Umat Islam resah dengan praktek-praktek tawasul yang selama ini selalu dilakukan para ustadz dan tokoh–tokoh masyarakat, padahal tawasul itu sangat kontroversial dan mungkin saja diharamkan dalam Islam.
Apa itu tawasul?
Secara bahasa, tawasul itu berasal dari bahasa Arab yang artinya menjadikan sesuatu sebagai wasilah. Apa itu wasilah? Wasilah itu diartikan jalan/cara, atau perantara. Jadi, boleh dikatakan tawasul adalah suatu aktifitas seseorang yang menjadikan sesuatu sebagai perantara.
Di sinilah kontroversialnya, karena banyak sekali yang melakukan tawasul, baik orang awam (masyarakat umum) ataupun orang-orang yang berpendidikan, para ustadz, bahkan para ulama dan kiyai, padahal mungkin saja tawasul itu diharamkan dalam Islam.
Namun, para pelaku tawasul lagi-lagi berdalil dari firman Allah swt.:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah, dan carilah jalan (wasilah) untuk bertakwa kepada-Nya. (al-Maidah: 35).
Coba perhatikan, dalam ayat tersebut dinyatakan: bertawasul (mencari perantara) bersambung lurus dengan bertakwa. Ini bukan kata-kata ulama atau kata-kata Nabi sekalipun. Ayat di atas adalah firman Allah swt. dengan menggunakan fiil amar (kata perintah), sedangkan menurut ilmu ushul fiqh dinyatakan bahwa fiil amar bisa menunjukkan wajib. Maka, jika tawasul itu dinyatakan wajib oleh Allah swt., lalu bagaimana yang tidak mengamalkannya?
Menurut Ulama
Para ulama jumhur ahlus sunnah wal jamaah, tawassul dengan segala ragamnya adalah perbuatan yang dibolehkan dan dianjurkan. Makna tawassul sendiri adalah mendekatkan diri atau memohon kepada Allah dengan melalui perantara yang memiliki “kedudukan” di sisi Allah. Perantara yang digunakan bisa berupa nama dan sifat Allah, amal shaleh yang kita lakukan, dzat serta kedudukan para nabi dan orang-orang shaleh, atau bisa juga dengan meminta doa kepada hamba-Nya yang shaleh.
Bertawasul dengan para nabi dan orang-orang shaleh.
Ini justru yang menjadi masalah. Mereka yang membolehkan adanya tawasul jenis ini berdalih dengan sebuah contoh sederhana ketika seorang mengharapkan ampunan Allah. Misalnya ia berdoa,
“Ya Allah, aku memohon ampunan-Mu dengan perantara Nabi-Mu Muhammad”
atau
“Ya Allah, aku memohon ampunan-Mu dengan perantara Syaikh Abdul Qadir al-Jailani.”
Terlihat jelas bahwa dalam bertawasul, nabi atau orang shaleh hanyalah perantara sedangkan yang dituju dengan doa adalah Allah semata. Dengan tawasul, ia tidak menjadikan nabi dan orang shaleh tersebut sebagai Tuhan yang disembah. Namun kenyataan sederhana ini tidak bisa dipahami oleh sebagian orang yang mengaku mengikuti sunah namun pada kenyataannya jauh dari sunnah.
Mereka menganggap tawasul jenis ini adalah bentuk penyekutuan Allah. Seorang Syaikh Wahabi Abu Bakar Al-Jazairi berkata mengenai Tawasul:
"Sesungguhnya berdoa kepada orang-orang shaleh, istighosah (meminta tolong) kepada mereka dan tawasul dengan kedudukan mereka tidak terdapat di dalam agama Allah ta`ala baik berupa ibadah maupun amal sholeh sehingga tidak boleh bertawasul dengannya selama-lamanya. Bahkan itu adalah bentuk menyekutukan Allah di dalam beribadah kepada-Nya, hukumnya haram dan dapat mengeluarkan pelakunya dari agama islam serta mengakibatkan kekekalan baginya di neraka jahanam” (Aqidatul Mu`min, hal 144)
Sungguh fatwa yang tendensius dan kosong dari bobot ilmiyah.
Dalil-dalil Tawasul dengan Nabi SAW
Minta Tolong di Akherat
Inilah dalil Dalil pertama orang yang membolehkan tawasul kepada Nabi Muhammad saw. Yaitu sebuah hadits shahih tentang syafaat yang diriwayatkan oleh para hufadz dan ahli hadits.
