Kekuatan dan kelemahan merupakan dua fenomena yang nampak dominan dalam diri setiap manusia. Kadang manusia menjadi kuat, tegar, muda dan mampu bekerja, tapi suatu ketika dia pun bisa menjadi lemah, sakit dan tidak mampu melakukan pekerjaan apapun.
Begitu juga manusia kadang mengalami kondisi keshalehan dan ketakwaan serta akhlak yang baik dalam beberapa dekade umur hidupnya, namun suatu saat ia bisa tersandung sehingga kondisinya menjadi seperti orang-orang fasik, kafir dan berperangai buruk.
Manusia juga bisa menjadi kaya raya, makmur dan sejahtera penuh dengan kenikmatan hidup, lalu kemudian suatu ketika menjadi fakir miskin, tidak memiliki harta dan kenikmatan sama sekali dan menjadi betul-betul miskin dan sangat membutuhkan.
Karena manusia juga kadang didominasi oleh sifat-sifat kedzaliman dan aniaya, takabbur dan merasa berkuasa, seperti yang disinyalir seorang penyair:
“Kedzaliman merupakan satu sifat jiwa. Jika engkau menemukan orang yang suci, maka karena satu sebab itulah orang itu tidak akan dzalim.”
Oleh karena itu manusia harus menyadari dan mengetahui bahaya kedzaliman dan muamalah yang buruk. Jika nalurimu memanggilmu untuk berbuat dzalim, maka ingatlah kekuasaan Allah atas dirimu.
Kedzaliman manusia terhadap saudaranya kadang bisa mendorongnya untuk menyakiti dan menganiayanya, sehingga semua orang yang lemah dan miskin tidak lepas dari perlakuan aniayanya. Akan tetapi dengan begitu ia akan menjadi merugi dan jauh dari keshalehan, bahkan terjerumus ke dalam dosa yang nyata.
Allah swt berfirman: “Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mu'min dan mu'minat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.” (QS. Al Ahzab: 58)
Allah juga telah melarang NabiNya untuk tidak menyakiti orang-orang yatim dan orang miskin, pengemis dan orang lemah serta kaum papa.
Dia berfirman: “Adapun terhadap anak yatim maka janganlah kamu berlaku sewenang-wenang. Dan terhadap orang yang minta-minta maka janganlah kamu menghardiknya.” (QS. Ad Duha: 9-10)
Sunah Nabi juga sejalan dengan Al qur’an dalam memperingatkan kita agar tidak menyakiti orang-orang shaleh, mulia dan ahli kebajikan, kaum lemah dan fakir miskin.
Nabi saw bersabda dalam hadits muttafaq alaih yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah: “Allah swt berkata: Barang siapa yang memusuhi waliKu, maka aku mengizinkannya untuk diperangi, dan kedekatan seorang hamba denganKu adalah sesuatu yang paling aku cintai dari kewajiban yang aku bebankan kepadanya.”
Muslim meriwayatkan dari Sa’ad bin Abi Waqqash ra, dia berkata: Rasulullah saw bersabda: “Siapa yang shalat shubuh….maka ia…)
Atau orang yang dicari Allah karena telah melanggar janjiNya, maka Allah akan mengetahuinya dan tidak akan membiarkannya karena tidak ada pelarian dari Allah dan tidak ada tempat berlindung kecuali kepadaNya. Allah akan melemparkannya ke neraka Jahannam. Dan siapa yang rajin shalat shubuh, maka dia akan berada dalam jaminan Allah dan lindunganNya. Dan siapa yang menganiaya orang yang rajin shalat shubuh, maka Allah akan memberinya azab dan sanksi berupa api neraka jahanam.
Jika orang yang berakal mengamati perbuatannya, memandang masa depannya dan menyadari akan pertemuannya dengan Allah pada hari kiamat, maka dia akan segera mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang halal, memperbanyak ketaatan kepada Allah dan menunaikan kewajiban, berusaha untuk melakukan kebajikan dan menghindari maksiat serta keburukan.
Dan siapa yang sering melanggar dan menuruti hawa nafsunya serta bermaksiat kepada Tuhannya, tidak melaksanakan kewajiban dan tidak menjauhi apa yang telah dilarang Tuhannya, maka ia akan jatuh kedalam kerusakan dan akan mendapatkan azab. Dia tidak mendapat faedah sama sekali dari perbuatannya bahkan hanya menuruti kemauan syetan dan akan tenggelam ke jurang kesesatan dan penyimpangan.
Selalu taat dan konsisten dalam ketakwaan kepada Allah merupakan factor kebahagiaan dan bukti kekuatan dan kemauan, seperti apa yang dikatakan Ibn Al Wardi:
“Orang yang membajak jalan bukan seorang pahlawan. Seorang pahlawan adalah orang yang takut kepada Allah.”
Tenggelam ke jurang maksiat merupakan faktor kesengsaraan dan bukti kelemahan, kehkhawatiran dan kesedihan, kegelisahan dan kerusakan. Siapa yang terjerumus ke jurang tersebut maka dia telah merusak dirinya sendiri dan akan merugi di dunia dan akhirat.
Pertanggungjawaban di akhiratpun akan tiba, hisab dan perhitungan di alam kubur dan hari kiamatpun tidak bisa dihindarkan lagi. Sertiap manusia akan ditanya tentang ucapan-ucapannya, sedekahnya baik sedikit atau banyak, ketaatan dan maksiatnya. Orang yang berbahagia adalah orang yang selamat dari hisab karena banyaknya kebaikan dan amal shaleh yang diperbuatnya. Dan orang yang sengsara adalah orang yang jatuh ke dalam hisab dan mendapat azab dan sanksi. Ini adalah hak yang adil, karena tidak masuk akal dan tidak adil jika orang-orang yang shaleh disamakan hisabnya dengan orang-orang yang kotor.
Allah swt berfirman: “Maka apakah patut Kami menjadikan orang-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa (orang kafir). Mengapa kamu (berbuat demikian); bagaimanakah kamu mengambil keputusan. Atau adakah kamu mempunyai sebuah kitab (yang diturunkan Allah) yang kamu membacanya, bahwa didalamnya kamu benar-benar boleh memilih apa yang kamu sukai untukmu.” (QS. AL Qalam: 38).
Dan juga FirmanNya: “Dan tidaklah sama orang yang buta dengan orang yang melihat. dan tidak (pula) sama gelap gulita dengan cahaya. dan tidak (pula) sama yang teduh dengan yang panas. dan tidak (pula) sama orang-orangyang hidup dan orang-orang yang mati.Sesungguhnya Allah memberikan pendengaran kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan kamu sekali-kali tiada sanggup menjadikan orang yang di dalamn kubur dapat mendengar.” (QS. Fathir: 19-22). (Taufik Munir)