Aku harus bersikap demikian. Sebab terlalu riskan, terlalu menghebohkan, dan malah hanya akan menyusahkan semuanya saja bila melibatkan keluargaku. Butet akan menangis dan takkan mau beranjak dari sisiku, berarti dia tak bisa sekolah, ikut nelangsa. Haekal juga akan meninggalkan kuliahnya, pekerjaannya, dan mungkin terpaksa mengabaikan istrinya. Hanya untuk mengurusku?
Suatu kali pernah kejadian seperti begini. Haekal malah melibatkan istrinya, Seli dan orang tuanya. Seli dan ayahnya sibuk membawakan segala keperluan opname, malam-malam datang ke UGD. Sudah menyita perhatian, tenaga dan pikiran, mereka pun menawarkan sejumlah uang untuk membantuku.
Aduuuh, aku jadi sangat malu diri!
Tidak, biarlah begini saja, kesahku menelan segala pilu di hati. Tapi manakala kepiluan itu sudah mencapai ubun-ubun, hingga aku takut menjadi munafik dan menyumpah-serapahi segalanya yang kurasai sebagai beban deritaku… Kliik!
“Mbak Retno, mohon doanya, doanya, doanya,” erangku melalui es-em-es kepada murobiyahku tersayang.
Ya Robb, betapa hamba begini daif!
Dalam sekejap balasan es-em-es bernada menyemangati, doa-doa dari saudari-saudariku di liqoh pun berhamburan masuk melalui ponselku. Mbak Retno memberikan satu-dua ayat penyemangat, mengingatkan kita tentang kesabaran, ketawakalan dan istiqomah. Mbak Ifat menawarkan bantuan. Mbak Dewi, Mbak Sari, Mbak Melia, Mbak… semuanya saja, oh, mereka sama mendoakanku!
Bahkan Helvy Tiana Rosa dan Asma Nadia tiap beberapa jam menanyai kondisiku. Sesungguhnya mereka menanyai keberadaanku, tetapi aku tidak mengungkapkannya. Yang kuminta hanyalah doa, doa, doa… dan doa!
Sepanjang malam itu aku memang merasa ditemani, diberi semangat dari berbagai pelosok dunia. Satu es-em-es yang kulayangkan kepada satu orang, begitu cepat menyebar… Keajaiban era globalisasi!
“Titaq nangis membayangkan mbakku sayang terbaring sendirian. Duh, kalau saja mampu, Taq pasti terbang menemani Teteh,” Muttaqwiati, penulis produktif dari Brebes, dan salah satu daiyah yang sering kujadikan tumpahan curhatku.
“Kami doakan Teteh senantiasa tabah, diberi kekuatan oleh Allah Swt,” Mukhlis Rais, Taufik Munir dan Saiful Bahri dari Kairo.
“Teteh lagi ditransfusi sendirian, ya? Saya hanya bisa melayangkan doa, ya Teteh sayang,” Yudith Fabiola di Singapura.
“Kami percaya, Teteh akan sanggup bangkit, sebab Teteh seorang yang tegar!” Nindya di Negeri Sakura.
“Tabah dan tawakal, ya teteh sayang,” Yayuk, Novianti dan Sisca dari Bengkulu.
Aku tahu, mata hatiku masih bisa menatap warna pelangi, langit jingga yang meliputi batinku, jiwaku… Menerobos kungkungan ruang serba steril ini!
Kekuatan itu, di sana, berhasil kugapai kembali!
Alhamdulillah, terima kasih, ya Robb…
Ternyata begitu banyak orang yang memperhatikan, menyayangi dan mendoakan diri yang lemah ini. Aku tak pernah sendiri!
Saat-saat itulah aku punya kesempatan untuk merehatkan tubuh, sementara darah menetes melalui selang transfusi. Aku berusaha untuk tidak memikirkan apapun lagi selain diriku sendiri. Doa, zikrullah, hanya itu yang bisa membuatku kembali bangkit dan bersemangat.
Dan memang inilah hak itu!
Tubuh ini, badan ini… dia pun punya hak. Semua bisa menuntut haknya, tetapi kita memang harus memilah-milah mana yang harus diprioritaskan, ditunda atau bahkan ditolak.
Ketika keesokan paginya slang transfusi telah dilepas, dokter memperbolehkanku pulang, aku tidak langsung mencari kendaraan. Mampir di mushola rumah sakit, tak jauh dari kamar jenazah. Kudirikan sholat dhuha, dan lama aku tepekur di ruang yang hening itu.
Ada suatu rasa, suatu kepasrahan yang berbanding lurus dengan semangat baru, ghirah dan tekad baru. Namun, kutahu itu berbaur pula dengan demam, meriang yang meruyak sebagai reaksi darah asing bergolak dalam tubuhku. Tidak, aku tak boleh membiarkannya melemahkan diriku kembali!
Ponselku berbunyi, kulirik nomernya dari Butet.
“Mamaaa…! Masih di Cimahi, ya?” serunya terdengar riang.
“Butet lagi di mana?”
“Di sekolah atuh… Mama kapan pulangnya?”
“Eeee… ini juga mo pulang kok.”
“Emang ada apa sih mendadak ke Cimahi? Oma sakit, ya?”
“Eee…, nggak, Oma sehat-sehat saja. Sudah, ya, Mama mo pulang nih! Butet minta dibeliin apa?”
“Gak usah deh, Mama pulang selamat aja… Mmmuuah!”
Aku tercenung. Orang di rumah mengiraku pergi ke Cimahi. Masih mujur, tak ada yang menelepon langsung ke Cimahi.
Maafkan Mama sudah dusta, Butet. Mama tak mau kalian heboh gara-gara penyakit Mama.
Penyakit abadi yang Tuhan berikan ini, thallassaemia ini…
Ternyata telah begitu banyak melimpahiku warna pelangi, langit jingga di hatiku. Kepenulisan, profesi, saudara-saudara, teman, karya, kreativitas, kebahagiaan, kepedihan, perjuangan, dukacita dan… banyak hal!
Aku selalu berharap penyakitku takkan dijadikan alasan suamiku untuk berpoligami. Aku telah mempersembahkan dua orang anak yang sehat, enerjik, kreatif dan pintar-pintar.
Dan aku telah membuktikan kepada dunia; seandainya tidak thallassaemia kemungkinan sekali aku malah takkan pernah menjadi seorang penulis!
Menulis ternyata juga merupakan terapi yang sangat, sangat… pas!
Inilah hidupku yang dianugerahkan Tuhan kepadaku. Kusebut ini sebagai lautan pelangiku, langit jingga, meskipun itu hanya dalam hatiku. Aku masih ingin menulis, menulis, menulis hingga ajal menjemputku suatu hari nanti…
Sumber: http://pipietsenja.multiply.com/journal?&=&page_start=200