Tidak semua amalan yang tidak pernah dilakukan Nabi SAW menjadi bid’ah, pelakunya sesat, dan amalan yang dilakukan menjadi bid’ah dholalah (kreatifitas sesat). Tidak semua!
Para ulama, dari dulu sampai saiki, di timur atau barat, wetan atau kulon, bersepakat bahwa ‘hal meninggalkan’ (ATAU tidak melakukan sesuatu) “bukanlah suatu prinsif atau konsep untuk menyimpulkan dalil secara khusus”. Metode yang digunakan oleh para sahabat untuk menetapkan suatu hukum syariat itu menjadi wajib, sunnah, mubah, makruh atau haram adalah mengikuti prinsif istinbath (penyimpulan hukum) dari dalil berdasarkan pada:
- adanya nash dari al-Quran
- adanya nash dari Sunnah
- konsensus ulama atas suatu hukum (ijma’)
- qiyas (silogis)
Para ulama berbeda pendapat pada beberapa kaidah pengambilan dalil untuk menetapkan syariat, antara lain:
- Pendapat sahabat
- Sadduddzaraa’i (penambal cacat)
- Praktik penduduk Madinah
- Hadis Mursal
- Istihsan
- Hadis dhaif, dan prinsif-prinsif lain yang dipandang oleh para ulama. Dalam semua ini tidak tertera, hal ‘meninggalkan’ sebagai sebuah prinsif dalam penetapan hukum.
Dengan demikian, sesuatu yang tidak dilakukan secara tersendiri tidak menunjukkan suatu hukum syariat. Ini adalah kesepakatan diantara kaum Muslimin.
Banyak bukti-bukti pendukung dan atsar dari para sahabat radhiyallahu ‘anhum bahwa mereka tidak memahami bahwa Nabi SAW meninggalkan suatu perbuatan sebagai dalil diharamkannya perbuatan itu, bahkan tidak juga sebagai sesuatu yang dimakruhkan. Demikianlah yang dipahami oleh para ahli fiqih dari masa ke masa.
Ibnu Hazm menolak pola hujjah (argumentasi) dari mazhab Maliki dan mazhab Hanafi atas pendapat mereka yang menyatakan makruh shalat dua rakaat sebelum Maghrib dengan sebab Abu Bakar, Umar, dan Utsman tidak melakukannya. Beliau menyatakan,
“Ini bukanlah hujjah yang berimplikasi kepada hukum apapun. Pertama, riwayat tersebut munqathi’ (terputus) karena Ibrahim tidak menjumpai masa hidup seorang pun dari mereka yang kami sebutkan. Dia tidak terlahir melainkan dua tahun setelah terbunuhnya Utsman. Kemudian, seandainya shahih pun tetap tak ada hujjah, karena di dalamnya tidak disebutkan bahwa Abu Bakar dan Umar melarang juga tidak memakruhkannya. Kita tidak menyalahi (prinsif) mereka bahwa meninggalkan perkara sunnah itu boleh”.
(Ibnu Hazm, Al-Muhalla bi Al-Atsar, vol. II, hal. 22).
Jadi, Ibnu Hazm tidak ingin menggali lebih dalam fenomena sahabat meninggalkan shalat dua rakaat sebelum Maghrib tidak membawa kepada konotasi hukum apapun sepanjang mereka tidak mengungkapkan secara tegas tentang kemakruhannya.
Inilah prinsif yang ia tempuh terhadap fenomena sahabat yang meninggalkan suatu ibadah. Dan sikap itu jugalah yang ia ambil dalam menghadapi kenyataan bahwa Nabi SAW meninggalkan suatu ibadah yang hukum dasarnya disyariatkan. Dalam kasus shalat dua rakaat setelah ashar, dia berkata,
“Adapun Hadis Ali bin Abu Thalib memang tidak ada hujjah sama sekali di situ, karena di dalamnya tidak ada kecuali bahwa beliau menyampaikan kabar tentang sesuatu yang sudah diketahui. Yaitu, bahwa beliau tidak melihat Rasulullah SAW melakukannya (dua rakaat setelah ashar). Dia benar dalam perkataannya. Dan tidak disebutkan pelarangan atau kemakruhan tentang hal itu. [Dan tidaklah] Nabi SAW melakukan puasa satu bulan penuh selain Ramadhan; ini tidak menyatakan pasti makruhnya puasa (sunnah satu bulan penuh).”
(Ibnu Hazm, Al-Muhalla bi Al-Atsar, vol. II, hal. 36).
Demikian, dia memahami kenyataan Nabi SAW meninggalkan puasa satu bulan penuh selain Ramadhan bahwa hal itu tidak menunjukkan haram atau makruh puasa satu bulan penuh selain Ramadhan. Dan, meskipun Nabi SAW tidak melakukannya.
