Kasus: Beberapa tahun yang lalu si Ali terserang penyakit parah sehingga mengharuskan istirahat yang lama. Selama itu, ia pernah meninggalkan salat fardlu yang tidak ia ketahui bilangannya, artinya ia sama sekali lupa berapa yang telah ditinggalkanya. Ia sudah berusaha mengingat-ingat, tapi tetap lupa (alias tidak ingat sama sekali).
Bagaimana cara menggantikanya dan berapa waktu/bilangan yang harus diganti? Dosakah ia, melihat yang shalat-shalat yang ditinggalkanya sangat banyak?
Jawab:
Cara meng-qadla’ salatnya dapat dilakukan dengan qadla’ keliling, meng-qadla’ salat zuhur pada waktu salat zuhur, meng-qadla’ salat ashar pada waktu ashar, meng-qadla’ salat magrib pada waktu salat magrib, meng-qadla’ isyak pada waktu salat isyak dan salat subuh pada waktu subuh, atau dengan cara lainnya sebagaimana disebutkan dalam kitab–kitab fiqih. Sedangkan jumlah yang harus di-qadla' adalah jumlah yang diyakini telah ditinggalkan.
Dasar pengambilan Kitab Al Mustarsyidin halaman 36:
Seseorang telah ragu mengenai jumlah salat-salat yang ia tinggalkan, maka wajib melakukan shalat yang dia yakini telah melakukannya, seperti pendapat Ibnu Hajar dan Mim Ra’. Imam Qoffal berkata: Dia harus mengqadla’ apa yang telah nyata meninggalkanya.
Dia tidak berdosa karena salat yang ditinggalkanya terlalu banyak, tetapi berdosa karena sengaja meninggalkan salat. Sebab seseorang itu jika tidak dapat melakukan salat dengan berdiri, dia harus salat dengan duduk. Jika tidak dapat salat dengan duduk, maka dia harus salat dengan tidur atau miring. Dan jika tidak dapat salat dengan tidur miring, maka dia harus salat dengan tidur terlentang.
Dasar pengambilan Kitab "Kasyifatus Saja", syarah kitab "Safinatun Naja" halaman 53:
Asal dari kewajiban berdiri dalam salat fardlu adlah sabda Nabi saw. Kepada Imran bin Husain, beliau menderita penyakit bawasir: Salatlah engkau dengan berdiri jika engkau tidak mampu, maka dengan duduk, jika engkau tidak mampu, maka dengan tidur miring. Imam An Nasa’i menambahkan keadaan yang keempat, jika engkau tidak mampu dengan tidur miring, maka dengan tidur terlentang. Allah tidak memaksa seseorang kecuali pada batas kemampuannya.
(Bahtsul Masail tahun 1997, perubahan redaksi oleh Zona Studi)
