Semua agama di dunia mempunyai puasa. Tetapi di sebagian agama puasa adalah sebuah sarana untuk menghidupkan kembali momentum-momentum sejarah dogma. Dalam ajaran Nasrani, misalnya, mereka berpuasa selama 40 hari sejak hari penyaliban Yesus hingga hari Paskah, yaitu hari ditebarkannya berkat keselamatan bagi umat Kristiani.
Namun begitu, puasa dalam Kristen tidak bisa disebut dengan puasa yang sesungguhnya, sebab mereka hanya dilarang memakan segala sesuatu yang (asalnya) bernyawa. Seperti daging, burung, telur dan (terkadang) susu. Selain itu mereka boleh memakannya.
Dalam agama Yahudi juga ada yang disebut dengan "Hari Besar Puasa". Mereka tidak diperkenankan makan-minum selama 24 jam. Orang-orang Hindus di India juga berpuasa selama seminggu, dan hanya dibolehkan minum air putih. Mereka bilang, ini adalah suatu cara untuk membersihkan diri dari segala dosa dan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Sebagian agama lain berpuasa selama berminggu-minggu. Karena itulah mengapa kita sering menyaksikan kaum Hindus banyak yang terlihat kurus kering dan lemah, berjalan terpincang-pincang, tak mampu berdiri di atas kakinya sendiri.
Ini yang disebut dengan ta'abbud, penghambaan. Bahkan di salah satu tempat ibadah khusus kaum Hindus terdapat sejumlah orang yang nyaris mengharamkan apa saja. Sehingga kakinya saja bisa disebandingkan dengan ukuran tangan Anda. Mereka terlihat begitu lemah, mentalnya sudah tidak mampu berkonsentrasi.
Adapun puasa dalam Islam adalah ibadah, pensucian, mau'izhah, rahmat dan tanzhim ijtima'i (kontrol sosial), yakni pendidikan sosial.
Penulis mencoba membandingkan antara puasa dalam Islam dan puasa menurut agama-agama lain di dunia, tanpa bermaksud menyinggung perasaan salah satu rekan kita yang beragama non-Islam, karena kita --kaum Muslimin—berdakwah dengan hikmah dan mauizhah hasanah. Berdakwah dengan hikmah (kearifan) dan mau'izhah hasanah (nasehat yang baik) adalah jalan dakwah yang tidak menyinggung perasaan keyakinan orang lain. Akan tetapi wajib hukumnya memperkenalkan kelebihan-kelebihan atau keistimewaan agama kita tanpa membandingkan agama lain. Setelah itu biarkanlah mereka memikirkan kata-kata kita dan merenungkan hikmahnya. Ingatlah bahwa hikmah bukan berarti Anda menyembunyikan agama Anda, melainkan buktikan bahwa Anda adalah seorang Muslim dan juga Mu'min sejati, juga sholih dan bermanfaat untuk orang lain. Tentu saja bukan Muslim namanya jika tidak sholih dan bermanfaat untuk orang lain.
Puasa dalam Islam adalah kecintaan kepada Allah dan kepada kelompok umat Islam. Didalamnya ada kasih sayang Allah sebagai keistimewaan Islam. Rasulullah saw ketika bersabda "sesungguhnya aku ini adalah rahmat yang diberi petunjuk".
Sabda tersebut bisa diartikan dengan dua hal:
Pertama, bahwa ketika Allah swt memilihnya untuk membawa risalah Islam, maka beliau secara ketokohan memang menjadi "rahmat" bagi seluruh alam. Hal itu dirasakan benar oleh kaum Muslimin yang bahagia menemani Rasulullah saw. Keberadaan baginda Nabi laksana surga, problematika yang terjadi ada jalan keluarnya, baik laki-laki maupun perempuan, baik orang badui ataupun di tengah kota yang berperadaban, berjibaku ingin bertemu dengan sang Nabi. Sebaliknya, jika mendengar berita negatif tentang Nabi, para sahabat turut berduka.
Contoh kecil, ketika perang Uhud meletus kaum Muslimin dikejutkan oleh desas-desus yang sengaja diciptakan oleh kaum Musyrikin bahwa Rasulullah telah terbunuh. Namun ketika mereka tahu bahwa Rasulullah sehat wal-afiat, hati mereka kembali tenang. Semangat mereka menyalak bagai singa di tengah gurun, sementara kaum musyrikin lari tunggang langgang menghindari pasukan Muslimin yang tiba-tiba menyerang dengan gesitnya. Episode perang di bukit Uhud diakhiri dengan kemenangan di pihak kaum Muslimin.
Allah swt menegaskan hal itu dalam firman-Nya:
Tiadalah Kami utus engkau (wahai Muhammad) kecuali sebagai rahmat untuk seluruh alam. [QS. Al-Anbiya: 107].
Secara letterlijk puasa dalam Islam juga rahmat-Nya. Orang-orang Muslim yang kaya selalu menghadapi hidangan makan yang 'wah' sepanjang hidupnya: makan tak pernah ada yang kurang, dinner yang mewah, dan kurang 'afdol' kalau tidak menghadiri pesta malam. Perutnya buncit dipenuhi makanan. Di bulan puasa mereka akan menemukan "obat"-nya kalau memang mereka tahu makna puasa dan melaksanakannya. Ada perintah yang sangat populer di telinga kita:
"Berpuasalah, niscaya kamu akan sehat".
Tentu saja kita berpuasa supaya tubuh kita sehat!
