Upaya Memahami Wahyu
(Perspektif Filsuf dan Pemikir Muslim)
Oleh: Taufiq Munir*)
Pendahuluan
Filsafat dalam maknanya yang global ialah pencarian hikmah atau kebenaran berdasarkan logika. Namun al-Quran sebagai wahyu Tuhan yang kebenarannya absolut sudah barang tentu tidak perlu lagi menuntut "kebenaran plus” yang dicari oleh para filsuf yang lebih banyak mendewakan akal.
Dalam hal ini ada ulama bersitegang mempertahankan argumentasinya masing-masing: apakah akal (baca:logika) mampu menyingkap kebenaran atas wahyu atau justru biarlah logika saja yang tafwid (bertekuk lutut) dalam kebenaran wahyu?
Di sini Penulis ingin mendeskripsikan sekilas pandangan para ulama dalam menyikapi akal dan wahyu dalam konteks filsafat Islam, konflik antara keduanya, serta sedikit interpretasi ayat dalam perspektif Filsuf Muslim.
Agama dan Filsafat
Berbicara tentang filsafat dan kaitannya dengan agama tidak terlepas dari fungsi filsafat itu sendiri,. Filsafat, klta EA Burt dalam bukunya In search of Philoshophic Understanding, ia menulis :
“hiloshophy is of the greatest liberator of man. It save him from olly, prejudice, and confusion, it guides himn into richer and more stable world . without philosophy, man’s life and thought are in bondage to dark force from which, with it, he can become free.but to achive this liberation it must at times appear picayun, at times even fanciful , to thos who are not pilosopher.”
Isu filsafat sudah lama didengungkan di berbagai forum ilmiyah an non ilmiyah sejak berabad-abad lamanya dan juga hubungannya dengan agama. Bahkan isu itu merebak bukan hanya pada kelompok masyarakat awam pada masa itu melainkan juga pada sebagian para cendikia yang berkecimpung dalam masalah-masalah peradaban dan intelektual. Keadaan seperti ini membuat Plato berkesimpulan tegas bahwa bahwa masyarakat sudah dihinggapi anggapan bahwa filsafat itu ma yanfasy kholis… Prejudice itu semakin merebak bahkan sering dikaitkan dengan sifat dungu dan identik dengan atheisme, atau filsafat adalah "agamanya manusia yang tak beragama". Para Filsuf sendiri dituding “sebagai orang yang mencari kucing hitam di ruangan yang gelap gulita”.
Bahkan mantiq yang diklaim sebagai muqaddimah lil-filsafah (pintu gerbang ilmu filsafat) dan salah satu cabang ilmu dalam filsfat tak luput dari tuduhan keji tersebut: barang siapa bermantiq, niscayaia zindiq”, kata mereka. Muhammad Abduh, salah seorang Pembaharu Pemikiran Islam terkemuka di Mesir dicecar orang tuanya ketika baru mulai belajar mantiq. Sang orang tua merasa perlu mendatangi Muhammad Abduh di Kairo jam 3 dini hari hanya karena ketakutannya yang berlebihan sang anak kesambet ilmu hitam. Pengakuan Muhammad Abduh terungkap setelah ia membeberkan kisahnya di harian al-Ahram tahun 1877. Di kalangan awam juga beredar isu bahwa filsafat itu hanya kamuflase dan sesuatu yang misterius, tak ada cara untuk memahami term-term filsafat. Filsafat tak ada gunanya dipelajari, menekuni mantiq juga dianggap sebagai upaya sia-sia dan tidak mempunyai dampak positif sedikitpun bagi ilmu pengetahuan, terlebih dalam dimensi spiritual ataupun lainnya. Namun yang lebih aneh, setiap orang berbicara yang sulit dicerna pemikiran atau substansi pembicaraannya selalu dianggap “berfilsafat”.
Hal itu membuat seorang sarjana Barat Aspeld Olbe berkomentar lebih jauh: ”suara sumbang yang kami dengar sekarang ini semakin menggema seolah mereka mendekati puncak filsafat atau berasumsi bahwa filsafat adalah puncak persoalan yang paling sempurna. Hal itu dikarenkan pemahaman yang dangkal terhadap makna dan misi filsafat itu sendiri yang pernah menjadi mercusuar pada abad-abad lampau. Barangkali Aspeld benar, sebab sebagai analisa kita banyak menjumpai ungkapan yang mencantumkan kata “filsafat” dalam kehidupan sehari-hari untuk mengekspresikan tujuannya secara umum, kendati antipati terhadap filsafat sudah sedemikian mengkristal. Misalnya kita dengar ungkapan “filsafat hidup saya”, atau “falsafah langkah saya dalam meraih sukses”, dan sebagainya. Rupanya banyak yang merasa puas dengan ungkapannya bila dibubuhi kosakata “filsafat” atau “filsafat” agar terkesan wah.
Maka wajar jika Dr. Mahmud Hamdi Zaqzuq, profesor jebolan Prancis yang sekarang menjabat guru besar di Universitas al-Azhar sekaligus menteri agama Mesir juga merasa “gerah”. Lantas, ia memberikan beberapa alasan mengapa hal itu bisa terjadi. Pertama, kehilangan batasan yang detail dan pandangan yang jelas terhadap makna filsafat di benak kita. Kedua, ada kecenderungan pengklaiman hukum secara mutlak (verdiction) atas berbagai faham-faham filafat dan penggeneralisasian klaimnya tersebut terhadap filsafat tertentu yang dianggapnya sebagai “filsafat”.
Filsafat sebagai naluri insani
Sebenarnya filsafat ialah, fenomena umum manusia, sebagai satu-satunya makhluk yang memiliki daya fikir filsafat. Pemikiran filosofis –sebagaimana anggapan banyak orang – bukanlah semata-mata monopoli kaum filsusuf zaman Yunani kuno, filsuf modern atau para intelektual yang menekuni filsafat. Manusia sebagaiman sifatnya memiliki kelebihan yang sangat spesifik dibandingkan dengan makhluk Allah lainnya. Dengan akal yang dianugerahkan-Nya, manusia mampu berpikir dan membedakan mana yang baik dan yang buruk, mana yang mencelakakan jiwa dan yang membahagiakannya.”berfilsafat” dengan makna yang paling sederhana bukanlah selain dari fungsi manusia untuk menggunakan akalnya untuk kemaslahatan hidupnya sendiri. Binatang melihat dan mendengar, bahkan mampu mengingat sesuatu tapi tidak mampu menggunakan kapasitasnya (akal) kecuali keperluannya secara temporal. Sedangkan manusia melihat fenomena alam (dengan beraneka ragam corak dan keindahannya) mampu merefleksikan tashawwur (imajinasi)-nya dengan menghasilkan persepsi (ra’y) yang kemudian berproses menjadi keputusan atau interpretasi individualistik (ijtihad) dalam mengeksplorasi hukum kausalitas (illat) dan hubungannya antara hakekat semesta dengan fenomena alam itu sendiri. Jika itu terjadi, dengan sendirinya ia sudah berfilsafat. Oleh karenanya tak ada seorangpun di dunia ini yang tidak berfilsafat, atau setidaknya kita memiliki saat-saat di mana kita menjadi seorang filsuf yang mampu melihat sesuatu dengan mata filosofis, merenung, berkontemplasi dan berupaya mencapai satu masalah hingga detail-detailnya. Filsafat tak lain ialah sebagai upaya untuk mencari nalar manusia seperti itu.
