|
Salah satu sisi kehidupan PSK |
Dalam diri kita sering tercipta bid'ah. Bahkan, orang yang tak mengerti bid'ah bisa mendesain bid'ah menjadi bid'ah-bid'ah baru. Padahal bid'ah dalam arti bahasa (etimologi) adalah 'berkreasi' atau 'mencipta hal yang baru'. Secara terminologis sih macam-macam. Tapi yang pasti, "setiap sesuatu yang di luar ajaran nabi Muhammad SAW adalah bid'ah".
Pokoknya, tiap yang bukan dari 'sono'-nya, itulah bid'ah (kata mereka). Tapi, apa sih urgensinya bicara bid'ah dalam pembicaraan yang tidak relevan dan di tempat yang tidak tepat pula? Ini yang selalu saya pikirkan.
Di tahun 1999 saya mengunjungi negeri petro-dollar Saudi Arabia. Tidak ada yang aneh di sana: gedung-gedung tinggi mencakar langit, jalan-jalan mulus, kendaraan mewah berseliweran, air mancur menari-nari, shopping center, mal-mal nan "wah", hotel berbintang lima, istana-istana, games station, dan segala macam infrastruktur Saudi Modern berdiri megah, tertata rapih dan apik. Semua simbol-simbol kejayaan serta kemegahan negara kaya minyak itu ada di sana.
Bahkan, masjid ada di setiap sudut. Tak ada aktifitas bisnis kalau tiba-tiba azan berkumandang, dan semua toko dan pusat belanja itu tutup selama 10 hingga 15 menit. Kendaraan lalu lalang dengan tertib. Ada rambu-rambu yang harus ditaati kalau tak ingin ditilang. Sejauh mata memandang, seluruh penjuru negeri bersih dari sampah. Tak ada muda-mudi yang asyik bermesraan, baik berdua atau bergerombol, meskipun banyak gadis di sana, banyak pula anak muda. Tak ada gelak tawa dari sepasang makhluk berbeda jenis. Sebab kaum hawa bercadar, sementara laki-laki berjubah.
Kesantunan dijaga betul di tempat umum. Tidak ada yang aneh, tapi terlihat istimewa. Saya merasakan Tuhan telah menurunkan miniatur Surga di Arab Saudi. Semua "gemah ripah loh jinawi". Baldatun thoyyibatun wa robbun ghafur.
Tapi apakah benar tak ada Wanita Tuna Susila atau Pekerja Seks Komersial di sana? Saya bertanya-tanya sendiri dalam hati. Bukan bermaksud ingin mengetahui perihal "mereka". Saya hanya penasaran: adakah sesuatu yang lain dari wajah ramah negeri kiblat umat Islam itu?
Sekali lagi, adakah PSK di Arab Saudi?
Teman saya yang lama belajar ekonomi dengan jenaka menjawab:
"dimana ada permintaan, di situ ada barang"
"semakin tinggi permintaan, semakin tinggi pula harga jual".
"semakin tinggi persaingan, semakin rendah harga jual".
Kata-kata teman saya itu saya tafsirkan sendiri: "setiap ada Laki-laki Tuna Susila, pasti ada Wanita Tuna Susila".
Saya mulai lega, karena ilmu ekonomi dari teman saya itu akhirnya dapat mewakili jawaban.
Tapi saya buru-buru menimpali bahwa kemungkinan segala maksiat di sana, kalaupun ada, sudah dipastikan terselubung oleh jubah dan cadar. Titik.
Yang mengherankan saya, ulama-ulama di sana rupanya sangat sibuk membahas bid'ah. Hampir di setiap mushola dan masjid yang saya singgahi nyaris tak ada kitab yang tidak membahas bid'ah. Kebanyakan buku-buku itu dibagikan secara gratis. Tapi tentu banyak pula yang dijual di toko-toko
buku.
Alhamdulillah pada tahun 2000 Allah memperkenankan saya memenuhi panggilan nabi Ibrahim yang kedua kali, lalu yang ketiga kali pada tahun 2004. Keadaan di sana tak jauh berbeda. Masih membincang tentang bid'ah.
Sayangnya banyak "orang-orang Indonesia" yang membeo jejak langkah wahabisme itu: bicara melulu bid'ah. Seolah tak ada detak jantung dan hembusan napas di hidung yang tidak memuntahkan kata "bid'ah". Bid'ah is everything. Bahkan di group-group diskusi yang tak ada hubungannya dengan "bid'ah", masih saja tetap ada "bid'ah". Sebenarnya, how bid'ah sih can you go?
Di tengah himpitan problematika Palestina, isu disintegrasi Irak, carut marut Afghanistan, perang saudara di Sudan, kecamuk Syria, pembunuhan di Mesir, mutu pendidikan yang rendah, ekonomi negara-negara Muslim yang 'ancur-ancuran', mengapa titik tekan selalu saja bid'ah? Hampir terlupakan semua masalah-masalah di depan mata yang ---semestinya--- mendapat perhatian serius dari kita-kita yang nggak doyan bid'ah.
Hebatnya, Saudi malah membunuh ribuan rakyat Yaman yang tak berdosa. Demi Allah, ini juga bid'ah. (Taufik Munir)