Sebagai pembuka, saya akan kutip dengan agak lebih panjang pandangan tokoh
pendiri NU, Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari, tentang metode “istinbath” atau
teknik pengambilan hukum-hukum fiqh :
“….Syariat tidak dapat dikenali kecuali
melalui tradisi istinbath. Tradisi tidak dapat berjalan kecuali dengan cara
setiap generasi mengambil dari generasi sebelumnya secara berkesinambungan;
sementara dalam mengadakan istinbath, mazdhab-mazdhab sebelumnya harus dikenali
agar tidak keluar dari pendapat ulama sebelumnya, yang dapat menyebabkan keluar
dari ijma’. istinbath harus didasarkan pada mazdhab-mazdhab terdahulu, dan
dalam hal ini harus menggunakan (meminta bantuan) kepada generasi sebelumnya….
Apabila berbegangan kepada pendapat-pendapat ulama salaf merupakan kemestian,
maka pendapat-pendapat mereka yang dipegangi harus diriwayatkan dengan sanad
(mata rantai) yang valid, atau tertulis dalam buku-buku masyhur. Harus
dijelaskan pendapat mana yang unggul dari pelbagai pendapat yang mungkin;
dijelaskan pula pendapat-pendapat ‘am (umum, general) yang bisa di-takhshis
(dipartikularkan), yang mutlak di-taqyid di beberapa tempat (kasus),
mengkompromikan hal-hal yang diperselisihkan, dan dijelaskan pula ‘illat-‘illat
hukumnya, sebab kalau tidak demikian, tidak dibenarkan memegangi pendapat
tersebut. Tidak satupun mazdhab di masa akhir-akhir ini yang memiliki
karakteristik seperti diatas kecuali empat mazdhab…”
[Hasyim Asy’ari 1999: 55-56].
Apa yang dikemukakan Kiai Hasyim Asy’ari diatas tidaklah beranjak jauh dari
pola umum tradisi fuqaha Sunni di masa klasik menyangkut perkara “istinbath”
atau metode penarikan keseimpulan hukum-hukum agama. “Istimbath harus didasrkan
pada mazdhab terdahulu”. Dan itu berarti “berpegangan pada pendapat-pendapat
ulama salaf”. Bagaimana caranya? Kutipan diatas menjelaskannya secara rinci :
pertama, kwalitas pendapat-pendapat tersebut harus diverifikasi dulu, apakah
punya otoritas tertentu, seperti sanad atau dimuat dalam kitab-kitab yang
diakui (mu’tabarah); kemudian setelah diketahui punya keabsahan, langkah
berikutnya adalah meneliti “pendapat-pendapat mana yang unggul dari pelbagai
penadapat yang mungkin”, baik dengan teknik takhsis, taqyid maupun tarjih,
yakni “mengkompromikan yang dipereselisihkan”. Sebagai teknik pendukung, juga
diungkap cara-cara menentukan “’illat-‘illat” (sebab atau faktor-faktor
munculnya hukum), yang biasa berlaku dalam model penalaran qiyas (analogi)
sehingga bisa tercapai satu konklusi hukum yang tepat dan dianggap meyakinkan.
Teknik-teknik “istinbath” atau penalaran dan pengambilan hukum semacam ini
selanjutnya dominan dalam pengajaran-pengajaran fiqh dan ushul fiqh di
pondok-pondok pesantren, dan dalam pengambilan keputusan hukum-hukum agama
dalam forum resmi NU, seperti bahtsul masa’il. Pola penalaran ini kemudian
dikemudian dikenal dengan sebutan “bermazdhab secara qauli (lieteralis)”. Namun
perkembangan berikutnya bermunculan, seiring dengan munculnya gugatan-gugatan
dari dalam tubuh NU untuk meninjau kembali orientasi bermazdhabnya yang selama
ini dikenal konservatif dan tidak maju. Berbeda dengan kakeknya, Abdurrahman
Wahid, salah seorang penggugat dari generasi belakangan NU, tampil menyuarakan
satu lontaran tentang perlunya “bermazdhab secara manhaji”, yakni bermazdhab
secara kontekstual-metodologis dan bukan lagi berdasarkan pada kecakapan
mengutip-ngutip pandangan-pandangan para ulama terdahulu. Di tahun 1988, ia
pernah menyatakan demikian:
“… di NU muncul satu pandangan yang sangat meluas bahwa sebenarnya yang
dinamakan bermazdhab itu bukanlah menggunakan aqwâl al-mazhahib (pendapat dari
mazdhab), melainkan berpikir secara metodologis yang disetujui mazdhab
tersebut. Jadi penggunaan ushul fiqh dan qawâid al-fiqh, [dan] bukan mengambil
dari aqwal fiqhiyyah-nya an sich.
..di sini tajdid terjadi. Kalau begitu, sebenarya kita bisa mengambil dua pola;
tajdid dalam arti mengubah metodologi berpikir, yaitu satu model tajdid yang
lebih tuntas, dan satu lagi tajdid dalam kerangka atau metodologi berpikir yang
sudah ada.” [Abdurrahman Wahid 1993: 193-194].
Problem Ijtihad Dalam Ushul Fiqh
Sebelum menguji lebih jauh bagaimana interaksi antara kedua pola bermazhab ini,
qauli dan manhaji, dan apa relevansinya bagi upaya mengedepankan ushul fiqh
sebagai “pencerahan pemikiran”, terutama dalam menangani kasus-kasus hukum
agama, terlebih dahulu akan dikemukakan sejarah pembentukan dasar penalaran
fiqh (yang lalu disebut ushul fiqh) sebagaimana yang dikenal dalam lingkaran
Sunni, dalam arti seperti yang dikenal dalam lingkungan empat mazhab fiqh:
Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali.
Kehendak untuk melakukan pembakuan cara-cara berpikir dalam fiqh lahir dalam
situasi ketegangan antara pendukung hadits (naql) dan ra’y (‘aql, rasio), yakni
antara pengikut Imam Malik dan Imam Abu Hanifah. Imam Malik dinilai terlalu
longgar berpegangan pada hadis (waktu itu kalangan Maliki menyebutnya
“Sunnah”); sementara Abu Hanifah terlalu sering mengabaikan hadis demi ra’y.
Misalnya sabda Rasulullah, “Penunggang kuda mendapat dua bagian, prajurit
mendapat satu bagian”, namun oleh Abu Hanifah ditolak dengan mengatakan, “Aku
tidak akan menjadikan bagian binatang lebih banyak daripada bagian seorang
mukmin”. Rasulullah melakukan isy’ar (melukai punggung unta) sebelum
menyembelih hewan kurbannya. Komentar Abu Hanifah, isy’ar adalah penganiayaan.