Akal manusia satu cahaya dari sekian banyak cahaya, cahaya Allah atau sebagaimana yang dikatakan Ghazali: salah satu anmuzij (model) cahaya Allah, dengan cahaya itu akal berupaya menyingkap "ada" yang telah diketahui untuk kemudian terus mencari "ada-ada" yang lain, untuk selanjutnya berusaha mengetahui ketentuan, esensi dan sekali lagi menanjak dari satu kausalitas kepada kausalitas yang lain hingga pada target akhir yaitu "sebab". Dan sebab ini menjadi “sebab pertama” dimana ia menjadi barometer bagi segala sesuatu. Kemudian, akal kembali merenungkan lagi semesta ini dari pertama untuk menghasilkan gambaran yang lebih jelas dan memberikan penafsiran “menjodohkan" sesuatu 'ada'-nya dengan sesuatu yang di luar 'ada' secara harmoni.
Oleh karenanya, jelaslah sudah, bahwa bagaimanapun sinisme seseorang terhadap filsafat, atau siapapun yang meragukan manfaat dan nila-nilai filsafat, atau apapun upayanya untuk menjauhkan orang-orang dari ajaran filsafat, kita semua --siapapun orangnya,-- baik kalangan terpelajar atupun orang awam-pasti berfilsafat, tentu saja dengan kadarnya yang berbeda-beda. Meskipun begitu tak semua orang ingin menyebut dirinya berfilsafat. Filsafat juga bukan benda jadi-jadian dalam diri manusia. Sebab dalam kehidupannya, manusia memiliki halaqah-halaqah yang paralel dengan “pikir” dan “renung”. Dengan demikian, jelas filsafat bukan benalu dalam masyarakat, malainkan fenomena atau manifestasi kemanusiaan yang wajar dan tak bisa dihindarkan sejalan dengan eksistensinya sebagai menusia. Dan fenomena ini tak mungkin bisa hilang dalam kehidupan selama masih ada makhluk bernama manusia.
Lalu halnya orang-orang yang menentang filsafat.
Bagaimana mereka ini? Sebenarnya mereka dengan sendirinya berfilsafat, mengapa demikian? Orang menentang, kontra, atau menggugat filsafat diibaratkan orang yang menemukan tanah yang kokoh untuk berdiri lalu melepaskan busur panah tepat pada “sasarannya” (yaitu: filsafat). Artinya, ia berupaya membangun pandangan yang kontradiktif agar dapat membangun argumentasi dengan logis bersandarkan fondasi yang solid. Dan ini artinya dia sudah berfilsafat. Kesimpulan yang kebeberapa kalinya, mengapa manusia tidak bisa melepaskan diri dari filsafat: karena filsafat bukan sekedar studi teoritis di luar jangkauan aktivitas sehari-hari. Kendati filsafat merupakan kewajiban hidup manusia, berati semua orang (yang berfilsafat) mesti jadi filsuf sebab secara terminologis tentu saja berfilsafat baca: aktifitas berpikir) dan filsuf itu berlainan makna. Seorang filsuf bukanlah seorang yang hanya “memulai” untuk berfilsafat, melainkan orang yang secara intens dan tak henti-hentinya melakukan aktifitas berfikir. Jadi sama sekali bukan hanya sekedar berfikir yang ditekuni seseorang dalam kehidupannya secara alami atau karena kebutuhannya secara temporal, melainkan ia mampu ‘mengeledah’ konklusi dari fikirannya yang biasa itu dalam mencapai satu kejelasan yang sempurna pada saat substansi pemikiran yang biasa itu menjadi sesuatu yang bisa diyakini (kebenarannya). Dengan demikian kita dapat menyimpulkan bahwa tingkat pemikiran manusia itu terbagi dua. Pertama, yaitu tingkat pemikiran biasa (normal) yang merepresentasikan manusia untuk disetir agar merenungkan persoalan hidupnya secara aktual, mengatasi persoalan hidup yang berjalan dinamis: masalah hidup, interaksi dan hubungannya dengan orang lain.
Tingkat pemikiran pertama ini membutuhkan lagi tingkatan selanjutnya (kedua) yaitu yang biasa disebut dengan filsafat khusus yang mempresentasikan kolektivitas prinsif-prinsif dan keyakinan-keyakinan bagaimana manusia memandang hidup dan segala sesuatunya, juga mengaktualisasikan sendi-sendi atau kaidah yang ia pegang dalam berperilaku dan berinteraksi dengan sesama, penilaian manusia terhadap orang lain dan segala sesuatunya. Dalam beberapa kasus, sebagian besar orang berhenti pada taraf kedua ini.
Namun sebenarnya masih ada lagi taraf yang lebih penting, yaitu taraf ketiga. Pada tahap ini kita dituntut untuk mencari orisinalitas teori prinsip dan keyakinan-keyakinan itu untuk mencapai fundamen dan metode-metode teori yang jadi pegangan. Dengan tarap pemikiran ketiga seperti ini manusia bisa dibayangkan menjadi sosok pencari filsafat sejati.
Hubungan Agama dan Filsafat
Pada prinsipnya tak ada benturan yang berarti antara agama dan filsafat. karena kita lihat memang tidak ada perbedaan tujuan yang hendak dicapai agama dan filsafat itu. Sebab tujuan filsafat ialah mengetahui asal muasal ada, tujuan ada-nya serta mengetahui cara hidup bahagia di dunia maupun di akherat. Jika ini objek dan tujuan filsafat dengan pembagian-pembagiannya tersendiri (dalam batasan teoritas dan praktis), begitupula dengan dua tema sentral agama baik yang bersifat ushuli ataupun furu’i seluruhnya, bahkan analisa-analisa para cendekiawan Islam klasik menyimpulkan bahwa pemikiran filsafat telah tumbuh dan berkembang dalam pangkuan agama. Sudah sejak lama terbukti agama dan filsafat berhubungan dengan erat: pemikiran filsafat berbaur dengan pemikiran agama. Bahkan ada pepatah Arab mengatakan: “Filsafat ialah tanaman agama dan filsafat induk pengetahuan”. Hanya saja medium untuk mencapai tujuan tadi berbeda-beda. Media filsfat ialah akal, sedang perantara agama ialah wahyu. Seiring dengan perbedaan tersebut akal dalam filsafat terkadang tampak seperti satu sisi dari gambaran atau suatu substansi. Dsan itu membuahkan interpretasi adanya pelbnagai aliran filsfat untuk menafsirkan realitas yang pada dasarnya mutlak satu realitas.
Sebagai pengetahuan humanis, bisa saja ilmu filsafat sangat toleran dengan klaim salah atau benar. Tapi pengetahuan agama yang bersandarakan wahyu yang sangat diyakini kebenarannya adalah pengetahuan ma’shum dari kekeliruan. Kebenaran wahyu secara sempurna dan absolut itu sendiri tanpa harus ada upaya akal untuk menguak kebenarannya. Kebenaran wahyu secara sempurna dan absolut itu sendiri tanpa harus ada upaya akal untuk menguak kebenarannya. Doktrin-doktrin keagamaan dipandang sebagai kebenaran absolut, tapi bersamaan dengan itu pula pokok-pokok I’tiqad itu sendiri aqliyyah, yaitu al-Quran secara terbuka boleh diinterpretasi sedemikian rupa. Seperti yang dikemukakan Muhammad Abduh, ada beberapa masalah agama yang tk mungkin bisa diprecayta kecuali dengan perantara akal. Contohnya adalah mengetahui wujud Allah, ditusunya Rasul, mengetahui makna/maksud risalah dan mempercayinya. Berdasarkan konsensus para ulama, jika agama didatangkan dengan sesuatu di atas pemahaman, maka tak mungkin didatangkan dengan sesuatu yang mustahil menurut akal. Dan ini, menegaskan sekali lagi bahwa antara agama dan filsafat masing-masing saling mengayomi. Pengetahuan akal tidak mungkin akan kontradiktif dengan pemahaman agama yang dibangun berdasarkan wahyu ilahi. Untuk itu Ghazali dalam bukunya mengatakan:
“Akal itu laksana pondasi, dan agama bagai bangunannya. Bangunan tak mungkin bisa berdiri selama tak ada pondasi. Agama adalah rasio eksternal, sedang rasio adalah agama internal. Keduanya berbeda, tapi sama”. Kesimpulannya, filsafat memiliki hubungan sangat erat dengan agama. Akal mempunyai tugas penting yaitu: pertama, membimbing wahyu dan mempercayai nubuwwah. Kedua, mengamalkan pengetahuan yang diwahyukan, serta memahaminya.
