Etika dan akhlak yang paling layak adalah menjaga rahasia yang dipelihara seseorang. Sehingga dia tidak membeberkan dan membukanya serta tidak memberitahu orang lain akan rahasia tersebut. Karena membuka rahasia merupakan bentuk pengkhianatan dan merusak kepercayaan, keluar dari kerangka moral yang harus dijaga. Seorang manusia kadang merasa sakit akibat sesuatu hal atau akibat mengetahui sesuatu yang dilihatnya dalam dirinya terdapat cacat dan aib. Kemudian dia menceritakan kekurangannya ini kepada teman atau sahabatnya. Kemudian temannya ini menyebarkannya lagi. Akhirnya terjadilah perselisihan dan fitnah. Terjadilah sesuatu yang tidak ada baiknya sama sekali.
Islam sangat menjaga untuk menutup semua jendela perselisihan dan pertengkaran, menjaga keamanan dan melarang untuk menimbulkan masalah, supaya manusia tetap dalam rasa cinta dan persatuan, tenang dan damai, saling mengasihi dan dalam kerjenihan hati dan jiwa.
Barang siapa yang menyebarkan rahasia orang lain setelah dipercaya untuk menjaganya atau diminta untuk menjaga dan tidak membocorkannya, maka dia telah merusak prinsip-prinsip perjanjian dan amanat. Dia juga telah berkhianat atas janjinya. Sementara mengkhianati janji merupakan sebuah tindakan kriminal yang akan mendapatkan dosa dan azab. Ini yang dilupakan oleh sebagian orang. Oleh karena itu Allah swt berfirman: “Dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya.” (QS. Al Isra: 34).
Atau orang itu akan dipertanggungjawabkan atas pelanggarannya terhadap janji dengan pertanggungjawaban dosa dan azab.
Nabi saw sendiri telah memperingatkan kita dari perilaku menyebarkan rahasia ini dan merusak amanat ucapan.
Diriwayatkan oleh al Khatib al Baghdadi dari Ali ra –hadits hasan—bahwa beliau bersabda: “Majelis-majelis itu tetap harus menjaga amanat.”
Atau tidak dibolehkan seseorang yang duduk di sebuah majelis dan mendengarkan rahasia orang lain untuk membeberkan rahasia ini kepada orang lain, kecuali rahasia ini berhubungan dengan sesuatu yang membahayakan kaum muslimin.
Hadits ini juga menganjurkan untuk selalu mempergauli orang-orang yang bisa menjaga amanat dan menjauhi orang-orang yang biasa berkhianat. Ibn Al Atsir berpendapat bahwa hadits ini menganjurkan untuk tidak menceritakan apa yang berlaku di sebuah majelis berupa perbuatan dan ucapan. Karena itu merupakan amanat bagi orang yang mendengar dan melihatnya. Amanat itu hanya dalam ketaatan, ibadah, titipan, kepercayaan dan rasa aman.
Dalam hadits lain Nabi saw menjelaskan hal-hal yang boleh disebarluaskan.
Yaitu dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Jabir ra —hadits hasan--: “Majelis-majelis itu harus menjaga amanat kecuali dalam tiga hal: pertumpahan darah yang haram, kemaluan yang diharamkan dan perampasan harta tanpa hak.”
Atau siapa yang berbicara dalam satu majelis bahwa dia ingin membunuh si fulan, atau berzina dengan fulan, dan ingin mengambil harta si fulan secara dzalim, maka bagi orang yang mendengarnya harus menyebarkan berita ini, tidak dibolehkan menyembunyikannya, bahkan diperintahkan untuk langsung menyebarkannya supaya terhindar bahaya dan kerusakan.
Al Qadhi ‘Iyyadh berpendapat bahwa maksud dari hadits ini adalah bahwa seorang mukmin jika menghadiri sebuah majelis dan menemukan orang-orang di sana tengah melakukan kemungkaran, maka dia harus menutupi-nutupi aib mereka dan tidak menyebarkan apa yang dilihatnya, kecuali kemungkaran ini berhubungan dengan tiga hal tadi, karena ketiga hal ini mengandung kerusakan yang sangat besar dan menyembunyikannya dapat mendatangkan bahaya yang lebih besar.