Pada hari kiamat, ketika manusia dikumpulkan di padang mahsyar mereka mengalami kepayahan yang luar biasa. Mereka bertawasul dengan mendatangi para Nabi untuk meminta tolong supaya Allah mengistirahatkan mereka dari penantian yang panjang.
Kisah Orang Buta Menghadap Nabi
Dalil kedua adalah hadits shahih yang bersumber dari sahabat Utsman bin Hunaif yang diriwayatkan oleh Imam Turmudzi, an-Nasai, ath-Thabrani, al-Hakim dan al-Baihaqi. Diriwayatkan dari Utsaman bin Hunaif bahwasanya seorang lelaki buta datang kepada Rasulullah SAW memohon supaya Rasulullah SAW berdoa untuk kesembuhannya. Lantas Rasulullah SAW pun bersabda:
“Jika kamu mau, aku akan doakan. Namun jika kamu bersabar, itu lebih baik.”
Lelaki itu tetap berkata, “Doakanlah, ya Rasulallah.”
Lalu, Nabi SAW menyuruhnya untuk berwudhu dengan sempurna, sholat dua rakaat dan berdoa dengan doa berikut:
“Ya Allah, aku memohon dan menghadap kepada-Mu dengan (perantara) nabi-Mu Muhammad, nabi yang rahmat. Ya Muhammad, sesungguhnya aku menghadap kepada Tuhanku denganmu agar terpenuhi hajatku. Ya Allah, izinkanlah ia memberikan syafaatnya kepadaku…”
Kemudian lelaki itu pun sembuh, bisa melihat kembali.
Di dalam hadits riwayat ath Thabrani dan al-Baihaqi terdapat tambahan bahwa sahabat Utsman bin Hunaif di kemudian hari (setelah wafatnya Rasulullah SAW) mengajarkan doa tersebut kepada sahabatnya agar hajatnya terpenuhi. Tambahan hadits ini dishahihkan oleh Ath Thabrani.
Al-Haitsami dalam Majma Zawaid menetapkan pendapat Ath-Thabrani mengenai keshahihannya.
Perhatikan, dalam hadits tersebut dijelaskan bahwa lelaki buta meminta doa kepada Nabi SAW namun Nabi tidak mendoakannya melainkan mengajarkannya doa yang berisi tawasul dengan Nabi SAW. Ini menunjukkan tawasul dengan Nabi SAW itu boleh.
Seandainya tawasul itu adalah syirik maka tidak mungkin Nabi mengajarkannya kepada orang buta tersebut.
Para pengingkar tawasul akan berusaha memalingkan makna hadits tersebut dengan takwil yang jauh dari makna dzohirnya. Mereka mengatakan bahwa yang dimaksud orang buta tersebut bukan bertawasul dengan Nabi melainkan bertawasul dengan meminta doa Nabi SAW. Perkiraan ini keliru sebab hadits tersebut tidak menjelaskan bahwa Nabi SAW berdoa, bahkan yang disebutkan adalah bahwa Nabi SAW meminta orang buta itu berdoa dengan menyebut beliau dalam doanya sebagai perantara.
Jika itu adalah bentuk tawasul dengan doa pastinya tidak perlu repot-repot nabi mengajarkan doa yang panjang, beliau hanya perlu menengadahkan tangan dan berdoa, namun nyatanya tidak demikian.
Alasan mereka juga terbantah dengan hadits shahih yang menyatakan bahwa sahabat Utsman bin Hunaif, setelah wafatnya Rasulullah saw, mengajarkan doa itu kepada orang lain. Ini dalil yang sangat sharih (jelas dan benderang) yang menunjukkan bahwa isi doa tersebut adalah benar-benar tawasul dengan menyebut Rasulullah saw dalam doanya.
Hadits ini juga menunjukkan bahwa tawasul dengan Nabi saw itu boleh dilakukan ketika nabi masih hidup atau setelah wafat.
Ketika Musim Kering Melanda
Dalil ketiga mengenai kebolehan tawasul dengan Nabi adalah hadits riwayat Abu Syaibah yang sanadnya dinyatakan sahih oleh al Hafidz Ibnu Hajar al-Atsqalani dalam kitabnya, Fathul Bari.
Diriwayatkan dari Abi Sholeh as-Saman, dari Malik ad-Dari, ia berkata:
“Pada masa Umar, banyak manusia ditimpa kekeringan, kemudian datang seseorang ke kubur Nabi SAW dan berkata, “Ya Rasulallah, mintakan hujan bagi umatmu. Sesungguhnya mereka hampir binasa.”