Sikap Umat Islam terhadap Pemikiran Filosofis.
Sejak berabad-abad lamanya, filsafat memiliki definisi yang beraneka ragam. Ada yang komprehensif, namun ada juga yang menekankan beberapa segi saja. Tapi pada prinsifnya masing-masing saling melengkapi dan bermuara pada objek kajian filsafat: Tuhan, alam, dan manusia. Selama manusia masih berada di jagad raya ini, maka dia harus mengetahui posisinya, hubungannya dengan alam dan isinya, serta hubungannya dengan Sang Pencipta.
Islam sangat peduli dengan akal dan menempatkannya pada situasi yang sangat selaras, hingga mampu melaksanakan perannya secara sempurna di dunia. islam juga menolak taqlid buta, menentang TBC (Takabbur, Bid’ah dan Churafat), menanamkan sikap optimisme di hati umat-Nya, membebaskannya dari rasa takut akan sesama, menyatakan tanggungjawab individu, dan semuanya dalam rangka pengantar jalan di hadapan akal manusia agar memfungsikan perannya yang memang tercipta untuk itu. Banyak sekali ayat secara eksplisit dan implisit mengajak kita untuk melihat, berfikir, dan merenung, mendorong akal agar berfungsi sebagaimana mestinya yakni berfikir yang dianggap sebagai hak alamiah bagi manusia dan insting naluriah sebagaima haknya untuk hidup. Dengan demikian memproteksi akal agar mampu melaksanakan tugas-tugas yang disyariatkan (khomsah maqashid al syar’iyyah) sama halnya dengan menjaga hidup itu sendiri. Dan al-Quran mencela orang-orang yang tidak menggunakan akal pikirannya dan membutakan akal indera dan akalnya untuk memperoleh pengetahuan.
Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahanam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai. (QS. Al-A’raf:179).
Karena itu, menon-aktifkan fungsi akal dalam pandangan Islam dianggap sebagai dosa besar yang menjerumuskannya ke dalam neraka pada hari Kiamat.
Dan mereka berkata: "Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala". (QS. Al-Mulk:10).
Mereka mengakui dosa mereka. Maka kebinasaanlah bagi penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala. (QS. Al-Mulk:11).
Ajakan berfikir itu secara runtut dan berulang-ulang disebutkan dalam al-Quran:
Katakanlah: "Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi. Tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman". (QS. Yunus:101).
Dan mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri mereka? Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya melainkan dengan (tujuan) yang benar dan waktu yang ditentukan. Dan sesungguhnya kebanyakan di antara manusia benar-benar ingkar akan pertemuan dengan Tuhannya. (QS. Al-Ruum:8).
….dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan? (QS. Adz-Dzariyat: 21).
Bahkan ibnu Rusyd berfatwa bahwa berfikir dan mengambil pelajaran hukumnya wajib menurut syara’ berdasarkan perintah Allah swt:
Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai wawasan.(QS. Al-Hasyr:2).
Dan firman-Nya:
Dan apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan segala sesuatu yang diciptakan Allah, dan kemungkinan telah dekatnya kebinasaan mereka? Maka kepada berita manakah lagi mereka akan beriman sesudah Al Quran itu? (QS. Al-A’raf:185).
Jika menggunakan akal itu sebagai kewajiban umat Islam, maka dari sisi lain aktifitas berfikir juga dianggap sebagai tanggungjawab yang tak bisa dihindari dan akan diperhitungkan berdasarkan prestasinya: baik atau buruk dalam menggunakan fikirannya tersebut sebagaimana anggota badan yang lain. Seperti dalam firman-Nya:
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. (QS. Al-Israa:36).
Al-Quran banyak menggunakan tamsil-tamsil yang membantu akan memainkan perannya. Diantara tamsil-tamsil tersebut terdapat pada: pertama, Al-Quran menampilkan para pembangkang yang kemudian diikuti oleh jawaban mereka sebagai argumentasinya. Sanggahan mereka yang berdasar pada logika dan metode berfikir yang sehat. Dalam al-Quran disebutkan pandangan kaum penyembah berhala, kaum materialisme, atheisme, dan orang-orang hipokrit (munafiq) dan langsung disertai argumentasi logis dan dalil yang kuat.
Orang-orang kafir itu misalnya, ketika mengingkari hari kebangkitan (dari alam kubur), mereka tidak mempercayainya. Alasan mereka tertuang dalam al-Quran:
Dan mereka berkata: "Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang akan membinasakan kita selain masa", …
Al-Quran mengakhiri dengan jawaban:
dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja. (QS. Al-Jaatsiyah: 24).
Al-Quran dengan jelas membedakan antara zonn (praduga) dan ilmu yang erat kaitan ya dengan pembuktian secara ilmiah. Hal ini mengingatkan kita agar membedah hukum itu diperkuat dengan sumber aslinya. Dengan demikian ayat di atas mengajarkan seruan pada kritik tematis.
Al-Quran mengancam atas pengklaiman sesuatu berdasarkan hal yang tidak diketahui (menduga-duga atau mengarang), agar tidak terjerumus pada kerancuan dan kontradiksi.
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. (QS. Al-Israa:36).
Bukti lainnya, ketika kaum kafir mengira malaikat itu berjenis kelamin perempuan, al-Quran menengahi:
Dan mereka menjadikan malaikat-malaikat yang mereka itu adalah hamba-hamba Allah Yang Maha Pemurah sebagai orang-orang perempuan. Apakah mereka menyaksikan penciptaan malaikat-malaikat itu? Kelak akan dituliskan persaksian mereka dan mereka akan dimintai pertanggungjawaban. (QS. Az-Zukhruf: 19).
Al-Quran seolah mengatakan: ide yang engkau perkirakan itu jika memang benar maka tentunya berdasarkan mulahazoh dan musyahadah (survei dan penelitian) sebagaio mediator ilmu pengetahuan dan sains yang acceptable.
Kedua, al-Quran juga menyuguhkan kisah Ibrahim alaihissalam bersama kaumnya sekaligus dialog antara Nabi Ibrahim as dan kaumnya tentang teologi (uluhiyah) secara rasional (logis) dengan amat fantastis. Dialog-dialog tersebut sangat kental dengan nuansa permainan logika (adillah ‘aqliyyah) dengan format hirarkis dan tasalsus mantiqi yang amat menarik, menggiring akal kita untuk menyingkap konklusi, yaitu keyakinan seperti seruan al-Quran:
Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) di langit dan bumi dan (Kami memperlihatkannya) agar dia termasuk orang yang yakin.(QS. Al-An’am: 75).
