Ini sebuah contoh catatan kehidupan yang sederhana, ringkas, dan mungkin tidak berguna bagi orang lain. Namun, catatan yang kita tulis sendiri bisa jadi hanya sebagai kenangan, atau pengingat, atau untuk perenungan bagi generasi setelahnya. Pada 'diary' ini, objeknya adalah Ghiffari, seorang bocah yang masih berumur tujuh hari. Mungkin, kelak, orang tuanya akan membacakan diary ini saat sang bocah sudah mulai belajar membaca. Atau untuk pengingat belaka.
Yang jelas, tentu saja tujuan menulis diserahkan kepada penulisnya sendiri.
.LOG07:05 21/03/2015
BISIKAN AYAH-BUNDA
Anggaplah ini hanya sebuah bisikan atau sebuah nyanyian kecil pengantar tidurmu, anakku. Sebab aku ragu apakah kedua telingamu sudah bisa mendengar karena usiamu masih sangat belia. Tapi sekalipun petuah ayahmu ini belum bisa engkau dengar, aku harap hatimu tetap mampu mendengarnya. Kamu masih dalam buaian. Sengaja kulekatkan wajahku ke mukamu yang polos. Tercium wangi semerbak tubuh mungilmu. Pelan-pelan kucium pipimu yang lembut laksana kapas. Dadamu berdegup pelan dalam ketenangan yang mendekap di dada. Pelukan dan buaian inilah yang selama ini menaungi, merengkuh, merawat dan membimbing langkah hidupmu hingga dewasa.
Dalam diary ini tidak semua tulisan yang berhubungan denganmu kutulis manja dengan panggilan “sayang”. Adakalanya memang aku panggil sayang, tapi aku lebih banyak bicara apa adanya. Kadang kupanggil kau dengan nanda, engkau, kamu, sayang, atau anakku. Bahkan saat kau masih embrio aku tetap memanggilmu dengan sebutan “anakku sayang”. Kelak kalau sudah memasuki hari ketiga kelahiran aku panggil kau dengan “Ghiffari”, suatu nama yang berasal dari bahasa Arab yang artinya “penduduk Ghiffar” atau mungkin berarti “sang pemaaf”. Sejak mengandungmu, ibumu memang sudah mempersiapkan sebuah nama lain untukmu. Tapi aku tidak menyetujuinya, karena nama-nama yang diberikan terlalu manja dan feminim. Sedangkan ayahmu ini seorang yang keras, dan tak ingin anak-anaknya selalu hidup bermanja.
Dulu, aku berobsesi kelak anak laki-laki akan kuberi nama Banna, atau “sang arsitek”. Tapi hari demi hari, minggu demi minggu, dan berganti-ganti bulan akhirnya lahirlah kau, Ghiffari. Aku beri nama demikian, karena aku tak ingin kau punya akhlak mulia, bersikap yang baik, tegas tapi penuh pemaafan.
Bagiku, tak apa-apa, bayi laki-laki atau perempuan sama saja. Tapi alhamdulillah kau terlahir sebagai laki-laki. Tentu saja ayah ridho, dan ibumu juga senang. “Tak apa-apa”, kata ibumu.
Kupanggil kau “Ghiffari” di hari ketujuh kelahiran. Ibumu masih berbaring, tak bisa bangkit dari ranjang rumah sakit. Ibumu melahirkanmu dalam lelah di atas lelah. Tubuhnya tidak bergerak, tiada berdaya. Tapi alhamdulillah dadanya masih berdegup, dan –tentu saja—hatinya dipenuhi selaksa makna, menyambutmu dengan suka-cita. Ibumu memang pernah pingsan, dan beberapa saat setelah siuman ayah memegang pulpen dan kertas lalu menyerahkannya pada ibumu. Di sepucuk kertas itu ayah tuliskan nama indahmu ‘Abizar Al-Ghiffari’. Dengan nama ini ayah dan ibumu memang tengah memancangkan sikap tafa’ul, amal dan du'a (optimistis, pengharapan dan doa), agar kelak engkau menjadi seorang penyayang kepada siapapun dan menjadi danau bagi hati kami.
Setelah beberapa hari di rumah sakit, ibumu pulang ke rumah, bersama ayah dan karib kerabat yang setia menjenguk. Kubuka buku harian yang hampir dua minggu tidak pernah tersentuh. Di sanalah ayah goreskan namamu untuk pertamakali. Setiap hari, setiap jam, bahkan hampir setiap menit aku catat setiap perkembangan yang ada pada dirimu. Setiapkali menulis tentang dirimu, kadang terselip anekdot yang membuat ibumu tertawa. Karena begitulah, terkadang setiapkali kau bergerak atau menangis karena ingin menyusui, ayah juga datang. Kadang karena ingin merebutmu, dan kadang cuma ingin menggelayut di pundak ibu. Ah, ayahmu memang nakal, nak.
Kira-kira, inilah catatan ayah tentang dirimu. Memang tidak semuanya ayah publikasikan. Karena sesuai dengan namanya, 'diary' adalah catatan harian, atau sebuah buku catatan tentang pribadi dan lingkungan dan seluruh kehidupannya. Kadang terselip hal-hal yang menyangkut (aib) orang lain, hal-hal yang sangat privaci, vulgar, bahkan kata-kata yang tak pantas dibaca orang lain. Secara etika tak pantas, dan secara agamis juga dilarang meng-"ghibah", terlebih lagi menebar keburukan.
Sebab itu, ayah sisipkan nasehat dan saran-saran untukmu. Semoga buku ini bisa menjadi persembahkan di hari ulang tahunmu, atau mungkin di hari perkawinanmu kelak. Selamat membaca, putraku…
08:06 PM 21/03/2015