SEJAK kemunculannya, kisah islami berkaitan dengan al-Quran dan kisah-kisah di dalamnya. Kisah-kisah (dalam al-Quran) itu membentuk cerita yang terpenting dan paling rinci. Karena itu al-Quran menyebut dirinya sebagai "ahsanul qashas" dan "alqashas al-haq" (kisah-kisah terbaik dan benar). Dalam kisah-kisah menyorot balik perbuatan suatu bangsa, negara, umat, nabi dan rasul terdahulu. Kisah-kisah itu mampu menggiring sejarah tentang eksistensi manusia dengan kapabilitas intelegensia tertentu yang disebut dengan "Ulul Albab" (manusia cendikia). Imam Fakrurroji bahkan menyebut kisah-kisah qurani tersebut sebagai "kumpulan kalimat universal yang menunjuk jalan agama, membimbing pada kebenaran dan membantu keinginan sukses ". (Imam Fakrurroji, Tafsir Al-Kabir). Imam Zamaksyari, dalam tafsirnya, menyebut kisah dalam al-Quran sebagai "kisah-kisah yang melembutkan hati".
Kisah para nabi menempati posisi paling awal dalam al-Quran barangkali karena nabi dan sejarahnya berperan sangat penting dalam sejarah hidup manusia, atau bahkan dijadikan sebagai simbol pemerdekaan jiwa zoon politicon manusia, atau sebagai rekaman perjalanan spiritual imani daripada proses perjalanan politik-sosial yang diwakili sejarah politik. Karena itu, para sejarahwan klasik kerap menghubungkan kedua dimensi sejarah antropologis: sejarah rasul dan raja, ---seperti dicatat oleh Atthabari dalam kitab sejarahnya yang populer itu---, atau antara manifestasi sejarah antropologi dan interiornya, seperti ditegaskan oleh Ibnu Khaldun. Kisah para nabi ini merupakan basic pembelajaran diri kanak-kanak, sekaligus sebagai upaya pengenalan sunnah alam sejak dini yang pada akhirnya mewujudkan kehendak ilahi.
Kisah umat dan nabi terdahulu diformat dan ditinjau ulang periwayatannya dari sumber aslinya (al-Quran). Pada masa Rasulullah, para pengkisah dan penasehat dilakukan secara verbal (leluri). Begitupula pada abad-abad sesudahnya. Misalnya kisah-kisah agamis tersebut diriwayatkan oleh para pakar hadis, pengkhabar, sejarahwan dalam kitab sunnah, kitab sirah, tafsir, sejarah, tasawuf dan lain-lain. Lalu pada tahap selanjutnya beralih pada fase sastra umum dan dongeng klasik masyarakat. Kita bisa ambil beberapa contoh, diantaranya sejarah Ibnu Hisyam, sirah Al-Halaby, dan kitab-kitab sejarah klasik (seperti At-Thabari, al-Ya'qubi, Ibnu Katsir, dan Ibnu Khaldun). Demikian pula kitab-kitab sejarah agama, seperti Milal wa Nihal karangan syekh Shahrastani, kitab-kitab tafsir dan hadis, kitab-kitab khusus kisah para nabi (kitab-kitab ini cukup mewakili referensi kisah islami yang dimulai dari kisah-kisah para nabi hingga kisah masyarakat Badawi yang jauh terpencil, hingga sirah (sejarah hidup) Nabi Muhammad saw. Kitab-kitab narasumber ini kemudian meluas, mencakup kitab-kitab sastra umum seperti “al-Aqdu al-Farid” karangan Ibnu Abdu Rabbih, “Amali” karya Abu Ali Al-Qali, Al-Kamil karya Al-Mubarrod, dan lain-lain. Sebagai catatan, cerita rakyat juga mengandung sebagian kisah para nabi (seperti dalam sirah 'Antarah). Para pengarang dan penyusun kisah para nabi ini menambahkan nash-nash al-Quran sebagai pondasi dalam membangun konstruksi kisah dan sirah dalam kitabnya. Ini yang kemudian kita kenal dengan "kisah-kisah israiliyat" yang dilarang itu. Sementara di bagian lain ada pula yang memuat legenda Persia, India dan Yunani yang disebut dengan al-asathir al-awwalun atau legenda orang-orang lama, cerita Arab Purba dan legenda Arab, serta sejarah Arab pra-Islam. Ini membuat kisah religius menjadi gudang kekayaan dengan materi pertamanya yaitu kreasi seni sastra islami dan sejarah emosi manusia yang berupaya menuntun hidayah dan agama yang benar.