Dalam pengembaraannya mencari Tuhan, Ibrahim alaihissalam mengunakan kaidah mantiq dalam argumentasinya:
Ketika malam telah gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: "Inilah Tuhanku", tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata: "Saya tidak suka kepada yang tenggelam." (QS. Al-An’am: 76).
Statemen Ibrahim alaihissalam itu sesuai dengan silogisme (tepatnya qiyas syakal pertama yang muqaddimah pertamanya dibuang) yaitu seni berfikir ciptaan Aristotelles yang selanjutnya menjai acuan filsuf-filsuf Muslim sesudahnya. Komposisinya terdiri dari premis umum dan premis khusus yang menghasilkan konklusi, seperti sebagai berikut: Bintang ini berubah (premis minor). Setiap yang berubah bukanlah Tuhan (premis mayor). Bintang ini bukan Tuhan (konklusi).
Filsafat dan Agama: Konflik tanpa Akhir
Konflik antara agama dan filsafat berlangsung sejak lama, hampir sejak lahirnya filsafat itu sendiri. Dr Taufik Al Thawil, salah seorang pemikir Muslim kenamaan Mesir pernah menulis sebuah buku berjudul Qissah al Niza’ baina al Din wa al Falsafah. Dalam bukunya tersebut beliau berpendapat perseteruan antara akal dan iman tidak akan pernah terjadi kecuali jika terdapat dua hal yang saling berkaitan: Pertama, para pemuka agama (tokoh-tokoh teologi) yang memiliki otoritas keagamaan berusaha menindas akal dan para pemikir (tokohnya). Kedua, akal secara pragmatis berusaha menerobos “wilayah haram” yang diklaim para pemuka agama tersebut. Tanpa kedua faktor di atas, konflik atau perseteruan antara akal dan iman tidak akan terjadi. Perseteruan klasik antara agama dan filsafat atau ilmu secara umum tak ada tempatnya dalam diskursus Islam. Barangkali yang penulis anggap benar ialah bahwasanya kontradiksi akal-wahyu atau agama-filsafat itu memang pernah merajalela dalam ajaran Kristen yang di abad pertengahan. Penyebabnya sederhaa, konsep Kristen bertentangan dengan hukum akal. Konflik akal-wahyu itu semakin diperbesar setelah gereja menyikapinya dengan menyiksa dan menghabisi para ilmuwan di semua tempat dan menginterogasi bagi siapa saja yang terlibat mendewakan akal atau ilmu pengetahuan. Pembantaian kaum ilmuwan itu dilakukan hanya karena mereka menyuarakan ilmu pengetahuan dan bertentangan dengan gereja yang tak lain adalah “agama” itu sendiri.
Kisah konflik agama-filsafat mengingatkan kita atas klaim filsafat sebagai sikap kaum atheis atau “agama orang yang tak beragama”. Namun lebih jaun Francis Bacon, seorang pencetus logika kontemporer memberi reaksi atas tuduhan tersebut dan mengatakan: “sedikit saja filsafat bisa mendorong akal seseorang pada kekufuran, namun (sebaliknya)_ menekuni filsafat dapat menyebabkan pemikiran seseorang pada keimanan….” Semakin jelas bahwa konsep yang dituangkan oleh para ilmuwan menambah pemahaman yang melengkapi khasanah keislaman kita bahwa klaim kekufuran itu tidak bisa dibenarkan, malah sebaliknya: filsafat mendorong manusia untuk beriman. Semakin banyak berfikir, manusia akan semakin menemukan Tuhannya. Supercifial, kedangkalan pengetahuan dan kepicikan berfikir serta melihat sesuatu secara material-empiris itulah yang memungkinkan orang bisa merubah pendirian menjadi takabur (kufur). Formula filsafat Descartes (1641) juga mengisyaratkan kebenaran tesis Francis Bacon tersebut. Cogito, ergo sum. Saya berfikir, maka saya ada, katanya. Mengakui eksistensi dirinya, berarti ia mengakui adanya Tuhan.
Filsafat Yunani: Membaca Sikap Filsuf Muslim.
Pada dasarnya tak ada satupun filsafat yang mengaku “dirinya” satu-satunya filsafat dan absolut. Berbagai macam aliran filsafat kadang-kadang mendekati atau justeru jauh dari kenyataan (realitas). Tetapi tak disangsikan lagi masing-masing dalam beberapa segi konstruksi filsafat adalah bangunan yang saling menopang dari satu generasi ke generasi lain, dan aliran filsafat baru dapat membina jalan bagi (tokoh-tokoh) filsafat sesudahnya. Sebagai bukti, Abu Bakar al Razi pernah berkata:
Ketahuilah, jika semua filsuf kontemporer memusatkan pikirannya pada filsafat dan terus menerus melakukannya utnuk kemudian berijtihad dan mengkaji setiap permasalahan yang diperselisihkan secara detail dan sulit, niscaya ia akan dengan sendirinya mengetahui tokoh-tokoh klasik, mampu ia hapal, mengakui intelegensia, karya-karya dan persepsi-persepsinya tentang segala hal. Karena filsuf modern memetik pengetahuan dari tokoh-tokoh klasik dan mencari manfaat-manfaat lain dan mencari kelebihan-kelebihannya karena riset, analisa dan ijtihad meniscayakan nilai lebih dan keistimewaan. Jika demikian halnya, filsafat Yunani yang kemudian diperoleh kaum Muslimin tak selamanya bisa dianggap benar tapi harus diletakkan dalam kerangka yang benar yakni dalam sudut pandang yang sesuai dengan situasi dan masanya. Dalam sudut lain, harus dilihat juga nilai dan takarannya dalam kerangka era saat mereka hidup. Mungkin benar jika pada masa-masa tertentu filsafat itu mengalami kegemilangan dalam dunia pemikiran.
Jika Ghazali saja pernah menentang filsafat Yunani secara membabi buta, bukan berarti ia menentang filsafat, tapi justeru sebaliknya. Bahkan sepanjang hidupnya bisa dijadikan model pionir bagi pemikiran filsafat wa’iyah. Sebagaimana maklum Descartes juga pernah mengkritik mereka yang mengikuti Plato dan Aristotelles sebagai alternatif upayanya mencapai yang lebih baik. Dan bukan rahasia lagi jika Immanuel Kant juga pernah mengkritik mazhab-mazhab filsafat yang mendahuluinya, tak ada seorangpun yang berani berkata bahwa Descartes atau Kant sebenarnya menentang pemikiran filsafat mereka. Kendati Ghazsali pernah menyerang filsafat Yunani dalam bukunya Tahafut al Falasifah seperti yang terdapat pada filsafat al Farabi dan Ibnu Sdina, ia juga mengakui kebenaran dan urgensitas beberapa ilmu-ilmu filsafat. Dalam bukunya yang lain, al Munqidz min al Dhalal, Ghazali membagi filsafat pada beberapa cabang ilmu yaitu matematika, logika, biolgoi, politik, etika dan ilmu kalam. Ia lebih berpihak untuk tidak menentang matematika, logika dan biolgoi kecuali sebagian masalah-masalah yang berkaitan biologi seperti masalah assababiyah (hukum kausalitas). Tentang politik sendiri ia tidak menolaknya, hanya saja ia berpandangan bahwa kaum filsuf mengambilnya dari kitab-kitab suci yang diturunkan kepada para nabi. Sedangkan pendidikan moral (etika) diambil dari ilmu para ahli tasawuf, yaitu orang yang intensitas komunkasi dengan Tuhannya sangat kental dan dapat ditemui di setiap zaman. Adapun serangan bertubi-tubi yang dilancarkan Ghazali terhadap filsafat ditujukan pada konsep ketuhanan (ilahiyyat) khususnya masalah Qidam al ‘alam, pengetahuan Allah secara kulliyah dan kebangkitan dari alam kubur saja.