Kenyataan inilah yang kemudian mendorong salah seorang murid Imam Malik, Imam
Syafi’I (150-204 H), menyusun satu metodologi hukum yang selain bisa
mempertemukan kedua kubu di atas, juga menjadi pedoman dalam menarik kesimpulan
hukum yang baku dari teks-teks suci agama. Sehingga pertentangan kedua kubu,
yang melahirkan ekspresi kebebasan berpikir, bisa diredam sedini mungkin
[mengenai akar-akar kehendak untuk menyeragamkan pemikiran ini, lihat Bab 7
dalam buku ini]. Kita akan lihat sejauhmana Imam Syafi’i merumuskan dasar-dasar
berpikir tersebut, yang oleh Fakhr al-Din al-Razi dibandingkan dengan posisi
Aristoteles dalam bidang filsafat [al-Razi t.t.: 100]. Kalau Aristoteles
berhasil merumuskan satu sistem filsafat dengan metodologi manthiq-nya
(logika), demikian pula al-Syafi’i yang dianggap berhasil merumuskan cara-cara
berpikir dalam agama dengan metodologi ushul fiqh-nya, seperti tertuang dalam
master piece-nya, al-Risalah.
al-Risalah dimulai dengan penjelasan tentang sejumlah karekteristik bahasa yang
dipakai al-Qur’an. Ada yang maknanya sudah jelas dan tidak membutuhkan
penafsiran; ada yang maknanya kabur, namun dijelaskan oleh Rasulullah; ada
makna yang dinyatakan secara umum, namun diperinci oleh Rasulullah; ada pula
yang didiamkan oleh Allah, tapi diterangkan oleh Rasulullah, sehingga
memperoleh kekuatan hukum yang sama, karena adanya perintah taat kepada Allah
dan Rasul-Nya. Terakhir, ada yang diserahkan kepada kemampuan ijtihad manusia
untuk mengetahuinya [al-Syafi’i 1940: 22-25].
Kekuatan al-Syafi’i terletak pada proyeknya yang mendasarkan prinsip-prinsip
penalaran hukum agama pada hukum-hukum bahasa, baik segi semantik maupun
gramatika maupun sintaksisnya. Dan hukum-hukum bahasa ini dirangkum olehnya
dengan kata “al-bayân”; “al-bayan ism jâmi’ li ma’âni mujtami’ah al-ushûl
mutasyâ’ibah al-furû’” (Bayân adalah konsep [abstrak] yang mencakup baik
makna-makna dasar dan prinsip-prinsip yang bertemu sebagai satu kesatuan,
maupun cabang-cabang makna yang bersifat parsial) [Ibid.: 21]. Di sini “bayân”
tidak lagi terkait dengan makna literalnya yang berarti “jelas, ekplisit,
terang dan fasih”, tapi telah diangkat menjadi sebuah konsep dengan arti
khusus, yang terkait dengan cara-cara berbahasa, memahami bahasa dan juga
menimba penalaran dari bahasa. Lalu bagaimana ia merumuskan “ushul” dan “furu’”
tersebut dalam lingkungan penalaran-penalaran hukum agama yang digelutinya?
Dalam soal ini, Imam al-Syafi’i mendasarkan diri sepenuhnya pada al-Qur’an,
karena menurutnya “tidak ada persoalan yang ditemui oleh seorang penganut agama
Islam kecuali ia dapatkan dalam al-Qur’an petunjuk untuk memecahkannya” [Ibid.:
20].
Imam al-Syafi’i menyebut empat tingkatan “bayan” al-Qur’an yang masing-masing
disebutnya mempunyai kekuatan hukum yang sama [Ibid.:21-22]. Pertama, hal-hal
yang diterangkan oleh Allah dalam al-Qur’an kepada makhluk-makhluk-Nya tanpa
membutuhkan penjelasan di luar dirinya, seperti kewajiban shalat dan
pengharaman khamar atau minuman keras. Kedua, hal-hal yang disebutkan oleh
Allah secara umum, namun perincian dan penjelasan detilnya berada di tangan
Rasul-Nya, seperti jumlah rakaat shalat. Ketiga, hal-hal yang tidak tertera
dalam al-Qur’an namun diterangkan oleh Rasulullah. Keempat, hal-hal yang
dibebankan oleh Allah kepada manusia untuk melakukan ijtihad ketika menemukan
kasus-kasus baru namun belum memperoleh status hukumnya.
Dari sini kita bisa menemukan dua titik perhatian yang digarisbawahi oleh Imam
al-Syafi’i: penalaran hukum berdasarkan pada analisa bahasa dan sistem ijtihad
berdasarkan analogi atau qiyas. Dalam konteks yang pertama, kita menemukan
sebagian besar pembahasan tema-tema dalam ushul fiqh mengambil titik tolaknya
dari persoalan bahasa. Menurut Imam al-Syafi’i, untuk mengetahui kandungan
makna al-Qur’an dan untuk menarik kesimpulan hukum darinya, diperlukan
perangkat pengetahuan yang memadai tentang bahasa Arab, termasuk unsur-unsur
pengungkapan kalimat. Ini berarti mengkaitkan struktur makna dengan struktur
lafadz atau kata. Yakni, sebuah makna tidak akan mungkin bisa ditemukan tanpa
mengkaitkannya dengan apa yagn tersurat dalam sistem bahasa yang dikenal dalam
bahasa Arab. Ini selanjutnya membentuk satu konstruk pemikiran yang mengarahkan
perhatiannya secara eksklusif pada teks. Dan kita pun tahu, sebagian besar
kitab-kitab ushul fiqh menyediakan satu porsi tersendiri tentang metode-metode
dan teknik-teknik yang berlaku dalam bahasa (asâlîb) yang menghabiskan sampai
ratusan halaman. Karya Abu al-Husain al-Bashri (w.436 H), al-mu’tamad fi Ushul
al-fiqh, misalnya, menghabiskan 350 halaman untuk pembahasan hukum-hukum bahasa
dari jumlah keseluruhan 990 halaman dari kitab tersebut yang terdiri dari dua
volume.
Ini tergambar dengan jelas dalam soal pembakuan hukum-hukum penafsiran
teks-teks agama, terutama dalam masalah bentuk-bentuk dalâlah (kandungan makna
suatu lafaz). Bentuk-bentuk dalâlah tersebut diuraikan secara detil oleh
al-Syafi’i dalam kutipan berikut:
“…Sesungguhnya Allah mengkomunikasikan [hukum-hukum dan perintah-Nya] dalam
al-Qur’an kepada bangsa Arab dengan bahasa mereka sendiri sesuai dengan yang
dikandung dan dikenal dalam bahasa mereka. Di antara yang dikandung dan dikenal
dalam bahasa mereka adalah keluasan cakupan bahasa tersebut. Mereka biasanya
menggunakan satu lafaz yang bersifat umum (‘âm) dan eksplisit (zhâhir), dan
dimaknai dalam pengertiannya yang juga bersifat umum dan eksplisit, sehingga
tidak lagi memerlukan makna selainnya. Kadang juga suatu lafaz bersifat umum
dan eksplisit, namun bisa juga dimaknai dalam pengertian yang lebih khusus
(khash), sehingga bisa dijadikan pegangan untuk mengambil satu konklusi hukum
dari sebagian arti yang dicakupinya [apakah itu khusus atau umum]. Ada juga
lafaz yang bersifat umum dan eksplisit , namun dimaknai dalam pengertiannya
yang bersifat khusus. Atau ada juga lafaz eksplisit dan literal namun
menunjukkan makna lain dari arti ekplisit dan literalnya karena adanya konteks
khusus yang menghendakinya …
Orang Arab biasa memulai satu makna dalam bahasanya dengan sesuatu yang jelas
terungkap dari awal kalimat sebelum sampai ke akhir kalimat. Kadang juga
mengungkap sesuatu dengan jelas bukan pada awal kalimat tapi pada akhir
kalimat. Kadang juga mereka mengungkap suatu makna tanpa suatu kejelasan satu
lafaz tertentu, tapi melalui sebuah isyarat. Bentuk seperti ini adalah yang
tertinggi dalam bahasa mereka, dan itu hanya bisa dipahami oleh yang ahli dan
bukan oleh yang awam [tentang struktur bahasa Arab]. Orang Arab juga menyebut
satu makna dengan sejumlah kata atau lafaz atau sebaliknya, menyebut satu kata
dengan arti yang begitu banyak dikandungnya[Ibid.:51-52].
