Seorang mukmin senantiasa melindungi menghormati hak-hak sosial orang lain. Ia juga harus menjaga hal-hal yang diharamkan Allah yang sekiranya menyentuh masyarakat secara keseluruhan. Dasar dari perlindungan ini karena adanya perasaan teralienasi dan hasrat untuk bersaudara, ingin menghindari bahaya dari dan terhadap orang lain, ingin mengasihi dan menyayanginya.
Maka siapa yang berpura-pura mengusung persatuan umat sementara dia tidak menjauhkan bahaya dari orang lain dan bergaul dengan sesama dengan kekerasan dan tiran, maka orang itu tidak layak berafiliasi dengan umat ini, karena sebenarnya dia tengah menyusun tipu daya dan ingin menghancurkan maslahat, identitas dan eksistensi umat ini. Sedangkan siapa yang memperlakukan orang lain dengan kelembutan dan kasih sayang, toleran dan menjauhkan bahaya serta merasa bahwa dirinya bagian dari umat ini dan ingin menjaga maslahatnya, maka orang itulah yang bisa diandalkan pada saat musibah dan dari dialah diharapkan datangnya kebaikan di saat umat ditimpa bencana.
Al Qur’an dan sunah Nabi saw telah mengajarkan keharusan konsistensi dalam menjaga faktor-faktor persatuan dan kekuatan internal dalam banyak ayat dan hadits.
Di antara ayat al Qur’an adalah firman Allah swt:
“Demikianlah (perintah Allah. Dan barangsiapa yang mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi Allah maka itu adalah lebih baik baginya di sisi Tuhannya.” (QS. Al Hajj: 30)
Atau siapa yang meninggikan hukum-hukum Islam secara umum dan tidak membiarkannya dirusak, maka dia sama dengan mengambil kebaikan langsung dari Tuhannya.
Juga firman Allah swt: “Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati." (QS. AL Hajj: 32)
"Syiar Allah" maksudnya, kewajiban melaksanakan haji dengan menjaga 'aturan mainnya, tempat-tempatnya dan memberikan hadiah-hadiah untuk tanah Haram, karena kesemuanya itu merupakan amalan-amalan haji.
FirmanNya: “Dan berendah dirilah kamu terhadap orang-orang yang beriman.” (QS. Al Hijr: 88)
Juga firmanNya: “Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.” (QS. Al Maidah: 32)
Atau menganiaya satu orang sama dengan menganiaya semua manusia dan membunuh secara disengaja dan tanpa hak akan mendapatkan murka dan azab Allah swt.
Dalam rangka menjaga medan sosial umum di pasar, jalanan atau di tempat bekerja, Rasulullah saw telah memperingatkan agar tidak mengacung-acungkan busur dan anak panahnya di jalan-jalan.
Beliau bersabda yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abu Musa al Asy’ari ra: “Seorang Mukmin dengan mukmin lain adalah umpama bangunan yang satu sama lain saling menguatkan.”
Juga sabda Beliau dari Abu Musa al ‘Asy’ari: “Barangsiapa yang melewati masjid dan pasar kita dengan membawa-bawa anak panah, maka hendaknya ia menjaganya atau mengikatnya dengan tangannya pada busurnya agar tidak mengenai seseorang dari kaum muslimin.”
Termasuk dalam hal ini segala jenis besi dan kayu yang bisa melukai atau tongkat panjang dan sebagainya.
Ini menunjukkan etika membawa senjata dan benda-benda yang terbuat dari besi dalam Islam, agar terhindar bahaya yang ditimbulkan akibat senjata tersebut.
Nabi saw mengumpamakan satu umat dengan satu tubuh. Dalam hadits muttafaq alaih yang diriwayatkan dari Nu’man bin Basyir ra, Beliau bersabda: “Perumpamaan orang-orang mukmin yang saling mencintai, saling menyayangi dan saling mengasihi seperti tubuh yang jika salah satu anggotanya sakit, maka seluruh tubuh pun akan ikut merasa sakit sehingga demam dan terjaga.”
Nabi saw juga telah mengajarkan umatnya sifat kemanusiaan dan kasih sayang terhadap anak kecil dan sebagainya. Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah ra, dia berkata: “Nabi saw mencium Hasan bin Ali ra, saat itu ada Aqra’ bin Habis di samping beliau. Kemudian Aqra’ berkata: Aku juga memiliki sepuluh orang anak dan aku tidak sama sekali menciumi mereka. Rasulullah pun melihatnya sambil berkata: ‘Siapa yang tidak menyayangi maka tidak akan disayangi.”
Dalam hadits lain muttafaq alaih diriwayatkan dari Aisyah ra, dia berkata: “Beberapa orang Arab datang kepada Rasulullah saw, dan mereka bertanya: Apakah kalian semua menciumi anak-anakmu? Rasul dan para sahabat: Ya. Lalu mereka berkata lagi: Tapi kami demi Allah tidak menciumi mereka. Kemudian akhirnya Rasulullah saw bersabda: ‘Apa kalian berharap jika Allah mencabut rahmat dan kasih sayang dari hati kalian’.”
Hadits muttafaq alaih lain diriwayatkan dari Jarir bin Abdullah ra, dia berkata: Rasulullah saw bersabda: “Siapa yang tidak menyayangi manusia maka tidak akan disayang Allah.”
Kasih sayang Nabi saw terhadap anak-anak ini semakin bertambah. Ada satu cerita bahwa beliau tertuntut untuk memendekkan shalatnya di saat mendengar tangisan seoang anak.
Bukhari meriwayatkan dari Abu Qatadah al Haris bin Rab’ie ra, dia berkata: Rasulullah saw bersabda: “Saat aku tengah menunaikan shalat dan aku ingin memanjangkannya, aku mendengar tangisan seorang bayi. Akhirnya aku pendekkan shalatku karena aku tidak suka untuk membebani ibu anak ini.”
Orang tua, orang sakit dan orang lemah serta orang-orang yang mempunyai kebutuhan seperti anak-anak kecil yang membutuhkan perlindungan dan kasih sayang, dan kisah Nabi saw yang harus memendekkan shalatnya demi mereka, merupakan bukti betapa mereka semua membutuhkan perhatian khusus.
Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda: “Jika salah seorang dari kalian shalat bersama orang lain maka pendekkan shalatnya, karena di antara mereka ada yang lemah, sakit dan orang tua. Tapi jika shalat sendirian maka hendaknya ia memanjangkannya sesuai dengan kemauannya.”
Dengan demikian betapa hati Nabi saw begitu lapang sehingga cukup untuk menampung seluruh keluh kesah umatnya. Nabi saw menganjurkan untuk memendekkan shalat karena beliau khawatir umat tidak mampu melakukannya (shalat yang panjang). Dalam hadits muttafaq alaih yang diriwayatkan dari Aisyah ra, dia berkata: “Jika Rasulullah saw meninggalkan sebuah pekerjaan yang beliau sukai, beliau melakukan hal ini tidak lain karena khawatir pekerjaan ini menjadi beban bagi manusia dan menjadi kewajiban bagi mereka.” (Taufik Munir).