikian seakan-akan orang yang mengucapkan laknat itu menghendaki dirinya dijauhkan dari rahmat Allah.
Melaknat obyek secara massal dibolehkan dalam Islam, seperti melaknat orang-orang dzalim dan orang-orang kafir.
Melaknat itu diharamkan, bahkan terhadap binatang sekalipun. Muslim meriwayatkan dari Umran bin al Hushain ra, dia berkata: "Saat Rasulullah saw tengah dalam salah satu perjalanannya, ada seorang perempuan yang tengah menunggangi unta kendaraannya. Tapi perempuan itu terlihat kesal, akhirnya dia melaknat binatang tersebut. Lalu kemudian didengar oleh Rasulullah saw. Akhirnya beliau berkata; 'ambilah barang-barang yang ada di punggung unta itu dan lepaskan ia, karena ia telah dilaknat." Umran lalu bercerita: 'Seakan aku melihat binatang tersebut sekarang berjalan di tengah manusia tanpa ada seorang pun yang menghendakinya, dan seakan kejadian ini terjadi sebelum datang larangan Islam untuk menghina binatang. Maka dalam Islam tidak ada yang boleh menghina binatang.
Binatang yang terlaknat tidak boleh menemani perjalanan Nabi saw, walaupun boleh dijual, disembelih dan ditunggangi tanpa kehadiran Rasulullah saw. Muslim meriwayatkan dari Abu Barzah Nadhlah bin Ubaid al Aslami ra, dia berkata: "Saat seorang budak perempuan menunggangi unta tunggangannya dan bersamanya barang-barang milik sebuah kaum. Tiba-tiba berpapasan dengan Nabi saw, sementara jalan di antara gunung itupun menjadi sempit. Budak itupun berkata kepada binatangnya: 'Husy…Ya Allah, laknatlah binatang ini!' Lalu Nabi saw berkata: 'Binatang yang telah dilaknat tidak boleh menemani perjalanan kita'."
Nabi saw telah melarang untuk menemani binatang yang sudah terkena laknat, seperti halnya melarang menemani orang-orang yang berbuat bid'ah dan fasiq, karena semuanya telah dilaknat. Larangan-larangan ini tidak lain untuk menahan kita agar tidak melaknat segala sesuatu hal, baik itu manusia maupun binatang tertentu. (Taufik Munir)