Sekitar pukul 11 pagi masuklah seorang wanita bule dengan
kerudung yang rapih. Saya sedikit terkejut sebab ketika masuk ke ruangan
saya dia mengucapkan salam dengan sangat fasih, bahkan hampir saja saya
mengira kalau yang bersangkutan itu adalah orang Syam (Palestina, Jordan
atau Libanon).
Saya
kemudian mempersilahkannya duduk dan bertanya: “Hi, what’s your name
and where are you from?” Dengan sedikit tersenyum dia menjawab:
“Hi,. I am Jemie. I am from here but my parents are from
Texas”. Saya ingin tahu kefasihan
dia dalam bersalam, maka saya tanya: “
How come you said salaam in way that’s so perfect? I tended
not to believe that you’re an American”.
“Oh..I know Arabic and
speak it fluently” jawabnya cepat.
Mendengar itu, saya balik stir dari
Inggris ke Arab. “Aena darasti al Arabiyah? (belajar bahasa Arab
dimana?)” tanyaku. “Darastuha fi Suriyah, lakin
qabla sanawaat (belajar di Suriah, beberapa tahun lalu)”,
jawabnya. Tanpa terasa percakapan saya dengannya memakan waktu cukup
panjang dalam bahasa Arab, termasuk kenapa sampai belajar bahasa Arab di
Suriah dan untuk apa. Dari penjelasannya, ternyata dia bekerja di
Kementrian Luar Negeri dan sekarang ini pindah tugas di DPI (Department of
Public Information) PBB New York.
Saya
kemudian memulai bertanya tentang keinginannya mengetaui Islam. “I
know a lot about Islam. Basically I am coming this morning because I feel
this is the right time for me (saya banyak tahu tentang Islam. Sebenarnya saya datang
pagi ini, juga karena saya rasa inilah waktu
yang tepat)", katanya.
“What do you mean the
right time?” tanyaku. Dengan sedikit serius dia menjelaskan: “For the
last many years, about 10 years, I have been so confused and struggling
within my self (selama beberapa tahun, sekitar 10 tahun-an, saya
selalu ragu dan penuh gejolak batin”.
"Why is
that?” tanyaku dengan sedikit heran.
Tiba-tiba saja, Jemie yang tadinya
nampak tegar dan selalu tersenyum itu, kini meneteskan airmata. “You
know, I tried my best not to this
(kesuksesanku bukan untuk ini)”, katanya sambil
mengusap air matanya.
"Why is that?" tanyaku.
“This may kill my career (mungkin saja ini membunuh karir saya)”
katanya agak gusar. Saya kemudian bertanya dengan serius apa dan mengapa
dia punya dugaan ada pembunuhan karir. Seolah memaksakan tersenyum, Jemie
mengatakan bahwa dia khawatri kalau masuk Islam akan susah meniti karir
yang lebih tinggi.
Saya
kemudian bertanya lebih jauh: “Why do you think in that way?”.
Ternyata karena
pengalaman yang dia lihat selama ini di beberapa negara Muslim.
Menurutnya, mayoritas wanita Muslim di negara-negara Muslim tidak bekerja
dan lebih memperioritaskan dirinya kepada pekerjaan-pekerjaan rumah
saja.
Saya kemudian mencoba menjelaskan ke Jemie bahwa tidak ada
peraturan dalam Islam yang membatasi karir kaum wanita. Walau memang perlu
diketahui bahwa karir itu akan dilihat kepada prioritas-prioritas tuntutan
hidup. Kalau seandainya menjadi ibu rumah tangga itu menjadi tuntutan
utama bagi wanita, dan ketika dipaksakan untuk meniti karir di luar maka
berarti terjadi “kesemrawutan” dalam hidup.
Dari penjelasan-penjelasan yang cukup
panjnag itu nampaknya Jemie sudah banyak tahu. Cuma ada semacam ketakutan
tersendiri bahwa nantinya setelah menjadi Muslim dia akan dilarang untuk berkarir.
"In fact, Islam wants all
Muslim women to be professional. Didn’t you read the hadith that commands
the women to study as men?". Sebenarnya Islam ingin semua Muslimah itu
berkarir. Apa Anda belum membaca Hadis yang memerintahkan para wanita
untuk belajar seperti halnya kaum lelaki? jelasku.
Kini Jemie nampak lebih tenang. Hampir tidak
berbicara dan bahkan beberapa kali saya pancing untuk bertanya juga tidak
dihiraukan. Tiba-tiba saja sekali lagi nampak berlinang airmata dan
mengatakan:
“ I have some thing
to tell you!”
“What’s that?”
tanyaku.
Dia dengan nampak serius sekali
walaupun terus meneteskan airmata mengatakan: “When I was in
Syria
around ten years ago, I was so impressed with the Adzan” (Saat saya di Suriah sekitar 10 tahun yang lalu,
saya terkesan dengan suara adzan)..
Saya mengatakan bahwa memang
adzan orang-orang Suriah itu indah. Suara mereka lebih lembut daripada
Arab-arab lainnya, kata saya.
“But I swear, that adzan never gone from
my ear. I feel being listening to it all the time” (Bahkan, sungguh, kumandang adzan itu masih saja
terngiang di telinga saya). Katanya
serius.
Tanpa
sadar, saya langsung mengatakan “Subhanallah!”. Ternyata dia juga
sudah tahu maknanya. Saya kemudian mengatakan: “Sister, God is loving
you. Your heart is being attached to the divine inspiration, and I am sure
you are being blessed with that”. Nampak Jemie hanya
menangis mendengar nasehat-nasehat saya itu.
Akhirnya,
setelah memanggil dua saksi, Jemie dengan berlinang airmata secara resmi
menerima Islam sebagai jalan hidupnya yang baru. Allahu
Akbar!
Semoga Jemie selalu dikuatkan di jalanNya!
Amin!