Sedangkan kita tahu bahwa Ghazali sangat concern terhadap mantiq Aristotelles. Kehebatan mantiq metode Aristo ini dapat kita lihat dalam buku-bukunya: mi’yar al-‘ilm, Muhik al Nazr dan al Qisthas al Mustaqim. Ia juga menulis muqaddimah yang sangat panjang tentang mantiq dalam bukunya yang lain, al Mustashfi min ‘ilm al Ushul. Sebagaimana tercantum dalam buku tersebut, kata pengantar dalam bukunya itu ialah pengantar yang sangat berarti untuk bidang disiplin ilmu manapun.
Se;aom Ghaszali, filsuf Muslim pada umumnya telah banyak menuangkan pemikiran kritis atas filsafat-filsafat Yunani, hanya saja Ghazali lebih frontal dan terang-terangan.
Kindi, filsuf Muslim pertama berkebangsaan Arabm, tak henti-hentinya berseteru dengan filsafat Aristotelles dalam masalah Qidamul ‘alam –dan menekankan ‘inayah ilahiyah- dan sifat-sifat kreaitf Tuhan, al fa’al, al mudabbir, al hakim, serta mengeluarkan pandangan filosofis dengan sudut pandang umum yang berdasarkan atas pemahaman agama dengan akal falsafi dan berakhir pada mazhab agamis-filosofis sekaligus. Dengan demikian sejak dini agama dan filsafat itu saling bergandengan dan saling berpelukan dalam benak para filsuf-filsuf Muslim. Al Farabi memandang tema sentral agama dan filsafat itu sama, dan masing-masing memberi dasar-dasar yang sangat vital akan realitas. Agama dan filsafat memberi sumbangan pengetahuan dasar pertama dan sebab pertama akan realitas, dan tujuan luhur yaitu kebahagiaan sejati. Al Farabi juga berpandangan bahwa filsafat yang benar tidak akan bertentangan dengan agama yang benar, jika terdapat kontradiksi dari dua sisi itu tak lebih karena sistem filsafat yang berseberangan dengan agama itu dianggap lemah yang tidak akan membuahkan bukti yang mendatangkan keyakinan. Realitas itu, kata al Farabi, hanya satu dan jalan ke arah realitas itu saja yang plural.
Senada dengan Al Farabi, Ibnu Sina berpendapat bahwa tidak ada bagian-bagian filsafat yang bertentangan dengan agama:
Bukan bagian dari filsafat, jika memang bertentangan dengan agama. Oknum-oknum yang menuduh demikian kemudian menyimpangkan (artinya) dari metode agama, itu karena dirinya sendiri, karena kelemahan dan kepicikannya, bukan buatan filsafat. Jelas, filsafat terlepas dari kebodohan mereka. Tentunya wajar jika kita mempraktekkan apa yang dikatakan al Farabi dan Ibnu Sina sekitar masalah filsafat yang terdistorsi dari manhaj syara’ pada filsafat mereka jika kita temukan beberapa penyimpangan atau kontradiksi diantara keduanya.
Ibnu Rusy daslan permulaan kitabnya Fash al Maqal berpendapat bahwa al Nadzr atas buku-buku klasik wajib hukumnya menurut syara’ selama tujuannya sama dengan seruan syara’ (agama). Yaitu: persepsi akal tentang maujudat, mencari tahu dan merenungkannya. Namun analisa dan persepsi dalam buku-buku ulama klasik menurut rasionalisme kritis bersandarkan kebenaran agama:
Kami bantah orang yang mengatakan dan memberi tesis demikian dalam buku-bukunya. Selama itu selaras dengan kebenaran akan kami terima, kami senang dan berterima kasih karenanya. Dankarena itu tidak mengarah pada kebenaran, tentu kami waspadai, kami peringatkan dan kami maafkan……. Dalam pandangan Ibnu Rusyd, bentuk agitasi terhadap filsafat itu berpulang kepada pemahaman yang merusak, kepercayaan yang menyimpang dan karena pertemanan yang bodoh.
***
Reinterpretasi Makna al-Quran: Menyingkap ayat-ayat Metaforis.
Prof. DR. Quraish Shihab pernah menyampaikan makalah berjudul “Persoalan Penafsiran Metaforis atas Fakta-fakta Tekstual”. Sebagai rujukan yang sangat berharga dalam memahami ayat dengan pendekatan filosofis, penafsiran secara alegoris dan metaforis juga terasa penting. Dalam makalahnya itu beliau menulis: Dalam kamus linguistik, metafora (metaphor) berarti pemakaian suatu kata atau ungkapan untuk suatu objek atau konsep, berdasarkan kias atau persamaan”. Itu berarti suatu kosakata atau susunan kata yang pada mulanya digunakan untuk makna tertentu (secara literal atau harfiah) dialihkan kepada makna lain. Dalam disiplin ilmu al-Quran, pengalihan arti itu disebut ta’wil, atau oleh ulama-ulama sesudah abad ke 3 H. diartikan sebagai “mengalihkan arti suatu kata atau argumentasi-argumentasi yang menyertainya”. Salah satu cabang disiplin ilmu bahasa Arab yaitu al-Bayan menggunakan istilah majaz untuk maksud di atas. Tak dapat disangkal, setiap bahasa mengenal kata atau ungkapan yang bersifat metaforis.