Maka, bisa dipahami kemudian kalau persoalan istinbath dalan
literatur-literatur ushul fiqh adalah persoalan yang terkait dengan teks dengan
segenap tangga-tangga dalalah-nya, mulai dari makna yang mudah ditangkap hingga
ke yang paling subtil, dan ini kemudian bertambah kompleks dan njelimet setelah
wafatnya al-Syafi’i. Kita lihat bentuk-bentuk dalalah tersebut bukan cuma
bertingkat-tingkat secara vertikal tapi juga secra horisontal bercabang-cabang,
mulai dari bentuk ‘am, khash, musytarak, sharih, kinayah, hingga muhkam,
mufassar, nash, khafi, musykil, mujmal, dan mutasyabih. Belum lagi bila dilihat
dari sisi metodenya: ada yang berupa dalalah al-‘ibrah, dalalah al-isyarah,
dalalah al-nash, dalalah al-iqtidla’ hingga mafhum mukhalafah dan mafhum
muwafaqah. Yang kesemuanya itu lazim ditemukan dalam teks-teks disiplin ushul
fiqh. Sehingga praktis pemikiran ushul fqh, terutama yang tertuang dalam metode
pengambilan keputusan hukum atau istinbath, diarahkan pada cara-cara mencermati
teks-teks agama, apakah itu al-Qur’an atau hadis, pada sisi linguistik dan
semantiknya. Yakni mencari-cari makna teks dengan mengamati bentuk-bentuk
dalalah atau lafaz-nya, apakah itu khas, ‘am, musytarak, kinayah, sharih,
mujmal, mutasyabih,…dan sebagainya. Implikasinya kemudian adalah lahirnya
kecenderungan berpikir yang berorientasi dan berangkat dari lafaz ke makna,
bukan dari makna ke lafaz atau kata seperti dikenal dalam sistem bahasa Eropa,
seakan-akan lafaz tampak sebagai sebuah tambang makna yang menyimpan jawaban
atas segenap persoalan-persoalan hukum dan persoalan-persoalan duniawi.
Dari sinilah kemudian kita bisa memahami mengapa studi ushul fiqh
diorientasikan pada pengkajian tentang “wujûh dalâlah al-adillah ala al-ahkâm
al-syar’iyyah” (bentuk-bentuk dalalah dari dalil-dalil yang menunjukkan
hukum-hukum agama ), karena yang namanya istidlal atau istinbath hanya
dimungkinkan melalui sebuah teks.
Apalagi empat sumber hukum utama atau tasyri’ (al-Qur’an, hadis, ijma, dan
qiyas atau analogi) mendapatkan legitimasi dan otoritasnya dari teks agama.
al-Qur’an dan hadis jelas merupakan teks yang mendasarkan otoritasnya pada
dirinya sendiri. Sementara ijmâ’ atau kesepakatan para ulama memperoleh dasar
hukum dan otoritasnya dari teks, karena adanya ajaran dalam teks tentang
keharusan berbegang kepada suara jama’ah dan juga karena adanya periwayatan
teks-teks agama yang dikukuhkan melalui jalur “mutawatir” (bentuk periwayatan
berita atau hadis yang melibatkan sejumlah besar pihak). Sedangkan qiyas,
menganalogikan satu kasus yang belum memiliki status hukum dengan satu kasus
lainnya yang sudah punya status hukum, juga memperoleh basis otoritasnya dari
teks karena ia merupakan satu bentuk penalaran yang mengacu kepada apa yang
disebut Imam al-Syafi’i sebagai “mitsâl sâbiq” atau contoh ideal yang sudah ada
sebelumnya, yaitu teks al-Qur’an dan hadis Nabi. Maka pada tingkatan inilah,
kita bertemu dengan fokus lainnya dari proyek al-bayan-nya Imam al-Syafi’i,
yaitu ijtihad.
Seperti telah disinggung sebelumnya, persoalan krusial yang diahadapi
al-Syafi’i adalah masalah membengkak dan makin bebasnya gerakan ijtihad di
tangan kaum “rasionalis” (ahl ra’y) yang melampaui batas-batas otoritas
teks-teks atau nash-nash agama. Mereka bukan hanya berasal dari latar belakang
filsafat tapi juga dari latar belakang tradisi agama kuno seperti Hermetisisme
dan Neo-Paltonisme sebagaimana yang diadopsi kaum bathiniyyah (esoteris) dan
Syi’ah Ismaili. Mereka berupaya melampuai teks dengan mencari makna
terselubung, yang tidak tersurat dalam makna harfiyahnya, dan menukik dan
menyelam lebih dalam seakan-akan makna tersebut sudah keluar dari teks itu
sendiri. Seperti penafsiran sebagian mereka atas teks al-Qur’an “marajal
bahrain”, dengan mengatakan bahwa yang dimaksud bahrain (dua laut) itu adalah
Ali dan Fathimah.
Saking gerahnya dengan kebebasan penafsiran semacam ini, Imam al-Syafi’i
kemudian berupaya mengatur dan mengarahkan kebebasan akal tersebut sehingga
bisa terjerat dalam genggaman teks, dan tidak keluar dari pakem-pakem yang
sudah ada. Dengan ini ia mengajukan seperangkat aturan-aturan yang memungkinkan
kegiatan akal manusia terkait erat dengan otoritas teks, dan bukan di luar
teks. Minimal menjadikan teks sebagai acuan utamanya, sebagai tempat
sandarannya, dan juga tempatnya untuk kembali, seperti halnya yang kita lihat
dalam kasus istinbath dari lafaz dan bahasa. Baginya, ”Ijtihad selamanya tidak
akan mungkin tanpa didasarkan pada keharusan mencari sesuatu. Dan yang namanya
mencari sesuatu itu hanya dimungkinkan kalau disertai dengan sejumlah petunjuk.
Nah, petunjuk-petunjuk itu disebut qiyas” [Ibid.: 505].
Singkatnya, seperti ditegaskan sendiri olehnya, ijtihad itu hanyalah berupa
qiyas, tiada yang lain (al-ijtihad al-qiyas) [Ibid.: 477]. Dalam konteks ini
tidak akan diungkap analisa Nashr Hamid Abu Zaid yang menyebut teori Imam
Syafi’I ini sebagai dukungan terhadap kaum “literalis” (ahl hadits) untuk
mempersempit ruang gerak kaum ahl ra’y, yang kemudian dari sana memperpanjang
gurita sakralisasi agama terhadap urusan-urusan duniawi [Abu Zaid 1996]. Yang
relevan di sini adalah konsekuensi apakah yang akan ditimbulkan oleh cara-cara
berpikir seperti yang dirumuskan oleh Imam al-Syafi’i tentang qiyas ini dalam
konteks pemikiran ushul fiqh.
