Ketika manusia berkumpul dalam suatu tempat, diantara mereka pasti akan tumbuh rasa simpati. Berawal dari rasa inilah manusia cenderung memproteksi komunitas mereka, tidak melanggar suatu kesepakatan bersama dan tidak merendahkan setiap urusan kelompok. Rasa simpati ini disebabkan oleh sikap interaktif antar individu; lalu masing-masing menyamakan persepsi dan tumbuhlah sikap saling pengetian dan kesadaran, dan kekerabatan ini pun semakin menyebar hingga mencakup aspek-aspek psikologis dan sosial.
Kekerabatan psikologis, artinya ‘kekerabatan emosi’ akan mengembangkan hubungan persaudaraan di dalam suatu masyarakat; lalu terjalin suatu persahabatan dan terbentuklah yang dinamakan ‘keluarga’. Adapun jalinan sosial, yang berarti ‘kekerabatan rasio plus akal’ di mana semua elemen masyarakat merasakan bahwa hubungan ini memiliki ‘kehormatan’ yang harus dijaga dan dilestarikan dari segala hal yang merusak. Sebagaimana kekerabatan psikologis akan menumbuhkan ‘common sense’ dalam diri setiap individu yang dirasakan relevan. Begitu halnya dengan jalinan sosial dapat menumbuhkan nalar untuk selalu menghayati nilai-nilai yang sesuai dengan kelompok dan memiliki perhatian lebih terhadap nilai-nilai tersebut.
Bukan sebuah kegagalan bagi seseorang ataupun upaya menghapus kepentingan kelompok seperti dalam sistem-sistem yang radikal dan otoriter, namun sebuah penggemblengan diri bagaimana menciptakan pola hidup damai dalam satu atap. Hidup damai merupakan tingkat jalinan persaudaraan yang paling rendah...dan puncak tingkatan ini adalah ‘saling tolong menolong’ (gotong royong), dan yang lebih tinggi dari sikap tolong menolong adalah membantu meraih suatu keberhasilan.
Mengenal titik persamaan antar anggota kelompok masyarakat dalam satu atap menuntut suatu 3 bentuk di atas; yaitu ta’ayusy (saling hidup berdampingan) , ta’awun (gotong royong) dan nusrah (saling membantu). Ssebab menjaga dan melestarikan nilai-nilai persaman tersebut merupakan tanggung jawab seluruh masyarakat. Hal ini menuntut perhatian lebih dalam beriteraksi yang melegetimasi adanya perbedaan pendapat dan pandangan selama masih dalam koridor emansipasi. "Equality spot" yang terjalin antar segmen dan yang wajib dilestarikan adalah “kesatuan” yang berarti menjaga kebersamaan hidup dalam satu atap; “kestabilan” artinya kewajiban menjaga ketentraman bersama, dan “keamanan” artinya menjaga kenyamanan bagi tiap orang.
Faktor di atas hendaknya dijadikan sebagai pengantar dalam menghadapi setiap perbedaan antar kelompok dan antar individu tatkala perbedaan ini berubah --baik secara teoritis ataupun praktis-- ke arah perpecahan yang dapat menghancurkan niali-nilai persamaan dan citra kekerabatan sosial.
Syariat yang berisi ajaran-ajaran untuk menjaga kesatuan dan mencegah timbulnya suatu perpecahan. Serta menggambarkan hubungan ini sebagai “tali persaudaraan” ; sebuah hubungan yang lebih kuat dan mulia di sisi Allah. Kata “ukhuwah” (persaudaraan) sendiri disebut sebanyak 100 kali dalam al-Qur’an.
Abu Abdullah al-Damighani (W 478) dalam kitab “al-Wujuh wa al-Nadhair” menyebutkan 7 arti ukhuwah, diantaranya; persaudaraan seayah dan seibu, senasab, sepaham, seagama, se-perasaan cinta dan kasih sayang...saudara yang berarti teman sejawat dan saudara yang berarti persamaan dan kecocokan.
Diantara 7 arti di atas, hubungan yang paling kuat adalah yang menunjukkan suatu ikatan dua orang dan dari ikatan ini muncul persaudaraan, yakni sebuah ikatan yang saling terkait.
Apabila persaudaraan ini kuat dan mapan, maka tidak seharusnya dilanggar hanya dengan alasan perbedaan pendapat dan opini, atau hingga muncul konflik dan permusuhan.
Pemaknaan seperti ini secara eksplisit tergambar dalam al-Qur’an dan sunah Nabi saw, dan kalau pun salah akan mudah dimaafkan, positive thinking, menjauhi nilai-nilai positif, saling memperbaiki antar sesama, memprioritaskan persaudaraan se-iman daripada kepentingan individu atau hak-hak personal.
Berkenaan dengan sistem ishlah antar sesama, disebut dalam sebuah ayat: “Sesungguhnya orang-orang beriman adalah saudara, maka hendaklah saling memperbaiki antar saudara-saudara kalian”. (Qs al-Hujurat: 10).
Menyimak ayat ini, menunjukkan bahwa walaupun terdapat perbedaan namun tidak menghilangkan sifat “persaudaraan”. Hal ini memperingatkan pada nilai-nilai solidaritas dan emansipasi, melebihi segalanya. Manusia, dalam kondisi konflik cenderung melupakan ikatan persaudaraan dan berpaling pada hal-hal yang membangkitkan permusuhan. Sedangkan, berkenaan dengan sikap positive thinking, al-Qur’an menyatakan:
“Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah sifat buruk sangka, sebab sebagian sifat buruk sangka adalah dosa, dan janganlah masing-masing saling memaa-matai dan mendengki”. (Qs al-Hujurat: 12), dan masih banyak lagi nash-nash yang bertalian dengan sifat-sifat ini.