Stephane Charbonnier, pimred majalah Charlie Hebdo tewas
Serangan di kantor majalah yang kerap melecehkan Islam dan simbol-simbolnya, Charlie Hebdo, pada Rabu (07/01), juga menewaskan pemimpin redaksi (pemred) majalah mingguan tersebut, Stephane Charbonnier. Pria yang dikenal dengan panggilan Charb itu tewas bersama 11 rekannya ketika menggelar rapat redaksi.
Selain Chard, tiga kartunis terkenal Prancis juga tewas dalam serangan itu. Mereka adalah Cabu, Tignous dan Wolinski. Ketiganya bekerja di koran Charlie Hebdo dan bertugas membuat karikatur-karikatur kontroversial, termasuk di antaranya melecehkan Islam, Quran, dan simbolnya.
Chard yang tewas di usia 47 tahun itu dikenal sebagai pria yang getol menghina simbol umat Islam. Ia bersikeras dan tidak mengindahkan ancaman serta protes umat Islam karena memuat kartun Nabi Muhammad di majalahnya.
“Muhammad tidak suci bagi saya,” kata Chard dalam wawancara dengan kantor berita AP pada tahun 2012, ketika kantor Charlie Hebdo terbakar karena serangan bom molotov.
“Saya hidup berdasarkan undang-undang Prancis. Saya tidak hidup berdasarkan undang-undang Al Quran,” tambahnya, seperti dilansir BBC.
Sebagaimana diberitakan, sejumlah pria bertobeng menyerbu kantor majalah Cherlie Hebdo di Paris, Prancis, ketika sedang menggelar rapat redaksi. Mereka menembaki orang-orang yang ada di kantor bersebut, termasuk penjaga keamanan, sehingga menewaskan 12 orang.
Majalah Charlie Hebdo memang dikenal kerap menerbitkan kartun-kartun yang menghina dan melecehkan umat Islam, al-Quran serta simbol-simbolnya. Pada tahun 2007 Charlie Hebdo diperkarakan karena memuat kartun Nabi Muhammad, sehingga membuat marah umat Muslim dunia.
Majalah ini terbit sejak 1970, mendapat inspirasi namanya dari tokoh kartun Amerika, Charlie Brown. Sejak awal majalah ini diterbitkan untuk ‘meledek’ selebriti, politisi bahkan agama. Pada 2006, Charlie Hebdo menjadi target utama umat Islam yang tidak menerima agamanya dilecehkan, setelah mencetak ulang 12 kartun Nabi Muhammad yang sempat diterbitkan harian Denmark, Jyllands-Posten.
Salah satu kartun menampilkan sebuah bom yang ditempatkan dalam sebuah surban memicu protes di negara-negara muslim. Namun, redaksi majalah ini selalu berkilah bahwa apa yang mereka lakukan adalah bagian dari kebebasan berekspresi.