Nabi saw telah mencela istrinya, Hafshah, saat beliau memintanya untuk menjaga rahasia bahwa beliau telah mengharamkan madu (istri muda) atas dirinya, atau mengharamkan Maria al Qibthiyyah. Atau saat beliau menceritakan kepada Hafshah bahwa bapaknya (Umar bin Khattab) dan bapak Aisyah (Abu Bakar) akan menjadi khalifah setelah beliau. Pada saat Hafshah menceritakan hal ini kepada orang lain, dan Allah memberitahu NabiNya akan hal ini, Nabi memberitahu Hafshah sebagian berita Allah ini dan menyembunyikan sebagian lainnya. Atas peristiwa ini turunlah firman Allah swt pada awal surat At Tahrim: “Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah menghalalkannya bagimu; kamu mencari kesenangan hati isteri-isterimu Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kamu sekalian membebaskan diri dari sumpahmu; dan Allah adalah Pelindungmu dan Dia Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dan ingatlah ketika Nabi membicarakan secara rahasia kepada salah seorang dari isteri-isterinya (Hafsah) suatu peristiwa. Maka tatkala (Hafsah) menceritakan peristiwa itu (kepada Aisyah), dan Allah memberitahukan hal itu (semua pembicaraan antara Hafsah dengan Aisyah) kepada Muhammad lalu Muhammad memberitahukan sebagian (yang diberitakan Allah kepadanya) dan menyembunyikan yang sebagian yang lain (kepada Hafsah). Maka tatkala (Muhammad) memberitahukan pembicaraan (antara Hafsah dan Aisyah) lalu Hafsah bertanya:"Siapakah yang memberitahukan hal ini kepadamu" Nabi menjawab:"Telah diberitahukan kepadaku oleh Allah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal". (QS. At-Tahrim: 1-3).
Ketinggian akhlak para sahabat yang sangat termasyhur adalah menjaga rahasia. Diceritakan bahwa setelah Hafshah binti Umar ditinggal wafat Rasulullah saw, Umar menawarkan Utsman dan Abu Bakar untuk mengawininya. Keduanya pun menolak karena Nabi saw –seperti yang diriwayatkan Muslim dari Ibn Umar— pernah menyebut-nyebut nama Hafshah. Abu bakar berkata: Aku tidak ingin membuka rahasia Rasulullah saw. Jika Nabi saw membiarkannya (saat itu) maka akan aku terima Hafshah.
Begitu juga Sayyidah Fatimah az Zahra ra saat Rasulullah saw memintanya untuk menjaga rahasia dua kali, Fatimah menolak membeberkan rahasia itu kepada Aisyah ra, dan berkata: Aku tidak Ingin menyebarkan rahasia Rasulullah saw. Dan ketika Nabi saw telah wafat, Aisyah berkata kepada Fatimah –seperti yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari Aisyah—: Aku ingin tahu yang sesungguhnya apa yang dikatakan Rasulullah saw kepadamu dahulu. Kemudian Fatimah berkata: Kalau sekarang ya, adapun tentang rahasia pertama, beliau memberitahuku bahwa Jibril as mencocokkan Al Qur’an dengan Nabi saw satu atau dua kali dalam setahun, dan akhir-akhir ini (hari-hari akhir umur Nabi saw) dua kali dalam setahun, dan Rasulullah melihat ajalnya telah dekat, maka pesan beliau: bertakwalah kepada Allah dan bersabarlah, karena anugerah yang paling indah bagimu adalah aku. Kemudian Fatimah pun (saat itu) menangis. Dan tatkala Nabi saw melihat kesedihan Fatimah, beliaupun meminta Fatimah untuk menjaga rahasianya yang kedua dengan berkata: Wahai Fatimah, tidakkah engkau ingin menjadi pemuka seluruh perempuan kaum mukminin, atau pemuka perempuan umat ini?” Akhirnya Fatimah pun terhibur dan tertawa.
Begitu juga Ummu Anas bin Malik berkata kepada anaknya –seperti yang diriwayatkan oleh Muslim dari Tsabit dan dari Anas: “Jangan engkau beberkan rahasia Rasulullah saw kepada orang lain. Kemudian Anas berkata kepada Tsabit: Demi Allah jika aku membicarakan hal ini kepada seseorang, maka aku lebih memilih membicarakannya dengan engkau wahai Tsabit!”
Kesimpulannya, menjaga rahasia teman dan handai taulan dan tidak membeberkannya merupakan akhlak yang paling mulia dan etika Islam yang sangat tinggi. (Taufik Munir)