Pertama-tama adalah persoalan jangkauan teks agama yang diperlebar dan
diperluas oleh teori tentang qiyas ini. Sebelum al-Syafi’i, ada satu keyakinan
di kalangan tokoh-tokoh ulama di saat itu bahwa jangkauan teks agama sangatlah
terbatas, dan tidak banyak memberikan jawaban tuntas terhadap kasus-kasus hukum
yang baru. Bahkan ada hadis Nabi, yang dikutip sebagai dukungan terhadap
pendapat ini, yang mengatakan “antum a’lamu bi umûri dunyâkum” (kalian lebih
tahu tentang urusan dunia kalian). Sehingga, tidak heran kemudian kalau
kebanyakan pengikut Imam Abu Hanifah dan Imam Malik menerapakan metode istihsân
dan mashâlih mursalah (prinsip menganggap baik dan bermanfaat dan prinsip
kemaslahatan bebas tanpa ikatan dengan teks) 1 untuk menjawab
persoalan-persoalan kekinian yang tidak dinyatakan secara eksplisit oleh
nash-nash atau teks-teks agama.
Kemudian, setelah kemunculan al-Risalah, al-Syafi’i dengan tegas menolak
cara-cara berpikir demikian. Menurutnya, seperti dikutip di atas, “tidak ada
persoalan yang ditemui oleh seorang penganut agama Islam kecuali dalam
al-Qur’an terdapat petunjuk untuk memacahkannya”. Dan itu berarti, ijtihad
harus didasarkan pada adanya satu model yang muncul terlebih dahulu (ala mitsâl
sâbiq) [al-Syafi’i 1940: 25], dan itu berupa teks-teks otoritatif agama,
al-Qur’an dan hadis. Dan hal ini tidak dimiliki oleh bentuk-bentuk berpikir
semacam istihsan dan mashalih mursalah, karena model berpikir demikian lebih
banyak mengandalkan pikiran manusia tanpa ada dasarnya dalam al-Qur’an maupun
sunnah atau hadis. Seperti dikatakannya: “Qiyas merupakan satu bentuk penalaran
yang mencari petunjuk-petunjuk berdasarkan pada teks-teks (khabar) sebelumnya,
yang berupa al-Qur’an maupun sunnah, karena keduanya ini adalah rambu-rambu
kebenaran yang mengharuskan kepada kita untuk menemukannya, seperti halnya yang
berlaku dalam kasus menghadap ke kiblat dalam shalat …” [Ibid.:40].
Sebagai catatan, al-Syafi’i sering mengangkat kasus menghadap ke kiblat sebagai
pendasaran argumen validitas qiyas saebagai salah satu sumber hukum agama.
Menurutnya, bila kita tidak melihat langsung Ka’bah di Mekkah karena tempat
yang jauh, seperti di Indonesia, maka kita diharuskan bersungguh-sungguh
mengamati kemana arah kiblat meski kita tidak melihatnya dengan mata kepala
sendiri. Dan upaya sungguh-sungguh itu bisa berupa mencari kompas, mencocokkan
dengan arah mata angin, dengan arah terbit dan terbenamnya, atau dengan
bertanya kepada orang-orang yang tahu dan pernah ke melihat langsung Ka’bah.
Jadi, qiyas pun juga merupakan upaya sungguh-sungguh – dengan cara apapun asal
tidak keluar dari arah yang dituju – untuk mengarahkan status hukum dari satu
kasus baru kepada asalnya, yaitu al-Qur’an dan hadis, meski kasus baru tersebut
tidak dimuat secara eksplisit dalam kedua sumber utama hukum tersebut.
Bila demikian, apakah qiyas itu sama saja dengan ittibâ’ (mengikuti sebuah
contoh) Bisa jadi. Karena, sebagaimana halnya dalam bidang gramatika bahasa
Arab (nahw) dimana qiyas berarti iqtida’ dan ittiba’ seperti dikatakan
Jalaluddin al-Suyuthi dalam al-Iqtirâh fi ‘Ilm Ushul al-Nahw [lihat al-Jabiri
1992c: 137-173], qiyas dalam ushul fiqh juga berarti ittiba’. Ketika ditanyakan
apakah boleh ber-istihsan tanpa melalui mekanisme qiyas, Imam al-Syafi’i
menjawab tegas bahwa hal itu tidak diperkenankan, karena seseorang diharuskan
ittiba’ dalam perkara yang tidak dinyatakan secara eksplisit oleh teks, dan
ittiba’ itu berupa menerapkan mekanisme qiyas [1940: 504]. Singkatnya, “tidak
diperkenankan seseorang untuk menghukumi sesuatu haram atau halal tanpa melalui
jalur ilmu , dan jalur ilmu tersebut tiada lain adalah teks al-Qur’an dan
sunnah, atau ijma’, atau qiyas” [Ibid.:39]. Kalimat inilah yang sering dikutip
di belakang hari bukan hanya oleh para pengikut mazdhab al-Syafi’i, tapi juga
pengikut mazdhab fiqh lainnya, dan kemudian menjadi aturan normatif bagi
kerja-kerja istinbath dan penalaran ushul fiqh di lingkungan tradisi empat
mazhab fiqh.
Konsekuensi berikutnya yang perlu digarisbawahi dari pendasaran aturan-aturan
normatif tersebut adalah menguatnya pola berpikir ortodoksi yang menjadikan
masa lalu yang ideal sebagai rujukan yang tidak pernah kering mata airnya. Ini
juga dimungkinkan karena al-Syafi’i sendiri menyatakan bahwa sebagai mekanisme
qiyas seseorang harus mengetahui “tradisi masa lalu, tradisi masyarakat salaf,
termasuk kesepakatan-kesepakatan (ijma’) dan perbedaan-perbedaan pendapat
mereka, dan juga harus menguasai bahasa Arab” [Ibid.: 510]. Dari sini kemudian
kita lihat bahwa dasar-dasar penalaran yang dibangun al-Syafi’i bukan cuma
ditujukan untuk mengatur pola hubungan yang serasi dan penuh damai antara kubu,
yakni ahl ra’yu dan ahl hadits , tapi juga lebih dari itu, ditujukan untuk
mengabsahkan cara berpikir yang senantiasa merujuk dan kembali kepada masa lalu
dan kepada teks sebagai otoritas tertinggi. Proyek al-Syafi’i ini disebut
Muhammad Abed al-Jabiry sebagai “al-tasyri’ lil ‘aql” [1998b], yang
dikatakannya membatasi ruang gerak penalaran manusia pada wilyah teks semata,
sehingga mengabaikan dimensi-dimensi yang sifatnya politically contested,
historically unfinished yang terangkum dalam konsep “kemashlahatan umat
manusia” (mashlahah).
