Syari'at Islam telah melarang beberapa macam jual beli yang berbahaya bagi maslahat seseorang, maslahat masyarakat atau bahkan maslahat pasar konsumtif. Larangan ini berdampak pada batal atau rusaknya akad jual beli yang dilakukan. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari adanya penipuan (ghaban) dan tindakan eksploitatif (pemerasan), menghindari bahaya bagi maslahat pihak-pihak pelaku pasar dan menjauhi tindakan menekan konsumen dengan harga yang mahal, juga menghindari perselisihan antar manusia akibat sebuah transaksi jual beli ini. Allah swt berfirman: "Dan ta'atlah kepada Allah dan RasulNya dan janganlah kamu berbantah-bantahan (berselisih), yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar." (QS: Al-Anfal: 36)
Sebab timbulnya bermacam-macam perselisihan yang paling berbahaya adalah jual beli atau mu'amalah. Oleh karena itu harus dihindari hal-hal yang menyebabkan perpecahan dan kelemahan, kebencian dan kedengkian, eksploitasi dan penipuan (ghaban).
Salah satu jenis jual beli yang dilarang itu antara lain, jual beli "al hadhir lil badi" atau penjualan yang dilakukan oleh orang yang mukim di suatu kota atas barang milik orang yang baru datang dari luar kota dan berniat mendagangkan barangnya. Seperti, jika halnya seorang mukim tersebut berkata kepada yang baru datang dari luar kota: "Jangan kau jual barangmu di pasar sekarang, biarlah aku yang menjualkannya untukmu secara bertahap". Jual beli semacam ini haram hukumnya karena akan mendatangkan madharat bagi para konsumen dan pelaku pasar yang ada di kota tersebut.
Ini sesuai dengan hadits muttafaq alaih yang diriwayatkan dari Anas bin Malik ra, bahwa dia berkata: "Rasulullah saw melarang jual beli "hadhir li bad", sekalipun yang mukim tersebut adalah saudara tirinya."
Macam jual beli yang dilarang lainnya adalah jual beli "talaqqi arrukban", yaitu pembelian dengan cara mencegat rombongan orang-orang yang membawa dagangan untuk dijual di pasar kota. Hikmah diharamkannya pembelian semacam ini secara syar'i adalah untuk menghindari madharat bagi pemilik barang dan tidak menipunya.
Dalil dari pengharaman ini adalah, hadits muttafaq alaih yang diriwayatkan dari Ibn Umar bahwa dia berkata: Rasulullah saw bersabda: "Jangan engkau dapatkan barang dagangan kecuali jika barang tersebut sudah tiba dan turun di pasar."
Hadits lain yang juga muttafaq alaih bahkan mengandung larangan melakukan dua macam jenis jual beli tadi. Diriwayatkan dari Ibn Abbas ra. bahwa dia berkata: "Rasulullah saw bersabda: "Jangan engkau lakukan jual beli "talaqqi rrukban" dan "hadir libad". Kemudian Thawus bertanya: "Apa yang dimaksud dengan jual beli "hadir libad"? Lalu dia menjawab: "Yaitu jual beli tanpa perantara (calo), atau seorang yang mukim dan yang tiba dari kampung tidak menjadi perantara antara penjual dan pembeli."
Larangan dalam hadits tersebut menunjukkan pengharaman kedua jenis jual beli itu; jual beli "talaqqi rukban"dan jual beli "hadir li bad". Perbedaan antara keduanya adalah bahwa jenis yang pertama mengandung madharat bagi orang yang membawa barang, sedang jenis yang kedua mengandung madharat bagi orang-orang selaku pelaku dan konsumen pasar.
Ada lagi satu hadits yang juga muttafaq alaih yang menyatakan larangan terhadap empat macam akad, yaitu: jual beli "hadir li bad", jual beli "Najasy" (dengan cara meninggikan harga barang untuk menipu orang lain dengan tanpa niat membelinya), jual beli seseorang atas jual beli saudaranya, pinangan seseorang atas pinangan saudaranya, dan permintaan perempuan atas perceraian seorang istri agar dia bisa menggantikan posisinya untuk menjadi istri. Hadits ini diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. Dia berkata: "Rasulullah saw melarang jual beli "hadir libad", jual beli "najasy", pembelian seseorang atas pembelian saudaranya, pinangan seseorang atas pinangan saudaranya, dan seorang perempuan agar tidak meminta perceraiannya saudara perempuannya agar dia bisa menggantikan posisinya untuk menjadi istri seseorang."
Dalam sebuah riwayat dikatakan: "Rasulullah saw melarang "talaqqi" dan seorang pendatang menjual barangnya kepada yang mukim, perempuan memohon perceraian saudaranya, seorang yang meninggikan harga setelah kesepakatan, dan beliau juga melarang jual beli "najasy" dan "tashriah" (membiarkan binatang tidak diperah selama tiga hari supaya susunya menumpuk, sehingga pembeli akan terkecoh dengan banyak susu binatang tersebut).
Hadits dengan kedua riwayat ini menunjukkan haramnya jenis-jenis jual beli tersebut, karena semuanya mengandung madharat dan tipuan, juga dapat menimbulkan perselisihan. Hadits tersebut juga menyatakan haramnya hal-hal yang dapat menyebabkan perpecahan antara kedua suami istri dan melarang pinangan atas pinangan yang telah disepakati bersama.
Hadits lain yang muttafaq alaih juga menguatkan hal tersebut. Diriwayatkan dari Ibn Umar ra. Bahwasanya Rasulullah saw bersabda: "Tidak diperkenankan bagi sebagian kalian untuk membeli pembelian orang lain dan meminang atas pinangan saudaranya, kecuali jika diizinkan." Atau: jangan sampai seseorang di antara kamu meminta membeli barang yang sudah dibeli orang lain, dan jangan meminang seorang perempuan yang sudah dipinang orang lain, baik peminangnya muslim atau bukan.
Maksud dari kata "saudara" di sini adalah saudara dari sisi kemanusiaan, seperti firman Allah swt.: "Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum 'Aad saudara mereka, Hud. Ia berkata: Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain Dia." (QS: Al-A'raf: 65)
Juga firmanNya: "Dan kepada Tsamud (Kami utus) saudara mereka, Shaleh. Shaleh berkata: 'Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia." (QS: Hud: 61)
Hadits ini menunjukkan haramnya pembelian atas pembelian, pinangan atas pinangan, kecuali jika si peminang pertama mengizinkan peminang kedua atau peminang pertama tidak nampak dan menghilang beberapa waktu lamanya sehingga akan membahayakan si perempuan. Akad di sini walaupun sah tapi mengandung dosa dan maksiat.
Muslim juga meriwayatkan satu hadits dengan lafadz lain seperti di atas. Dari Uqbah bin amir ra. Bahwa Rasulullah saw bersabda: "Seorang Mukmin adalah saudara bagi mukmin lainnya, maka tidak dihalalkan baginya untuk membeli atas pembelian saudaranya, dan meminang atas pinangan yang lain kecuali jika dia telah meninggalkannya." Atau: Kecuali peminang pertama telah meninggalkan dan membatalkan pinangannya atau mengizinkan peminang kedua.
Hadits ini juga menunjukkan haramnya pinangan peminang kedua tanpa kerelaan peminang pertama, juga penawaran seseorang terhadap barang sebelum penawar pertama meninggalkan barang tersebut. Kesemuanya itu dimaksudkan untuk menghindari perselisihan dan perseteruan, kebencian dan kedengkian, agar terwujudnya rasa persaudaraan di kalangan manusia. (Taufik Munir)