Cinta kepada Rasul merupakan salah satu ajaran penting dalam Islam. Cinta kita kepada Rasul, harus lebih besar daripada cinta kita kepada harta benda, keluarga, dan bahkan diri kita sendiri. Ia harus berada dalam urutan kedua cinta seorang Muslim, setelah mencintai Allah. Sebagaimana hadits Nabi “Tidak sempurna iman seseorang diantara kamu, sehingga aku dicintai olehnya, lebih dari cintanya kepada anaknya, orang tuanya, dan seluruh manusia lainnya”.
Dalam diri manusia, ada sebuah fitrah untuk mencintai seseorang yang dikaguminya. Ketika manusia itu tidak menemukan seseorang yang dicintainya, maka mereka mencari siapa saja yang bisa menyalurkan rasa cintanya itu. Hal seperti ini juga terjadi pada manusia-manusia modern. Mereka mencari orang yang bisa dicintai oleh seluruh jiwa raganya, yang untuknya ia rela mengorbankan apa saja demi orang yang dicintainya itu.
Sebagai contoh sederhana, lihatlah, perilaku orang yang mencintai Iwan Fals, ketika bertemu dengannya, ia akan meneriakkan namanya, bahkan menjerit, menangis. Saat salah seorang bintang film Amrik datang ke Jakarta beberapa tahun lalu, ribuan orang datang ke situ tanpa ada panitianya. Orang-orang yang datang begitu banyak, untuk menyalami, paling tidak, untuk menginjak bekas injakan kaki sang bintang.
Kenapa semua ini terjadi? Itu disebabkan tiada lain karena kerinduan seseorang untuk mencintai seseorang yang lain.
Kita juga mendengar bagaimana para pengemar seorang artis, menggandrungi segala benda yang dicintai oleh si artis idola. Betapa sering kita mendengar laris manisnya kafe-kafe gaul milik para artis di kawasan Kemang Jakarta Selatan, atau larisnya kaos/pakaian bergambar para artis tertentu di kalangan anak muda. Itu juga akibat cinta mereka kepada para idolanya.
Kita umat Islam, disuruh mencintai Rasulullah seperti yang disebutkan dalam hadis dan ayat-ayat Alquran. Cinta kita kepada Rasul, merupakan bagian dari ajaran keimanan itu sendiri. Dalam surat Al A’raf 157, Allah mengkategorikan orang-orang yang memuliakan Nabi-Nya, dalam kelompok orang-orang yang beruntung.
“Orang-orang yang mengikuti Rasul Nabi yang ummi, yang namanya mereka dapati tertulis dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka menegrjakan yang makruf dan melarang perbuatan munkar, dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik, dan mengharamkan segala yang buruk, dan membuang dari mereka, segala beban dan belenggu yang ada pada diri mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, dan mengikutti cahaya yang terang yang ditrunkan kepadanya (Al Quran), mereka itulah oang yang beruntung”.
Pada tahun ke-enam Hijriah, Rasulullah saw dan para sahabat berhenti di Hudaibiyah. Dari Mekkah, datang utusan orang kafir Quraisy. Mereka bermaksud melarang Nabi dan para sahabat untuk melakukan ibadah haji. Setelah perundingan agak alot, lahirlah perjanjian Hudaibiyah. Ketika orang-orang kafir itu kembali ke Mekah, mereka bukan hanya membawa naskah perjanjian, mereka membawa kenangan mempesona. Untuk pertama kalinya mereka menyaksikan perlakuan kaum muslimin terhadap Nabi saw, pemimpin mereka. Ketika Nabi berbicara, mereka terpaku pada bibirnya yang mulia. Ketika Nabi bergerak, mereka mengikutinya dengan setia. Mereka menghadapkan seluruh perhatian kepadanya, seakan-akan tidak pernah puas menikmati keindahan wajahnya. Urwah Al Tsaqafi, salah seorang utusan dari Mekah bercerita pada kaumnya
”Orang Islam itu luar biasa, Demi Allah, aku pernah menjadi utusan menemui raja-raja. Aku pernah bertemu kaisar, Raja Kisra dan Raja Najasyi. Aku belum pernah melihat sahabat-sahabat mengagung-agungkan rajanya, seperti sahabat-sahabat mengagungkan Muhammad. Jika ia memerintah, mereka berlomba melaksanakan perintahnya, bila hendak berwudhu, mereka hampir berkelahi untuk memperebutkan air bekas wudhunya, bila ia berbicara, mereka merendahkan suara di hadapannya. Mereka menundukkan pandangan di hadapannya, karena memuliakannya”.