Tapi bagaimana dengan al-Quran yang redaksi-redaksinya merupakan susunan ilahi? Apakah mengenal pula metafora? Al-Quran menegaskan, ia turun dalam bahasa Arab. Kosakata yang digunakan umumnya digunakan pula oleh masyarakat Arab pada masa turunnya, tapi gaya susunannya yang bukan prosa dan bukan pula puisi, serta keindahan nada yang dihasilkannya menjadikan pakar-pakar bahasa Arab ketika itu mengakui, mereka tak mampu menyusun semacam redaksi ayat-ayatnya. Hal ini memberi petunjuk atau kesan bahasa al-Quran berbeda bahasa yang digunakan ketika itu. Tapi di sini lain, para ahli dalam rangka memahami al-Quran menelusuri dan mempelajari penggunaan kosakata dan ungkapan-ungkapan yang digunakan khususnya oleh suku-suku Qais, Tamim dan Asad karena mereka dinilai masih bertahan dengan bahasa Arab asli. Mereka oleh pakar-pakar budaya dan bahasa dinilai belum atau tak tersentuh oleh akulturasi budaya atau bahasa. Berbeda dengan suku-suku Arab lainnya yang bertetangga dengan daerah-daerah yang tak berbahasa Arab ketika itu seperti Lakhem dan Juzaam yang bertetangga dengan penduduk Coptik di Mesir, atau Gassan dan Qudha’ah yang bertetangga dengan penduduk Syam yang berbahasa Ibrani. Atau suku Abdi al Qais dan Azad, penduduk Bahrain (Emirat Arab) yang bergaul dengan orang-orang India dan Persia. Bahkan para pakar bahasa tersebut –tak merujuk dalam rangka memahami kosakata atau ungkapan-ungkapan al-Quran—pada penduduk kota-kota Hijaz sekalipun, karena mereka menilai bahwa pergaulan mereka relatif luas sehingga mengakibatkan bahasa mereka sudah tidak “asli” lagi. Isi yang dikemukakan di atas menjadi bukti bahwa pemahaman al-Quran tak terlepas dari pemahaman kosakata atau ungkapan yang digunakan orang-orang Arab pada masa turunnya, dan apabila terbukti mereka menggunakan metafora dalam percakapan mereka maka tentunya dalam al-Quran hal yang demikian pasti ditemukan, karena ia diturunkan dengan bahasa Arab, agar dapat mereka pahami (QS. Fusshilat:3). Penelitian-penelitian yang dilakukan pakar-pakar bahasa, seringkali menimbulkan perbedaan-perbedaan diantara mereka khususnya ulama-ulama Kufah versuys ulama-ulama Basrah. Ini berati sebagian hasil-hasil yang mereka peroleh belum mendapat kesepakatan semua pihak, yang berakibat membawa sebagian ulama pada sikap hati-hati dalam menolak pemahaman metaforis bagi teks-teks keagamaan. Paling tidak, jika tak memahaminya secara literal, mereka menyerahkan pengertian sekian banyak kosakata atau ungkapan al-Quran kepada Allah swt. Sikap semacam ini tentunya tak memuaskan banyak pihak dan dari hari he hari pembahasan masalah-masalah metaforis dalam teks-teks keagamaan tumbuh dengan pesatnya. Agaknya al-Jahiz (w.255 H/868 M) merupakan tokoh pertama yang menghasilkan pemikiran-pemikiran jernih menyangkut masalah tersebut. Walaupun harus diakui bahwa kitab tafsir pertama, karya Abu Ubaidah Mu’ammar bin al Mustana (w.209 H) bernama Majaazat al-Quran. Namun nama ini tak berkaitan dengan pengertian majaz atau metafora yang dimaksud di sini. Tokoh al Mahiz adalah seorang penganut aliran rasional dalam bidang teologi (Mu’tazilah) dan dengan penafsiran-penafsirannya ia telah mampu menyelesaikan sekian banyak problema pemahaman keagamaan yang tadinya dihadapi sekian banyak ulama. Imam Malik (w. 795 M) misalnya, enggan membenarkan redaksi “langit menurunkan hujan”, karena berkeyakinan bahwa yang menurunkan hujan hanya Allah swt. Demikian halnya ketika beliau ditanya tentang pengertian firman Allah dalam QS. Thaha: 5, “Tuhan Yang Maha Pemurah bersemayam di atas Arasy”. Malik menjawab: pertanyaan semacam ini merupakan bid’ah (tercela dalam pandangan agama). Bahkan sebagaimana ditulis al-Jahiz dalam bukunya al-Hayawan ada orang-orang yang menduga bahwa batu merupakan makhluk berakal, berdasarkan firman Allah swt dalam surah al-Baqarah ayat 74: “…………dan diantaranya (diantara batu) sungguh ada yang meluncur karena takut kepada Allah…….”
sebagaimana ada yang menduga bahwa ada nabi-nabi untuk lebah-lebah berdasarkan QS. Al Nahl:68, “dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah”. Kemudian mereka berpaham demikian merangkai hikayat-hikayat yang tak mempunya dasar sedikitpun. Al-Jahiz yang sangat rasional dan ahli dalam bidang kebahasaan itu membantah pendapat-pendapat semacam itu dengan menunjuk pada penggunaan kosakata atau ungkapan yang samadan yang pernah digunakan orang-orang Arab menjelang dan masa masa turunnya al-Quran. Ibnu Qutaibah (w.276/889 M), murid al-Jahid walaupun bukan penganut aliran Mu’tazilah bahkan dinilai sebagai “juru bicara Ahlussunnah” melanjutkan dan mengembangkan usaha-usaha gurunya dalam memahami teks-teks keagamaan dengan berbagai motif yang berkembang dengan sangat pesat; dan tentu menggunakan segala cara dan argumentasi, baik logika maupun kebahasaan. Mereka yang menolak pemahaman metaforis dalam teks-teks keagamaan, paling tidak menggunakan dua argumentasi berikut: pertama, metafora sama dengan kebohongan, sedangkan al-Quran adalah firman-firman Allah yang suci dari hal tertentu. Kedua, seorang pembicara tak menggunakan metafora kecuali jika ia tak mampu menemukan kosakata atau ungkapan yang bersifat hakiki, dan tenunya harus diyakini bahwa Allah Maha Mampu atas segala sesuatu. Kedua argumentasi di atas jelas sekali kekeliruannya, sehingga berbagai ahli menolaknya. Ibnu Qutaibah menolak dengan menyatakan, “seandainya metafora atau majaz dinilai kebohongan, maka alangkah banyaknya ucapan-ucapan kita merupakan kebohongan”. Al-Sayuthi (w.911 H/1505 M) menulis dalam bukunya al-Itqan, “metafora adalah unsur keindahan bahasa dan jika ia ditolak keberadaannya dalam al-Quran, maka tentunya sebahagian unsur keindahan pun tak akan ada padanya”. Sebagaimana dikemukakan di atas, metafora dalam istilah ilmu bahasa Arab dinamai majaz, atau dalam itilah ilmu-ilmu al-Quran disebut ta’wil. Majaz menurut kaidah kebahasaan dapat dilakukan akibat adanya satu dari dua hal berikut, pertama, terdapat persamaan antara makna yang dikandung kosakata atau ungkapan dalam arti literalnya dengan makna yang dikandung oleh pengertian metaforis yang ditetapkan. Kedua, kadanya perkaitan atau hubungan antara dua hal dalam ungkapan, sehingga mengakibatkan terjadinya penisbahan satu kalimat kepada sesuatu yang seharusnya bukan kepadanya. Ia dinisbahkan, misalnya “langit menurunkan hukan”. Di sini terdapat perkaitan antara langit dan hujan, karena langit atau awan adalah sumber kedatangannya dan dengan demikian kepadanya ia dinisbahkan. Disepakati oleh mereka yang berpendapat adanya metafora, bahwa dibutuhkan dukungan petunjuk atau argumen guna mengalihakn satu makna hakiki ke makna metaforis. Tanpa adanya petunjuk maka penta’wilan tak dapat dilakukan. Tapi bagaimana bentuk petunjuk atau argumen tersebut, diperselisihkan mereka. Pertama, kelompok yang dikenal dengan al-zahiriyah, yaitu pengikut-pengikut Daud al-Zahiri (w. 270 H) tak membenarkan adanya penta’wilan atau pengertian metaforis dalam teks-teks keagaam, kecuali bilan pengertian yang ditetapkan itu telah populer di kalangan orang-orang Arab pada masa turunnya al-Al-Quran, serta terdapat petunjuk yang jelas yang mendukung pengalihan makna atau penta’wilan tersebut. Ibu Hazm (w. 