Apabila para sejarahwan tidak melihat materi yang melimpah ruah ini sebagai materi yang "reliable" untuk dijadikan sebagai bahan sejarah –seperti dimensi waktu dan peristiwa tertentu-, maka itu tidak akan menghalangi para sejarahwan dan pengarang sirah klasik untuk tetap mendulang instrumen yang melimpah tersebut. Seperti yang dilakukan pengarang sirah Al-Halaby yang memandang sirahnya sebagai budak yang tidak mengenal halal-haram, pun tidak mengaitkannya dengan hukum. Yang boleh dipertikaikan dalam pandangan ulama modern, dan yang mewajibkan penelitian dan penggalian data tentang validitas berita tertentu hanyalah yang berkenaan dengan hudud (sanksi-sanksi syariat) dan mengetahui halal-haram. Demikian yang disinggung Zaghlul Abdul Hamid dalam "Al Anbiya wa Al Mutanabbi'un qabla Zuhur al-Islam" (Nabi dan Kelompok Pengaku Nabi Pada Masa Pra-Islam).
Sejarah keimanan manusia berkaitan erat dengan para nabi sejak awal penciptaan dan kebangkitannya. Kabar klasik juga menyinggung bahwa jumlah para nabi melampaui hitungan angka. Namun Nubuwah, seperti yang digambarkan al-Al-Quran, berkaitan erat dengan kehendak dan keesaan ilahi.
"yanzilu al malaikatu birruuhi min amrihi ala man yasyaau min ibaadihi an anziruu annahuu laa ilaaha illaa ana fattaquun".
Allah swt mengutus para rasul-Nya kepada semua umat, tanpa kecuali, menyeru mereka agar menyembah-Nya dan menjauhi thaqhut, serta mengimani rasul-rasul yang diwahyukan dan rasul terdahulu. Kisah-kisah ini dikenal oleh mereka yang disebut sebagai ulama. Maka, hanya keadilan Tuhanlah yang akan menyiksa bangsa-bangsa terdahulu yang mengingkari keberadaan mereka.
"wa maa kaana roibbuka muhlikal quraa hatta yab'atsa fi ummiha rasuulan yatluu 'alaihim ayaatina wa maa kunnaa muhlikil quraa illaa wa ahluhaa zaalimuun".
Al-Quran tidak membatasi nama-nama para nabi melainkan yang asasi: Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, Isa, kemudian Muhammad saw penghulu segala nabi. Kemudian dilanjutkan dengan Daud, Sulaiman, Ya'qub, Yusuf, Ayyub, Ismail, Syuaib, Hud dan Shalih alaihimussalam. Nabi-nabi ini tergabung dalam kelompok Ibrani, Suryani dan Arab, yaitu bangsa-bangsa yang di arabkan yang membentuk peradaban pertama manusia di wilayah Timur Dekat kuno. Demikian para sejarahwan klasik menyebutnya terhadap fantasi mereka dalam mengkalkulasi jumlah para nabi. Sirah Halabi menyebutkan nabi Bani Israil itu ada seribu. dan sampai Wahab bin Munabbih periwayat asathirul awwalun dengan perbagai jumlah para nabi semuanya berjumlah 124 ribu!! Adapun para rasul terbatas jumlahnya berdasarkan al-Quran, yaitu hanya 25 nabi dan rasul. Karena rasul itu lebih khusus daripada Nabi, setiap rasul adalah nabi, dan tidak semua nabi adalah rasul. (by: Taufik Munir) []
Silakan merefer pada Al-Adab Al-Islami, karya Al-Kailani.