Lalu, bukankah dalam mazhab al-Syafi’i juga ada pembahasan tentang mashlahah,
bahkan juga ada perhatian tentang prinsip lima hak dasar atau al-kulliyah
al-khams seperti kita lihat dalam al-Mustashfâ-nya al-Ghazali? Benar, tapi itu
hanya dimungkinkan dalam kerangka empat sumber hukum yang telah dikukuhkan
tersebut, dan tidak mungkin mengambil satu posisi tertentu sebagai sumber hukum
yang berdiri sendiri di luar dari empat sumber itu. Dengan demikian, bentuk
pemikiran apapun tentang mashlahah bila berada di luar dari “jangkauan” nash
atau teks agama, dalam arti tidak ditemukan di sana dasarnya atau dalalah-nya
dalam bahasa al-Syafi’i, jelas akan ditolak. Tidak mengherankan kemudian kalau
misalnya salah satu keputusan Muktamar NU di Cipasung 1994 tentang kemaslahatan
menyebutkan bahwa mashlahah ‘ammah (atau public good) tidak boleh bertentangan
dengan al-Qur’an dan hadis, ijma’ dan qiyas [lihat bab 2 dalam buku ini]. Maka
apa yang dikatakan dengan al-kulliyah al-khams pada akhirnya dibatasi menjadi
persoalan mashlahah (kemaslahatan dan kebaikan) dan mafsadah (kerusakan),
seperti yang kita lihat dalam al-Mustashfa-nya al-Ghazali:
“Bahwa tujuan syari’at agama bagi umat manusia adal lima hal, yaitu memelihara
(menjamin dan melindungi) agama (din), dirinya (nafs), akalnya (aql),
keturunannya (nasl) dan harta bendanya (mal). Maka semua yang mencakup jaminan
perlindungan kelima hal pokok tersebut dikategorikan sebagai mashlahah dan
semua yang mengancam keselamatan atau merugikan kelima pokok itu dikategorikan
mafsadah, dan upaya menghindarkannya adalah mashlahah” [al-Ghazali t.t. vol. I:
287].
Persoalan mashlahah (kemaslahatan dan kebaikan) dan mafsadah ini malah
dikukuhkan dalam disiplin qawaid fiqhiyyah (legal maxims, hukum-hukum fiqh)
misalnya dalam qaidah al-dlarar yuzâl (kemudaratan dihindarkan), dar’ul mafâsid
muqaddamun ala jalb al-mashâlih (menghindari kerusakan lebih diutamakan
daripada menarik manfaat), atau qaidah la dlarar wa la dlirâr (tidak boleh ada
kerusakan dan juga tidak boleh menimbulkan kerusakan kepada orang lain).
Masalah qawaid fiqhiyyah ini perlu disinggung di sini. Karena dalam lingkungan
mazdhab al-Syafi’i, terutama yang dianut kalangan NU di Tanah Air, di samping
disiplin ushul fiqh, qawaid fiqhiyyah menduduki posisi yang penting dalam
proses istinbath, termasuk dalam konteks pemikiran Islam dalam lingkup yang
lebih luas. Salah seorang tokoh mazhab Syafi’i, Jalaluddin al-Suyuthi, dalam
bukunya al-Asybâh wa al-Nazhâ’ir, yang merupakan rujukan utama dalam qawaid
fiqhiyyah, manyatakan bahwa “al-fiqh ma’rifah al-nazha’ir” (pemikiran fiqh
adalah pemikiran tentang kasus-kasus yang disepadankan satu sama lain)
[al-Suyuthi t.t.: 5]. Apa yang dimaksud dengan nazhâ’ir atau kasus-kasus yang
disepadankan satu sama lain itu tidak lain adalah bagian mekanisme qiyas itu
sendiri, atau seperti dikatakan al-Suyuti “liyuqâs alaihâ ma laisa bi manqûl”
(untuk mengqiyaskan kasus-ksus yang tidak dinyatakan dalam teks agama dengan
qaidah-qaidah tersebut) [Ibid.]. Sehingga, dalam konteks disiplin semacam ini,
qaidah-qaidah fiqh telah beralih menjadi suatu asal, menjadi teks primer, di
samping al-Qur’an dan hadis, yang memungkinkan diberlakukannya mekanisme qiyas
terhadapnya. Bukankah qaidah-qaidah tersebut sebagian merupakan teks hadis dan
sebagian lagi menimba maknanya dari al-Qur’an? Singkatnya, pemikiran tentang
mashlahah yang dibakukan dalam qawâid fiqhiyyah pada akhirnya bermuara menjadi
pembakuan-pembakuan cara-cara berpikir yang kembali kepada teks, dan pada
gilirannya juga tetap merrupakan bagian dari ortodoksi yang tertutup.
Ushul Fiqh Sebagai Rasionalisme “Non-Teks”
Dengan demikian, perbincangan tentang kemaslahatan umat manusia dalam pemikiran
ushul fiqh haruslah beranjak dari kritik terhadap qiyas. Karena dalam qiyas
inilah pemikiran manusia dikekang dan dibelenggu sehingga tidak memungkinkan
dirinya berpikir tentang sesuatu yang berada di luar teks, dan itu artinya,
tentang sesuatu yang berada di luar garis ortodoksi. Kalau kita mau misalnya
berbicara tentang demokrasi, hak asasi manusia, atau sosialisme, maka
pertama-tama orang akan bertanya: mana rujukannya, mana teksnya? Kalau tidak
ada teksnya, ya percuma bicara tentang perjuangan membela kelompok-kelompok
terpinggirkan, tentang sebuah empowering, dan tentang “rahmatan lil-âlamin”,
dan juga tentang kritik kemapanan ortodoksi. Demi tirani teks!
Maka, kita akan lihat kemudian satu bentuk lain, sebuah perlawanan, dari
pemikiran ushul fiqh di luar yang telah digariskan dan dibakukan oleh Imam
Syafi’i namun posisinya hingga kini tetap marjinal. Ini kita temukan dalam
pemikiran tokoh-tokoh fiqh Andalusia [kini Spanyol], mulai dari Ibn Hazm, Ibn
Rusyd hingga al-Syathibi, yang sama-sama bergerak pada level ta’shîl al-ushûl,
yakni mengajukan alternatif pendekatan metodologis yang baru terhadap
metodologi lama. Sebutan ta’shil al-ushul dipakai al-Syathibi untuk proyek
pemikiran ushul fiqh alternatifnya sebagaimana tertuang dalam al-Muwâfaqah-nya
[al-Syathibi t.t. vol. I: h. 99]. Di sini sengaja tidak diangkat pemikiran Najm
al-Din al-Thufi tentang mashlahah yang ditempatkan sejajar dengan posisi
al-Qur’an dan Sunnah, bahkan melampaui keduanya. Hal ini sebagian karena
ide-ide al-Thufi tersebut tidak ditujukan sebagai ta’shil al-ushûl untuk
merombak metodologi dan cara-cara berpikir lama dengan mengangkat satu sistem
berpikir baru yang lebih sepadan dengan semangat “radikalisme” mashlahah-nya
itu.