456 H/1064 M) menegaskan, “selama arti yang dipilih bagi satu kosakata atau ungkapan telah dikenal di kalangan sahabat dan Tabi’in dan sejalan pula dengan bahasa Arab klasik, maka arti tersebut harus diterima baik dalam pengertian majaz, maupun hakiki”. Hanya perlu dicatat, satu ksoakata atau ungkapan, tak dialihkan ke makna metaforis kecuali setelah makna hakiki tak dapat digunakan. Kedua, al-Syathibi mengemukakan dua syarat pokok bagi penta’wilan ayat-ayat al-Quran: pertama, makna yang dipilih sesuai dengan hakikat kebenaran yang diakui oleh mereka yang memiliki otoritas dalam bidangnya. Tidak tepat kata al-Syathibi, memahami kata khalila dalam QS. Al-Nisa:125 Allah menjadikan Ibrahim khalila sebagai seorang “fakir” karena pengertian tersebut bertentangan dengan nash al-Quran yang lain, yaitu yang menunjukkan bahwa Ibrahim as bukan seorang fakir. Kedua, arti yang dipilih tersebut telah dikenal oleh bahasa Arab klasik. Pada syarat ini terbaca bahwa syarat “popularitas” artinya kosakata tak disinggung lagi, bahkan lebih jauh al-Syathibi menegaskan bahwa satu kosakata yang bersifat ambigu atau musytarak (mempunyai lebih dari satu makna, mka kesemua maknanya dapat digunakan bagi pengertian teks tersebut selama tak bertentangan satu dengan lainnya. Contoh kata “hidup” dan “mati”. Al-Quran menggunakan kata “hidup” dalam arti berpisahnya ruh dari badan dan juga dalam arti “kosongnya jiwa dari nilai-nilai agama”. Firman Allah dalam QS. Al-Rum 19 “Dia Allah mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup” dapat diartikan dengan salah satu atau dengan kedua arti tersebut di atas, demikian pula sebaliknya kata mati. Dalam hal ini tentunya ktia tak adapat menyalahkan merekayang memahami firman alla dalam QS. Al-Baqarah 243 “apakah kamu tak mengetahui orang-orang yang keluar dari kampung halaman mereka yang jumlah mereka beribu-ribu ()keluar) karena takut mati, maka Allah berfirman kepada mereka ‘matilah kamu’, kemudian Allah menghidupkan mereka, sesungguhnya Allah mempunyai karunia tterhadap manusia tetapi kebanyakan manusia tak bersyukur”. Kita tak mempermasalahkan walaupun seandainya kita tak sependapat dengan orang-orang yang memahami kata “matilah kamu” dan “Allah menghidupkan mereka” dalam pengertian “kematian semangat jihad mereka” kemudian “kehidupan” semangat jihad tersebut sehingga kembali ke kampung halaman mereka untuk mengusir orang yang selama itu menganiaya mereka. Ketiga, sementara penganut-penganut aliran Rasional dinilai sementara ahli melakukan ta’wil dengan menitikberatkan tolok ukuranya pada akal mereka dan kalaupun menggunakan argumentasi kebahasaan, maka yang digunakan adalah riwayat-riwayat yang sangat lemah atau dibuat-buat. Mereka juga dinilai sangat memperluas penggunaan metafora dengan menggunakan pemahaman tamsil atau perumpamaan bagi ayat-ayat al-Quran. Muhammad Abduh (w. 1906) dinilai sebagai salah seorang tokoh penganut aliran ini. Ayat-ayat yang menguraikan kisah kejadian Adam as. pada surah al-Baqarah 30 dan seterusnya dipahaminya atas dasar tamsil, sehingga tak ada dialog sebagaimana tersurat, tetapi penyampaian Tuhan kepada malaikat tentang rencana-Nya menciptakan khalifah di bumi, adalah pertanda kesiapan bumi untuk menyambut satu makhluk yang dapat mengolahnya sehingga tercapai kesempurnaan hidup di dunia. pertanyaan malaikat kepada Tuhan tentang khalifah yang dapat merusak dan menumpahkan darah, dipahami Abduh sebagai “gambaran tentang potensi dalam diri manusia untuk melakukan kejahatan”. Pengajaran Tuhan kepada Adam tentang nama benda-benda, adalah ambaran tentang potensi manusia mengetahui serta mengolah dan mengambil manfaat segala yang terdapat di bumi ini. Pemaparan pertanyaan kepada melaikat dan ketakmampuan mereka menjawab, menunjukkan kerterbatasan hukum-hukum alam. Sujudnya malaikat kepada Adam, menunjukkan kemampuan mansuai memanfaatkan hukum-hukum alam. Keengganan iblis sujud, menandakan kelemahan mansuai dan ketakmampuannya menghilangkan bisikan-bisikan negatif yang mengantar kepada perselisian, perpecahan, agresi dan permusuhan di muka bumi ini. Abduh ketika menguraikan tentang “malaikat”, mengemukakan dua pendapat. Pertama, bahwa malaikat merupkan mahluk gaib yang tak dapat diketahui hakikatnya namun harus dipercaya wujudnya. Sedang pendapat yang kedua, adalah bahwa “malaikat merupakan makhluk-makhluk Allah yang bertugas dalam pekerjaan-pekerjaan tertentu, seperti menumbuhkan tumbuh-tumbuhan memelihara manusia dan sebagainya”. Hal ini menurut Abduh, adalah isyarat yang lebih jelas dari satu redaksi tentang satu ciri tertentu bahwa pertumbuhan dalam tumbuh-tumbuhan terjadi tak lain kecuali dengan adanya ruh yang dihembuskan Allah swt ke dalam benihnya, sehingga dengan demikian terjadilah kehidupan bagi tumbuhan tersebut. Demikian pula halnya dengan manusia dan binatang. Yang demikian itu menurut Abduh dinamai dalam istilah agama dengan “malaikat”. Selanjutnya Abduh menulis, “bagi mereka yang tak mengindahkan penamaan yang diterapkan agama, hal tersebut mereka namakan natural power karena mereka tak mengenal dalam kehidupan ini kecuali apa yang tampak dan atau yang tampak bekasnya dalam alam nyata. Satu hal yang pasti, kata Abduh selanjutnya, bahwa malaikat setiap ciptaan terdapat sesuatu yang menjadi sumber ketergantungannya serta sistem wujudnya. Hal ini tak dapat diingkari siapapun yang berakal walaupun mereka tak beriman atau mengingkari bahwa hal tersebut dinamai malaikat, demikian pula sebaliknya hal tersebut tak diingkari ileh seseorang yang beriman walaupun ia mengingkari penamaan tersebut dengan natural power atau hukum alam. Muhammad Abduh menambahkan, dirasakan oleh mereka yang megnamati dirinya, atau membanding-bandingkan pikiran dan kehendaknya yang mempunyai dua sisi baik dan buruk, bahwa dalam batinnya terjadi pergolakan, seakan-akan apa yang terlintas dalam pikirannya itu sedang diajukan ke suatu Sidang Majelis Permusyawaratan yang ini menerima dan yang itu menolak, yang ini berkata “kerjakanlah” dan yang itu “jangan”. Demikian halnya sehingga pada akhirnya menanglah salah satu pilihan. Proses demikian yang terdapat dalam jiwa setiap mansuia, tak mustahil dinamai Allah atau dinamai penyebab hal tersebut sebagai “malaikat”. Demikian antara lain penta’wilan yang dilakukan Muhammad Abduh, yang kemudian diikuti oleh tak sedikit dari ulama-ulama sesudah masa beliau. Kita dapat memahami motivasi Muhammad Abduh dan penganut-penganut alirannya dalam menggunakan akal seluas-luasnya ketika memahami teks-teks keagamaan sehingga merasionalkan ajaran-ajaran agama sambil mempersempit sedapat mungkin wilayah ghaib, namun hal ini buila diurutkan tanpa batas yang jelas, dapat mengantar pada pengingkaran hal-hal yang bersifat supra-rasional, sebagaimana ditemukan kemudian dalam perkembangan pemikiran selanjutnya. Menggunakan akal sebagai tolok ukur satu-satunya dalam memahami teks-teks keagamaan khususnya tentang peristiwa-peristiwa alam, sejarah kemanusiaan dan hal-hal ghaib berarti menggunakan sesuatu yang terbatas terhadap perbuatan-perbuatan Tuhan (zat yang tak terbatas itu). Tapi tentunya ini bukan pula berarti kita menerima begitu saja penafsiran-penafsiran yang tak logis. Tidak demikian!