Saya pernah menemukan orang tua berumur 80 tahunan yang sampai akhir hayatnya terlihat segar bugar. Ketika saya tanya apa resep yang terbaik agar selalu sehat? Ia menjawab dengan pasti: "Resepnya ya satu, puasa. Saya puasa wajib di bulan Ramadhan, dan puasa sunnah Senin-Kamis. Sahurnya makanan ringan yang saya santap sebelum tidur jam 11 malam. Kalau berbuka cukup dengan mengikuti sunnah Nabi, yaitu satu buah kurma, buah-buahan atau sayur-sayuran hijau. Setelah itu saya sholat Maghrib. Sekitar jam 8 malam barulah saya santap hidangan seadanya. Lalu jalan-jalan sedikit dan mengakhiri hari dengan membaca al-Quran".
Okelah. Itu barangkali salah satu titik kecil dari berbagai macam hikmah puasa. Kita juga tahu mengapa kita tidak diperbolehkan mengkonsumsi makanan di bulan Ramadhan. Tapi mengapa Allah swt juga mengharamkan kita minum?
Yang kita ketahui bahwa air adalah untuk minum, tak ada beda untuk apa dan untuk siapa. Ada air, semua bisa minum. Dan kalau tak ada air, semua kehausan.
Yang menjadi pertanyaan, sekali lagi, mengapa Allah swt dan Rasul-Nya mengharamkan minum?
Saya mendapatkan jawabannya ketika salah dosen sejarah saya (Dr. Husein Mu'nis) pergi ke Republik Mali, negara Afrika yang sangat minim air dan bergurun-gurun. Ditemani sohibnya, dosen saya itu turun dari kendaraannya dan menyaksikan banyak tulang belulang manusia yang mati karena kehausan. Di dalam kendaraan beliau juga melihat empat ekor sapi yang tampak 'berbaring' tak bisa bergerak. Dr. Husein menanyakan ada apa dengan sapi-sapi itu, temannya yang memegang stir, menjawab bahwa sapi itu tidak minum selama beberapa hari. Dr. Husen meminta turun supaya bisa memberinya air. "Terlambat", katanya. Sapi-sapi itu mati sia-sia. Ya Allah.
Kalau hewan merasakan haus dan lapar, manusia –yang diberi akal yang sempurna-- dapat mencari tahu, karena binatang-binatang itu tidak diberikan nikmatnya berbicara dan berkomunikasi dengan bahasa manusia. Kalau ia kehausan sampai pada tahap tertentu, ia hanya bisa duduk-duduk seperti itu, lantas sekarat dan mati. Kalau kita bisa menolongnya dengan memberikan sedikit air, barangkali kesehatannya bisa pulih kembali. Tapi kerongkongan dan perut hewan itu sudah mengering, tinggal ia meregang nyawa dalam kesunyian. Tidak ada yang memahami hakekat penderitaan kaum binatang itu melainkan Allah yang Maha Tahu.
Tak perlu seorang dosen yang "syekh" itu menangisi penyesalannya karena terlambat menolong binatang yang malang. Manusia yang memiliki nurani, sudah pasti, menjerit pilu.
Nah, dari sini kita temukan suatu kesimpulan: begitulah Allah memerintahkan kita 'puasa' minum air.
Allah Maha mengetahui bahwa di permukaan bumi ini banyak bangsa yang kekurangan air, kehausan, mati kekeringan, pohon-pohon meranggas, bumi mengering, binatang tersiksa, dan mati dengan diam, hanya Allah yang Tahu.
Kita hidup di tengah bangsa-bangsa yang banyak menderita kekeringan dan kelaparan. Kita menghadapi banyak fenomena di masa kekeringan yang merusakkan banyak negara di dunia. Ribuan hewan dan bahkan manusia mati di depan mata kita sendiri, sementara di sekitar kita banyak umat Islam yang kaya raya. Di dunia ini juga bermunculan akademi-akademi yang membahas tentang kekeringan dan mencari jalan keluar. Pada KTT Organisasi Dunia Islam (ke-3) yang diselenggarakan di Thaif, kita dihadapkan pada masalah kekeringan yang melanda pesisir Afrika. Yang saya maksud dengan "pesisir" di sini adalah lautan pasir. Di laut inilah terdapat dua pantai yang benar-benar kering. Pantai pertama yaitu pantai yang membentang sepertiga selatan dari Muritania, Mali, Chad, dan Sudan. Pantai kedua yaitu pantai wilayah pesisir utara Tunis Selatan.
Menyaksikan penderitaan negara-negara miskin ini, negara-negara Islam, termasuk Saudi Arabia, merasa perlu untuk memberi bantuan keuangan dan pengiriman teknokrat untuk melacak keberadaan sumur, membentuk dinas perairan, serta pembuatan sumur-sumur buatan di negeri-negara tersebut.
Di negara-negara maju banyak sekali perguruan tinggi atau akademi yang khusus mengkaji hydrologi. Juga di negara kita banyak yang membincang hydrologi, namun terkadang menjadi NATO, alias No Action Talk Only.
Saudi Arabia memang terkesan loyal terhadap negara-negara sekeyakinan. Jika negara-negara Barat gembar-gembor di media massa tentang rencana pengiriman bantuan finansial (hutang) kepada sejumlah negara yang terkena dampak Tsunami, Saudi Arabia justeru yang mengawalinya (didampingi Kuwait) tanpa sesumbar dan pemberitaan yang berarti. Di lain pihak, hingga saat ini bantuan dari Barat itu belum juga cair.
Semoga Allah memberkahi kebaikan negara kaya minyak itu.
Di bulan puasa ini kepekaan kita kembali diasah untuk menyantuni mereka yang membutuhkan dan merekatkan kembali ukhuwah keislaman kita yang selalu berpencar.
# Taufik Munir