Lalu, bagaimana cara kita di zaman modern ini, membuktikan cinta kita kepada Rasulullah saw? Ada beberapa cara yang bisa kita lakukan.
1. Memuliakan atsar/peninggalanmya.
Salah satu ungkapan cinta adalah mengenang dan memuliakan atsar, yakni apa saja, peristiwa, tempat, dan waktu, yang berkaitan dengan orang yang kita cintai. Lihatlah bagaimana bangsa-bangsa yang menegakkan monumen-monumen besar untuk mengenang peristiwa besar, tempat bersejarah, dan monumen-monumen penting dari pemimpin yang mereka cintai. Patung pahlawan revolusi di Lubang Buaya, Jakarta misalnya, didirikan untuk mengenang jasa tujuh pahlawan Revolusi. Monumen itu didirikan, sebagai bukti cinta bangsa terhadap perjuangan mereka.
Begitu juga dengan para sahabat yang mencintai Nabi. Dalam kitab Fathul Bari dan al-Bidayah wan-Nihayah disebutkan bahwa seorang laki-laki datang menemui Nabi saw, seraya berkata ”Ya Rasulallah, saya menikahkan anak perempuan saya, saya ingin engkau membantu saya dengan apa saja”. Nabi bersabda, “Aku tidak punya apa-apa. Tapi besok, datanglah kepadaku, bawa botol yang mulutnya lebar”. Keesokan harinya, ia datang lagi. Nabi kemudian meletakkan kedua sikunya diatas botol, dan keringat beliau mengalir ke dalam botol itu”.
Kita tidak tahu apa yang dilakukan sahabat dengan sebotol keringat Nabi. Mungkin menyimpannya baik-baik, atau mewasiatkan kepada ahli waris supaya botol itu –walau keringatnya sudah kering- dikuburkan bersama jasadnya, seperti yang dilakukan sahabat Anas bin Malik.
Apakah perbuatan para sahabat itu kultus individu? Kultus individu adalah ungkapan yang sering terasa tidak jelas maknanya. Perilaku sahabat itu, yang jelas, didasari oleh satu rasa, yaitu cinta. Karena kecintaan kepada Rasulullah, para sahabat mencintai segala hal yang berasal dari beliau. Mereka rela berebut lembaran rambut, tetesan air wudhu, sebelah sandalnya, atau apa saja yang ditinggalkan Nabi. Ketika Majnun menciumi dinding rumah Layla, ia tidak menyekutukan Tuhan. Ia menciumi dinding karena kecintaan dia kepada orang yang ada di balik dinding. Ibarat seorang perempuan mendekap pakaian suaminya yang meninggal, dan membasahinya dengan linangan air mata. Ia tidak terlibat dalam perbuatan syirik karena ia sedang mengekspresikan kerinduannya kepada suaminya. Begitu juga dengan jutaan jemaah haji setiap tahun yang mencium dinding pusara Nabi disertai isakan tangis, juga karena mereka mencintai Rasul, karena itu mereka berziarah dan napak tilas ke tempat-tempat bersejarah dari kehidupan Nabi saw.
Mereka rela berebut lembaran rambut, tetesan air wudhu, sebelah sandalnya, atau apa saja yang ditinggalkan Nabi. Ketika Majnun menciumi dinding rumah Layla, ia tidak menyekutukan Tuhan. Ia menciumi dinding karena kecintaan dia kepada orang yang ada di balik dinding. Ibarat seorang perempuan mendekap pakaian suaminya yang meninggal, dan membasahinya dengan linangan air mata. Ia tidak terlibat dalam perbuatan syirik karena ia sedang mengekspresikan kerinduannya kepada suaminya. Begitu juga dengan jutaan jemaah haji setiap tahun yang mencium dinding pusara Nabi disertai isakan tangis, juga karena mereka mencintai Rasul, karena itu mereka berziarah dan napak tilas ke tempat-tempat bersejarah dari kehidupan Nabi saw.