Apa yang dikemukakan di atas hanya berarti bahwa bila suatu redaksi sudah cukup jelas serta penafsirannya tak bertentangan dengan akal, walaupun belum dipahaminya, maka redaksi tersebut tak harus dita’wilkan lagi dengan memaksakan suatu penafsiran yang dianggap logis sehingga dipahami akal. Karena kalau hal tersebut harus dipaksakan maka tak jarang ditemukan pemahaman-pemahaman yang tak hanya bertentangan dengan kaidah-kaidah kebahasaan tetapi juga bertentangan dengan hakikat keagamaan. Ahmad Musthafa Al-Maraghi salah seroang penganut aliran Abduh menulis dalam tafsirnya menyangkut ayat 10 surah Sab’, “dan sesungguhnya Kami telah anugerahkan kepada Daud karunia dari Kami. (Kami berfirman) Hai gunung-gunung bertasbihlah berulang-ulang bersama Daud”. Al-Maraghi menulis bahwa pengertian ayat tersebut adlaah bahwa “gunung mengantar Daud bertasbih mensucikan Allah, dengan jalan pandangan yang diarahkan Daud kepada keajaiban tersebut berfungsi mengingatkan sebagaimana seseorang mengingatkan yang lain”. Pendapat di atas dinilai sementara ulama tak sejalan dengan teks ayat di atas dimana yang diperintahkan adalah gunung-gunung, bukannya Daud. Dan yang lebih penting lagi bahwa sang mufassir al-Maraghi telah berusaha memahami hakikat tasbih gunung, sedang terdapat ayat yang lain yang menegaskan bahwa: “langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah dan tak satupun melaikan bertasbih memuji-Nya, tapi kamu sekalian tak mengetahui (hakikat) tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun” (QS. Al-Isra’:44). Jika apa yang digambarkan tentang pendapat al-Maraghi di atas tak disetujui, tetap harus diyakini bahwa pendapat tersebut dari sisi kebahasaan memiliki alasan-alasannya. Penta’wilan yang parah adlaah yang semata-mata mengandalkan penalaran akal seseorang dengan mengabaikan pertimbangan-pertimbangan kebahasaan. Dr. (medis) Musthafa Mahmud memahami larangan Tuhan pada Adan dan Hawa “mendekati pohon” sebagai larangan mengadakan “hubungan sexual”. Bukti yang dijadikan dasar pertimbangannya adalah, pertama, ketika mereka (Adam dan Hawa) telah memakan (buah) pohon tersebut (mengadakan hubungan sex) mereka tanpa busana dan berusaha menutup auratnya dengan daun-daun surga, ketika itu mereka merasa malu. Perasaan malu akibat terlihatnya alat kelamin hanya dialami oleh mereka yang telah mengadakan hubungan sexual. Terbukti bahwa anak kecil tak mersakan hal tersebut, berbeda dengan orang dewasa yang merasa malu, walau sekedar menyebutnya. Kedua, redaksi firman Allah sebelum mereka mendekat pohon tersebut adalah dalam bentul dual.
Janganlah kamu berdua mendekati pohon ini (QS. Al-Baqarah:35).
Tetapi setelah mereka mendekatinya (memakan buah terlarang) redaksi ayat berbentuk plural atau jama’.
Turunlah kamu, sebahagian kamu menjadi musuh bagi yang lain (QS. Al-Baqarah:36).
Hal ini menunjukkan bahwa ketika itu mereka yang tadinya hanya berdua (Adam dan Hawa) kini telah menjadi lebih dari dua orang dengan adanya janin yang dikandung oleh Hawa setelah hubungan sex tersebut. Apa yang dikemukakan di atas hemat kita bertentangan dengan teks ayat-ayat al-Quran serta kaidah-kaidah kebahasaan. Pertama, ayat al-Quran menggambarkan bahwa keadaan tanpa busana terjadi setelah atau akibat dari memakanm buah pohon terlarang bukan sebelumnya, sebagaimana dipahami oleh Musthafa Mahmud. Kedua, kosakata “pohon” dita’wilkan atau dipahami secara metaforis tanpa ada argumentasi pendukung, dan anehnya “daun-daun surga’ dipahami secara hakiki. Ketiga, di sisi lain bahasa Arab tak menganggap wujud janin sebagai wujud yang penuh, karena itu wanita hamil akan tetap diperlakukan oleh bahasa sebagai wujud tunggal, tak sebagaimana dipahami oleh Musthafa Mahmud. Contoh yang dikemukakan di atas menunjukkan betapa pemahaman ayat-ayat al-Al-Quran, apalagi penta’wilan ayat-yatnya, membutuhkan, di samping nalar, juga penguasaan bahasa Arab.[]
*) Alumni Akidah Filsafat Al-Azhar university, pemerhati masalah politik dan sosial-keagamaan. Sekarang tengah bergelut dengan Sanggar Zona Studi dan Saung Tanwirul Afkar, Tangerang.
Dua diantara ulama yang mengharamkannya antara lain Ibnu Sholah (lahir: 577H/1181 M) dan Nawawi. Kedua ulama ini mengharamkan ilmu mantiq, baik belajar apalagi mengajarkan atau menyebarluaskannya. Menurut pendapat mereka, mempelajari mantiq dikhawatirkan akan menularkan faham-faham filosof sebagaimana terjadi pada mazhab Mu’tazilah, yang menjadikannya lebih memihak pada rasionalitas ketimbang Quran dan Hadis. Ibnu Sholah belajar fiqih pada ayahnya, melanjutkan ke desa Mushil, kemudian mengulang pelajaran fiqihnya pada gurunya syekh Imaduddin ibn Yunus, memperoleh ijazah ilmu Hadis di Khurasan, kemudian hijrah ke Syam (Syria). Ibnu Sholah merupakan salah seorang ulama terkemuka pada masanya. Sebagai seorang ahli tafsir, Hadis dan fiqh, ia juga dekat dengan Asyraf, raja Damsyik yang juga keturunan suku Kurdi. Beliau meniggal di sana tahun 643 H (atau tahun 1245 M) dan fatwanya (dengan mengharamkan mantiq itu) mencuat ke permukaan atas reaksinya terhadap Saifuddin al-Amidi yang sangat kontra dengan sang raja. Ibnu Sholah sendiri sezaman dengan Amidi, pernah bersama-sama di kota Mu’zam dan Nashir. Hanya saja Amidi lebih dikenal masyarakat di sana karena faktor keilmuan dan imamahnya. Lalu datanglah peluang berikutnya dan situasi berubah pada masa Asyraf. Pada mulanya Ibnu Sholah menekuni mantiq pada syekh Kamaluddin ibn Yunus al-Mashili, salah seorng ulama besar terkenal yang menguasai banyak ilmu. Namun Ibnu Sholah ternyata tak mampu menampung ilmu mantiq sepenuhnya. Gurunya itu tak bisa berbuat banyak, lantas ia mendekati Ibnu Sholah dan berkata, “menurutku, lebih baik engkau tinggalkan pelajaran yang satu ini” (Al-mashlahah ‘indi an tatruka haza al-fann). Kemudian yang terjadi adalah sikap Ibnu Sholah yang memusuhi ilmu mantiq yang tak kunjung ia fahami. Dan di luar konteksnya, kemudian ia sangat memerangi ilmu mantiq secara frontal atas nama agama untuk menjawab berbagai pertanyaan yang ditujukan kepadanya. Bahkan, barangkali, pertanyaan itu sendiri hasil rekayasanya sendiri “apakah agama membolehkan mempelajari mantiq baik mengajar dan belajar?...” dsb.
Rating:
5
Reviewer:
PAI Kec. Mauk -
Item Reviewed:
FILSAFAT DAN AGAMA