Harus diakui, Ibn Hazm, Ibn Rusyd, dan al-Syathibi semuanya lahir di wilayah
Andalusia yang telah mengenal tradisi rasionalisme Aristotelian (sebutan Arab
klasiknya, burhâni). Pertama-tama, Ibn Hazm (384-456 H) mengangkat tema
rasionalisme dalam Syariat dengan mengukuhkan “hujaj al-‘uqûl” (argumen-argumen
akal), dan sekaligus menjadikannya sebagai rujukan [1980 vol. I: 27]. Berbeda
dengan pandangan dominan selama ini yang mengidentikkan dirinya sebagai seorang
literalis atau tekstualis (zhâhiri), Ibn Hazm tampak menampilkan dirinya
sebagai seorang yang sama-sama mengakui kekuatan akal dan wahyu dalam porsinya
masing-masing. Menurutnya, wilayah jangkauan wahyu terbatas pada apa yang telah
dijelaskan secara lengkap oleh agama beserta segenap hukum-hukumnya. Sehingga
dalam pikiran Ibn Hazm, tidak mungkin lagi kita membutuhkan qiyas dalam konteks
hukum-hukum agama karena Tuhan sendiri telah mengatakan “alyaumu akmaltu lakum
dinakum” dan “ma farrathna fil-kitab min say’i” (tiada satu pun yang kami
tinggalkan untuk kami jelaskan dalam al-Qur’an). Sementara wilayah akal justru
porsinya lebih luas, karena urusan duniawi merupakan urusan manusia demi
kemaslahatan manusia itu sendiri. Argumentasinya, hadis Nabi “antum a’lamu bi
umur dunyakum” (kalian lebih tahu urusan dunia kalian), dan juga prinsip
“al-ashl fil al-asyya’ al-ibahah” hukum asal dari segala sesuatu adalah boleh).
Maka, otoritas untuk mengetahui urusan duniawi tersebut dibebankan kepada akal
manusia [Ibid. vol VII: hal. 2].
Paradigma pemikiran semacam inilah yang kemudian dikenal dengan sebutan
“literalisme”, karena lebih mengandalkan pola pemahaman terhadap teks-teks
agama, bukan urusan duniawi, dalam makna dan konteks literalnya, tanpa menukik
lebih jauh ke dalam penakwilan-penakwilan yang menyesatkan. Ia mengatakan:
“Tidak dibenarkan memalingkan satu kata atau lafaz yang sudah dikenal maknanya
dalam bahasa dari maknanya yang asli dalam bahasa tersebut, yang dengannnya
Tuhan menyampaikan pesan-pesannya dalam al-Qur’an, ke satu makna yang bukan
miliknya, kecuali kalau itu didukung oleh satu teks dalam al-Qur’an atau dalam
Rasulullah SAW, atau ijma’ semua ulama, atau memang dibenarkan oleh persepsi
inderawi dan akal manusia. Maka, atas dasar unsur-unsur pendukung semacam
itulah dibenarkan terjadinya takwil” [Ibn Hazm t.t. vol. III: 50].
Pertanyaannya kemudian, bagaimana akal tersebut memainkan fungsinya menyangkut
perkara-perkara yang tidak dinyatakan secara eksplisit dan literal oleh
teks-teks agama? Dalam soal ini, Ibn Hazm menyatakan perlunya mengadopsi
pendekatan logika Aristoteles, termasuk premis-premis dan middle term-nya
(al-had al-awsath), dan menerapkannya dalam persoalan-persoalan hukum agama
[Ibid. vol. II: 95]. Bagaimana itu diterapkan?
Pertama, hal itu mengharuskan dirinya untuk mengkritik qiyas yang menurutnya
menyalahi prinsip hakekat sesuatu, karena membenarkan persamaan antara dua hal
yang berbeda spesiesnya (naw’). Qiyas baginya harus dibenarkan selama
penganalogian dan pengidentifikasian tersebut berlangsung pada tataran spesies
yang sama pula. Seperti dalam kasus pengharaman Nabi terhadap jual beli barter
di antara biji gandum yang nilainya tidak sama. Dalam kasus ini, tidak
dibenarkan mengqiyaskan satu batang kayu yang kuat dan besar dengan biji gandum
tersebut dalam status pengharamannya, karena ada perbedaaan dalam spesiesnya.
Kecuali kalau ada teks lainnya yang menyebutkan demikian secara eksplisit [1980
vol. VII: 185-186]. Kalau qiyas dibenarkan, kata Ibn Hazm, tanpa
mempertimbangkan hakikat genus (jins) dan spesies sesuatu, maka kita bisa saja
terperangkap pada cara-cara berpikir yang mempersamakan hukum memakan daging
kambing dan daging babi, karena adanya kesamaan di antara keduanya dari segi
fisik misalnya. Misalnya sama-sama berkaki empat, mamalia, dan hewan menyusui.
Tapi, kambing halal dan babi haram, justru karena adanya teks yang menyatakan
mengharamkan yang ini, dan menghalalkan yang itu [Ibid.:191-194]. Singkatnya
Ibn Hazm mengkritik qiyas dari perspektif Aristotelian yang memandang sesuatu
dari genus dan spesiesnya, dan juga dari sisi hukum kausalitasnya, dan bukan
dari perspektif atomisme (jauhr fard) model Asy’ariyah yang memungkinkan qiyas
berlaku tanpa kontrol, tanpa mempertimbangkan hukum sebab-akibat [tentang hukum
kausalitas, lihat Ibid. vol. VIII: 99].
Namun demikian dalam soal ini, Ibn Hazm hanya menekankan pada “literalisme”
teks-teks agama tanpa mengarahkannya kepada sebuah konsep universal tentang
“mashlahah” dan “maqâshid syar’iyyah”. Maka, tugas rasionalisme dalam konteks
literalisme dan mashlahah di atas kemudian dielaborasi secara lebih matang oleh
Abu Ishaq al-Syathibi (w. 790 H). Tapi sebelum al-Syathibi sudah muncul Ibn
Ruyd (520-595 H) yang bukan hanya dikenal sebagai filsuf, tapi juga peletak
dasar cara-cara berpikir yang rasional dalam bidang ushul, baik ushul al-din
maupun ushul al-fiqh. Dalam bukunya al-Kasyf ’an Manahij al-Adillah, Ibn Rusyd
telah menekankan perlunya memahami teks-teks agama pada makna literalnya dalam
konteks memahami maqasid-nya [1968: 41]. Literalisme semacam ini merupakan
perpanjangan dari paradigma zhahiriyyah Ibn Hazm, sementara yang kedua
merupakan tema yang dikembangkan kemudian oleh al-Syathibi. Kita akan kupas
bagaimana yang terakhir ini merumuskan maqasid syar’iyyah tersebut dalam
bingkai mashlahah-nya.
Seperti halnya Ibn Hazm dan Ibn Ruyd, al-Syathibi juga menganut paradigma
Aristotelianisme. Ia misalnya mengajukan konsep “al-kulliyyâh” (universalisme)
dalam syariah yang diperoleh dari pengamatan secara induktif atas segenap
detil-detil hukum syariah, yang kemudian bersifat qath’iy dan meyakikan
[al-Syathibi t.t. vol. I: 77-78]. Ada tiga prinsip yang membuat kulliyah
syar’iyah bersifat qath’iy dalam pandangan al-Syathibi. Pertama, prinsip
universal dan keumuman syariah, yang mencakup semua mukallaf (subyek hukum)
tanpa mengkhususkan diri pada waktu dan tempat tertentu. Kedua, prinsip
ketetapan (tsubût) dan ketidakberubahan syariah, karena hukum-hukum syariah
bersifat demikian, yang wajib misalnya tetap dalam keadaannya sebagai sesuatu
yang wajib, yang haram tetapa haram, demikian pula yang berupa hukum-hukum
syarat. Ketiga, prinsip legalitas (qânûniyah), yakni bahwa disiplin keilmuan
ini bersifat mengatur, karena hukum-hukum syariah yang berupa perintah dan
larangan adalah sesuatu yang superior dan tidak ada yang mengatasinya.