Karena itu, selama umat Islam mencintai Nabi saw, selama itu pula peringatan maulid Nabi, Isra Mi’raj, Hijrah, Nuzulul Quran, akan tetap berlangsung dalam dunia Islam. Cinta yang tulus tidak mdapat disembunyikan. Cinta sejati merindukan bukti.
Membaca shalawat
Salah satu bukti cinta adalah kenikmatan menyebut nama orang yang kita cintai. Ketika menyebut atau mendengar nama kekasih kita, hati kita bergetar. Ada kenikmatan dalam mengulang-ngulang namanya. Seperti itulah, orang-orang yang mencintai Rasul.
Segera setelah Nabi yang mulia meninggal, Bilal tidak mau mengumandangkan adzan. Akhirnya setelah didesak banyak orang, Bilal beradzan. Ketika sampai pada kata wa asyhadu anna muhammadar Rasulullah ia terhenti. Suaranya tersekat di tenggorokan. Ia menangis keras. Nama Muhammad, kekasih yang baru saja kembali ke Rabbul izzati, menggetarkan jantung Bilal. Muhammad adalah nama insan yang paling indah baginya. Justru karena cintanya kepada Rasul, nama beliau serng diingat, disebut dan dilagukan.
Dalam Islam, ada tata cara/etika tertentu, menyangkut bagaimana kita menyebut nama Nabi. Yaitu melalui shalawat. Allahmumma shalli ala sayyiidina Muhammad. Ya Allah, sampaikanlah kesejahteraan kepada Muhammad. Kenikmatan dalam membaca shalawat adalah ungkapan kecintaan kepada Rasulullah. Karena itu, menurut Rasulullah, orang yang paling dekat dengan beliau pada hari kiamat adalah orang yang paling banyak membaca shalawatnya. Artinya, dengan kata lain, orang yang paling mencintainya.
Berbahagialah orang yang menandai peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan – baik itu kelahiranm pernikahan, mendapat rezeki, lulus ujian dan sebagainya, dengan shalawat. Mereka tahu bahwa Muhammad adalah kekasih Allah, yang tanpa dia, takkan diciptakan alam ini. Karena itu, ketika mereka mengingat Tuhan, mereka tidak pernah melupakan kekasihnya.
Cinta kepada ahli baitnya.
Rasulullah bersabda “Cintailah Allah atas limpahan nikmatnya kepadamu. Cintailah aku karena kecintaanmu kepada Allah. Dan cintailah ahli baitku karena kecintaanku kepadaku”
Inilah logika kecintaan yang agung. Dari kecintaan kepada Allah, kita mencintai Rasulullah. Dari kecintaan kepada Rasulullah, kita mencintai keluarganya. Dari kecintaan kepada keluarganya, kita akan mencintai apa yang mereka cintai. Bila urutan ini terpotong, maka kecintaan yang agung ini menjadi bercacat. Rusaklah kecintaan kepada Allah tanpa mencintai Rasulullah. Habislah kecintaan kepada Nabi saw tanpa kecintaan kepada ahli baitnya.
Pernahkan saudara mendengar kisah seorang sahabat Nabi yang menjerit keras ketika melihat Yazid mengetuk-ngetuk bibir Husain dengan tongkatnya, dalam perang Karbala. Ia menjerit karena ia ingat bahwa bibir itulah yang sering dikecup oleh Rasulullah. Sebagaimana ia mencintai Rasulullah, ia juga mencnitai bibir yang sering dikecup oleh beliau. Atau kisah seorang ulama besar yang melihat Imam Ja’far cucu Rasulullah, berjalan dengan menggunakan tongkat kakeknya. Sang ulama segera memburu tongkat itu dan menciuminya sepuas-puasnya.
Rasulullah sangat mencintai keluarganya. Beliau pernah bersabda ”Fathimah itu belah nyawaku, siapa yang menyakitinya, berarti ia menyakitiku. Siapa yang membuat Fatimah marah, maka ia juga membuatku marah”.
Mari kita manfaatkan waktu untuk membaca sejarah hidup Nabi, meneladani akhlak mulianya, untuk kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Semoga kita semua termasuk golongan orang yang mencintai Nabi dan mendapatkan syafaatnya.