Sangat kuat riwayat yang mengatakan bahwa Nabi saw tidak melakukan khutbah di atas mimbar dan malah memilih berkhutbah di atas batang kurma. Namun para sahabat tidak memahami bahwa khutbah di atas mimbar itu bid’ah atau pun haram. Malah mereka justeru berinisiatif membuatkan mimbar untuk beliau.*) Tentulah para sahabat tidak mungkin akan melakukan suatu perbuatan yang diharamkan oleh Nabi SAW. Kesimpulannya, dapat dipahami bahwa mereka tidak memandang bahwa melakukan suatu perbuatan yang telah ditinggalkan Nabi itu sebagai perkara bid’ah.
Contoh lain. Nabi SAW tidak melakukan pengucapan berikut dalam shalat setelah mengangkat kepala dari ruku’:
Robbana wa lakal hamdu hamdan katsiira.... (dst).
---Tuhanku, segala puji bagi-Mu dengan pujian berlimpah ruah..
Sahabat yang membaca doa tersebut sadar bahwa Nabi saw tidak mengamalkan doa tersebut dalam shalatnya. Namun sahabat juga memahami bahwa keengganan Nabi mengerjakannya tidak menjadikan hal itu terlarang. Jika Nabi melarangnya tentulah hal itu menjadi haram hukumnya. Lalu bagaimana mungkin Nabi SAW membiarkan seorang sahabat mengamalkannya jika Beliau meyakini keharamannya?!
Nabi saw tidak menyindir atau menegurnya atas sikap tersebut. Beliau, misalnya, tidak mengatakan “kamu bagus, tapi jangan ulangi!”, atau melarang sahabat tersebut mengarang doa-doa yang lain di dalam shalat. Sebagaimana kita ketahui bahwa tidak baik menunda sebuah penjelasan sampai melewati waktu diperlukannya penjelasan itu.
Hadis tersebut diriwayatkan oleh Rifa’ah bin Rafi’ Azzarqani; dia berkata,
“Suatu hari kami melaksanakan shalat di belakang Nabi Saw ketika beliau mengangkat kepala dari ruku’, seraya berkata, “Sami’allahu liman hamidah”. Seseorang di belakangnya berkata, “Tuhan kami, segala puji bagi-Mu, pujian yang banyak lagi diberkati”. Setelah shalat selesai, beliau bertanya, “siapa orang yang mengucapkan (doa tadi)?”. Dia menjawab, “Saya”. Beliau bersabda, “Aku melihat lebih dari 30 malaikat bergegas (menyambutnya); siapa diantara mereka yang pertama menuliskan (pahala).” **)
Sayyidina Bilal Ra tidak memahami kenyataan Nabi saw meninggalkan shalat dua rakaat setelah berwudhu bahwa perkara itu tidak boleh, bahkan dia melakukannya dan tidak memberitahu Nabi saw, justeru Nabi Saw yang bertanya kepadanya, “wahai Bilal, sampaikanlah kepadaku tentang amal yang paling diharapkan (diterima) yang kamu praktikkan di dalam Islam. Karena, sesungguhnya aku mendengar suara dua sandalmu di depanku di surga.” Dia menjawab, “Aku tidak mempraktikkan suatu amal yang lebih diharapkan bagiku selain bahwa tiap kali aku berwudhu pada waktu malam atau siang maka aku melakukan shalat dengan wudhu itu semampu aku”.
Dengan demikian kita tahu bahwa shalat setelah berwudhu sudah menjadi sunnah setelah pengakuan Nabi Saw. Akan tetapi, poin di sini adalah pemahaman sahabat terhadap bolehnya membaca doa-doa dan melakukan shalat-shalat pada waktu-waktu yang tidak dilakukan oleh Nabi saw. Kita menyimpulkan dalil dari pemahaman itu bahwa meninggalkan sesuatu tidak mengimplikasikan pelarangan atau kemakruhan. Demikian juga, kita berdalil dengan ketiadaan pengingkaran Nabi terhadap sikap tersebut dan ketiadaan pelarangan para sahabat pada masa selanjutnya.
Dari keterangan-keterangan di atas kita mengetahui bahwa perbuatan meninggalkan suatu amalan oleh Nabi saw, para sahabat, hingga generasi-generasi tiga abad terbaik tidak mengimplikasikan apapun; pengharaman tidak, dan kemakruhan juga tidak, bahkan kedua-duanya pun tidak.
Inilah yang dipahami oleh para sahabat Nabi Saw selama beliau masih hidup. Beliau saw tidak mengingkari pemahaman mereka itu. Demikianlah yang disimpulkan dan dipahami oleh para ulama setelah mereka. Wallahu a'lam.