Hal semacam ini berbeda misalnya dengan Ibn Taymiyah yang menafikan konsep
“al-kulliyah” karena dianggapnya tidak berwujud di alam kenyataan, tapi hanya
di alam pikiran. Sehingga ia disebut-sebut sebagai peletak dasar “empirisme”
dalam Islam. Padahal ketika mengkritik “al-kulliyah” itu, Ibn Taymiyah sedang
berada dalam posisi mempertahankan dan menyelamatkan qiyas yang dikenal dengan
orientasi probabilitas (zhan) dan partikularitasnya (juz’iy). Sementara posisi
al-Syathibi bukanlah mempertahankan hukum-hukum dan mekanisme qiyas, tapi dalam
konteks mempertahankan sifat kepastian dan ketidakraguan (qath’iy) syariah
berdasarkan hukum-hukum akal. Maka yang termasuk dalam konteks al kulliyah yang
disebutnya qath’iy itu adalah konsep maqasid syar’iyyah-nya (tujuan-tujuan
kemaslahatan syariat) yang diidentikkan dengan konsep final causa-nya
Aristoteles, dan itu artinya ditempatkan sebagaimana layaknya posisi hukum
kausalitas. Sedangkan Ibn Taymiyah malah menempatkan maqasid syar’iyyah sebagai
subordinat dari qiyas, dan tidak melihatnya sebagai sumber hukum yang pasti.
al-Syathibi menjelaskan adanya empat bentuk maqasid sebagai berikut:
Pertama , bahwa syariah agama diturunkan untuk kepentingan kemaslahatan umat
manusia. Kemaslahatan ini terbagi tiga: dlarûriyah (yang bersifat emergency,
mencakup kemaslahatan akal, jiwa, harta, keturunan dan agama), hâjiyah (yang
bersifat sekunder, seperti kebutuhan sandang dan papan), dan tahsîniyah (yang
bersifat tersier dan pelengkap, seperti kebutuhan bersenang-senang dan
rekreasi) [Ibid. vol II: 8]. Mazhab Syafi’i terutama sejak al-Ghazali juga
menekankan prinsip ini. Cuma bedanya, yang terakhir ini membicarakan prinsip
mashlahah dan al-kulliyah al-khams itu dalam kerangka dasar-dasar dan
sumber-sumber hukum yang telah ditetapkan oleh Imam Syafi’i. Sehingga, tidak
dimungkinkan untuk melampaui keempat sumber hukum tersebut demi kepentingan
mashlahah yang dikatakan tidak punya dasar sama sekali. Apalagi mereka
berbicara tentang mashlahah dalam konteks yang menafikan istihsân dan mashalih
mursalah (kemaslahatan yang tidak punya dasar dalam teks agama).
Kedua , bahwa syariah agama diturunkan agar dipahami oleh umat manusia. Prinsip
ini menekankan semangat kontekstualitas dan historisitas dari maqasid sehingga
tetap aktual dan relevan sepanjang masa dan di setiap tempat. al-Syathibi
misalnya menekankan bahwa syariat agama diturunkan dalam bahasa Arab dan dalam
lingkungan sosial masyarakat Arab, sehingga untuk memahaminya diperlukan
pengetahuan tentang apa yang dikenal dan diketahui masyarakat Arab dalam
lingkungan bahasa dan kehidupan mereka [Ibid. vol. II: 69-82]. Namun, dalam
kerangka seperti ini, al-Syathibi tidaklah terjebak pada bentuk-bentuk
penalaran yang – seperti sering kita temukan saat ini – misalnya membaca bahwa
penemuan sains atau demokrasi sudah ada dalam al-Qur’an. Ia justru menguraikan
batas-batas linguistik dan historis ayat-ayat al-Qur’an, dalam setting sosial
tertentu, untuk menghindari pemaknaan dan pembacaan yang membengkakkan
ayat-ayat tersebut di luar dari “makna historis”-nya Tentu saja, keseluruhan
investigasi metodologis yang dilakukan al-Syathibi ini membutuhkan basis kajian
sejarah yang begitu kuat, dan konsep “asbâb al-nuzûl” (sebab-sebab turunnya
ayat) merupakan modal baginya.
Ketiga , bentuk ketiga dari maqasid syar’iyyah adalah taklif, yakni bahwa
pembebanan kewajiban agama kepada umat manusia harus berada dalam kerangka
kemampuan dan keterbatasan umat manusia, karena Allah tidak akan membebani
seseorang melebihi dari batas kemampuan dan kesanggupannya untuk memikul beban
tersebut [Ibid, vol.II, hal. 107-111]. Singkatnya, menurutnya, “syariah agama
diturunkan untuk kepentingan kemaslahatan umat manusia secara mutlak dan
menyeluruh” [Ibid, vol. II, h. 323].
Keempat , maqasid berikutnya adalah melepaskan umat manusia dari kungkungan
hawa nafsunya, sehingga menjadi hamba Allah secara merdeka, setelah menjadi
hamba Allah secara terpaksa [168-170].
Penerapan Maqâshid Syari’ah, Bukan Penerapan Syariat
Dengan demikian, dalam konteks pengajuan mashlahah sebagai tema mendasar dari
hukum-hukum agama sebagaimana dirumuskan oleh al-Syathibi, kita tidak lagi
berhadapan dengan upaya mencari-cari pendasaran hukum dari dalam teks, seperti
yang lazim berlaku dalam konteks qiyas. Tepatnya, ia anti gerakan
tekstualisasi, dan juga sebagai konsekuensinya anti gerakan sakralisasi. Kalau
kita misalnya berbicara tentang hak asasi manusia, tentang pluralisme dan
demokrasi, maka kita berpedoman kepada maqâshid syar’iyyah yang memang
ditujukan untuk mengedepankan kepentingan umat manusia secara mutlak dan
menyeluruh, tanpa mempertimbangkan perkara perbedaan agama, suku, ideologi dan
kelompok. Dalam konteks seperti itu pula, kita tidak mungkin lagi terpaku dan
terbelenggu oleh teks, apalagi oleh “mitsâl sabiq”, menghabiskan umur untuk
mencar ‘illat atau sebab-sebab munculnya hukum sebagai dasar berlakunya qiyas,
atau terhegemoni oleh otoritas masa lalu, atau mengotak-atik teks-teks qawaid
fiqhiyyah. Pegangannya, singkatnya, adalah kepentingan umat manusia.
Lalu bagaimana dengan soal penerapan syariat Islam yang kini sedang marak
diangkat lagi di Tanah Air? Kalau yang dimaksud dengan syariat Islam adalah
seperti yang diberlakukan dalam rumusan al-Syafi’i, dalam kerangkeng
hukum-hukum qiyas, maka kita diajak masuk dalam lingkaran teks-teks agama
secara harfiyah dan partikular, terlepas dari setting kulliyyah dan maqashid
al-syari’ah yang merupakan semangat dasar terbentuknya syariah. Kalau sebuah
teks mengatakan harus ada hukum potong tangan untuk kasus kriminal pencurian,
maka – mengikuti rumusan al-Syathibi – yang diberlakukan bukan makna literal
atau harfiyahnya, tapi semangat dasar yang mengantarkan kepada jenis
penghukuman semacam itu. Misalnya untuk membuat jera pelaku kriminal, untuk
bisa memperbaiki kembali perilakunya tersebut, dan juga menjaga kepentingan
menjaga al-kulliyyah al-khams, yang salah satu unsurnya adalah menjaga harta
benda. Dan semangat inilah yang disebut al-Syathibi sebagai prinsip “ketetapan
(tsubût) dan ketidakberubahan syariah”.
Demikian pula halnya kalau kita berbicara tentang persoalan-persoalan
sosial-politik. Misalnya, apakah sistem politik demokrasi itu relevan dengan
syariah atau tidak. Yang dilakukan kemudian bukan mengutak-atik ayat-ayat
al-Qur’an atau hadis, mencari-cari apakah ada demokrasi dalam Islam atau tidak,
tapi justru mengakomodasi persoalan tersebut dalam konsep maqâshid syari’ah dan
“mashlahah. Maka, kalau demokrasi tidak bertentangan dengan prinsip syariat
“kepentingan kemaslahatan umat manusia”, hal itu bisa diterima. Dan kita tahu
bahwa demokrasi di antaranya menjamin kebebasan warga menyalurkan aspirasi
politiknya, tanpa tekanan dan paksaan, dan menjamin hak-hak sosial individu
untuk memperoleh kesejahteraan hidup yang layak. Dan syariat juga diturunkan
untuk menjamin kemaslahatan hak-hak tersebut.
Sementara apa yang dikenal dengan “syariat Islam” hanya terbatas pada teks-teks
agama yang sifatnya ubudiyah (ritual-ritual keagamaan), seperti shalat, puasa
dan haji. Dan ini tidak membuka peluang untuk ditafsirkan macam-macam; tepatnya
harus terikat secara tekstual dan harfiyah. Tapi teks-teks agama yang sifatnya
mu’amalah (berkaitan dengan persoalan hubungan manusia antar sesamanya), maka
hal itu membuka peluang ijtihad, terbuka untuk ditafsirkan sesuai dengan
kebutuhan uamt amnsuia yang berubah-ubah, asalkan sesuai dengan prinsip-prinsip
kullliyyah syariat, yakni prinsip “kepentingan kemaslahatan umat manusia”
(public good), dan bukan sekadar demi kepentingan umat Islam secara partikular
atau kelompok-kelompok Islam tertentu. Pendek kata, hal-hal semacam itu semua
diakomodasi dalam konsep maqâshid syari’ah yang bersifat universal.
Konsep “maqâshid” dan “mashlahah” semacam ini jelas berbeda dengan konsep
“mashlahah” atau “istishlâh” seperti dikenal dalam lingkungan Sunni dengan
keempat mazhab fiqhnya. Mereka tidak mengenal konsep “al-kulliy” yang lahir
dari metode “istiqra’”, tidak mengenal kajian historis sebagai basis
epistemologi dan juga tidak mengenal taradisi rasionalisme seperti yang dikenal
masyarakat Islam di Andalusia. Sebaliknya yang mereka kenal hanyalah metode
qiyas yang menghinggapi segenap pemikiran fiqh maupun ushul fiqh, sehingga
konsep mashlahah tidak lebih hanya merupakan kreasi dari konsep qiyas tersebut,
dan bukan sebagai dasar epistemologis yang melampaui qiyas. Makanya, kita kenal
di kalangan mereka, seperti al-Ghazali, satu mekanisme yang disebut ta’lîl
al-ahkam, istinbath al-‘ilal atau illah munasibah yang semuanya dipakai untuk
menunjukkan adanya mashlahah tersebut. Model “mashlahah” semacam inilah yang
kemudian dirumuskan oleh kalangan NU dalam Muktamarnya di Cipasung 1994 lalu,
dengan mengadopsi konsep “mashlahah”-nya al-Ghazali dalam al-Mustashfâ min ‘Ilm
al-Ushul. Lihat hasil-hasil keputusan Muktamar NU ke-29, 1-5 Desember 1994, di
Pondok Pesantren Cipasung, Jawa Barat [1996], khususnya yang menyangkut
keputuisan tentang “mashlahah ‘ammah” atau kepentingan umum.
Nah, itu berarti kita perlu perubahan metodologi, dari pola dan cara-cara
berpikir seperti yang dibakukan Imam al-Syafi’i ke metodologi dan cara-cara
berpikir seperti yang dirumuskan oleh Ibn Hazm, Ibn Rusyd dan al-Syathibi.
Itulah tajdid sebagaimana di isyaratkan oleh Abdurrahman Wahid dalam kutipan di
atas : “Kalau begitu, sebenarnya kita bisa mengambil dua pola : tajdid dalam
arti mengubah metodologi berpikir, yaitu satu model tajdid yang lebih tuntas,
dan satu lagi tajdid dalam kerangka atau metodologi berpikir yang sudah ada”.
Cuma sayangnya, nama al-Syathibi di lingkungan umat Islan di Indonesia,
terutama dari kalangan tradisionalis, tidak begitu bagus sejak KH Sirajuddin
Abbas menyebut al-Syatibi berada di luar lingkungan Ahlussunnah wal jama’ah
[KH. Sirajuddin Abbas 1985: 195] Padahal al-Syathibi adalah penganut mazhab
Maliki dan merupakan pewaris dari tradisi mashlahah mursalah Imam Malik, meski
dalam bingkai rasionalisme Aristoteles seperti dipaparkan di atas.
Pada akhirnya, dari sini kemudian kita bisa berbicara tentang ushul fiqh
sebagai pencerahan pemikiran, yang terbuka dengan dinamika sejarah, demi
kepentingan umat manusia secara universal, dan bukan sekadar arena
kutip-mengutip dari teks yang bersifat konsumtif yang cuma “berpegangan pada
pendapat-pendapat ulama salaf”, dan akhirnya diperalat demi kepentingan
eksklusif umat Islam atau malah kelompok Islam tertentu. (Ahmad Baso)
*Makalah ini disampaikan dalam Kajian Ushul Fiqh Progresif the WAHID Institute
Jakarta, 17 Juni 2005.
**Ahmad Baso adalah alumni LIPIA (Lembaga Ilmu Pengetahuan- Islam dan Arab)
*** footnote:
Istihsan di kalangan pengikut Abu Hanifah dan mashalih mursalah di kalangan
pengikut Malik sering dimaknai sebagai cara yang mengabaikan qiyas demi
kepentingan sebuah maslahah, dan kadang juga diidentikkan dengan pengabaian
kandungan eksplisit sebuah nash demi kepentingan mengedepankan asas maqasid
al-syar’iyah (tujuan syari’at) yang di antaranya adalah kemaslahatan umat
manusia. Lihat misalnya sebagai pengantar tentang pembahasan istihsan dan
mashalih mursalah ini dalam Muhammad Abu Zahrah [t.t.].