Ternyata Rasulullah SAW mendatangi lelaki tersebut di dalam mimpinya dan berkata, “Kau datangilah sahabatku yang bernama Umar, sampaikan salamku dan kabarilah bahwa mereka akan diberikan hujan.”
Dalam kitab Futuh disebutkan bahwa lelaki yang bermimpi itu adalah Sahabat Bilal bin Harits al-Muzani.
Kisah ini menunjukkan bahwa tawasul dengan Nabi SAW boleh dilakukan setelah wafatnya. Ini juga menjelaskan bahwa para sahabat telah melakukan praktek tawasul dengan Nabi SAW dan sama sekali tidak menganggapnya sebagai bentuk kesyirikan. Jika perbuatan sahabat Bilal al-Muzani ini adalah syirik tentunya sayidina Umar dan para sahabat lain akan menegurnya dengan keras. Kenyataannya tidak demikian.
Dia Pengganti Ibuku, ya Allah
Hadis shahih lain yang menjadi pijakan para ulama sebagai dalil dibolehkannya tawasul adalah riwayat mengenai sabda Nabi SAW ketika Sayidah Fatimah binti Asad dimakamkan. Beliau berdoa. “Ya Allah, dengan (perantara) hakku dan hak para nabi sebelumku, ampunilah pengganti ibuku ini.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Hiban dalam shahihnya. Al-Hakim dan ath-Thabrani semuanya men-shahihkan hadits shahih tersebut. Para perawi hadits tersebut adalah perawi shahih kecuali Rauh bin Shalih, ia memiliki kelemahan, namun Ibnu Hiban menyebutnya sebagai perawi terpercaya, dan al-Hakim menyebutnya sebagai tsiqat (terpercaya). Oleh karena itu status hadits ini adalah hasan. Imam Ibnu Hajar al-Haitsami dalam kitab al-Jauhar al-Munadzom mengatakan sanad hadits ini adalah jayid (baik).
Hadits ini jelas menunjukkan bahwa bertawasul dengan hak (kedudukan) para Nabi adalah boleh.
Ketika Musim Kering Melanda
Dalil berikutnya mengenai kebolehan bertawasul dengan dzat adalah hadits yang disebutkan dalam shahih Bukhari bahwa Sayidina Umar ra meminta hujan pada masa kekeringan dengan Sayidina Abbas, paman Nabi SAW seraya berkata:
“Ya Allah, sesungguhnya kami dahulu bertawasul kepada-Mu dengan Nabi-Mu SAW. Dan sekarang kami bertawasul kepada-Mu dengan paman Nabi kami.”
Maka hujan pun turun.
Para ulama menyebutkan bahwa tawasul Sayidina Umar ini bukan dalil tidak boleh bertawasul dengan Nabi SAW setelah wafatnya, sebab dalil mengenai tawasul para sahabat dengan Nabi SAW setelah wafat sudah ada dan sudah banyak disebutkan.
Ini adalah dalil mengenai kebolehan bertawasul dengan hamba yang sholeh selain nabi. Hadits Ini juga menunjukkan bahwa tawasul tidak harus dilakukan dengan hamba yang paling utama, sahabat Ali bin Abi Thalib lebih utama dari sahabat Abbas namun justru sahabat Abbas yang dijadikan wasilah.
Tawasul dengan sahabat Abbas pada hakikatnya juga adalah tawasul dengan Rasulullah SAW, kalau bukan karena dia dekat dengan Rasulullah saw maka tak mungkin beliau dijadikan tawasul.
Ini artinya bahwa tawasul dengan sahabat juga boleh.
Imam Subki vs Pengekor Wahabi
Tawasul dengan Nabi SAW diperkuat dengan kesepakatan para ulama, baik ulama salaf (baheula) maupun yang kholaf (modern).
Coba saja simak apa yang dikatakan oleh Imam as-Subki:
“Bertawasul, meminta pertolongan, dan meminta syafaat kepada Allah dengan wasilah Nabi adalah baik. Tidak ada seorang pun daripada kaum salaf dan kholaf yang mengingkari hal ini. Namun tiba-tiba datang Ibnu Taimiyah, ia mengingkari hal ini dan melenceng dari jalur yang lurus, memunculkan ide baru yang tidak pernah dikatakan oleh para ulama sebelumnya sehingga terjadilah perpecahan di kalangan umat Islam.”
Dalam ucapannya tersebut, Imam Subki menyatakan bahwa bertawasul dengan Nabi SAW disepakati kebolehannya sampai datang Ibnu Taimiyah. Namun faktanya, Ibnu Taimiyah sendiri sebenarnya tidak mengingkari kebolehan bertawasul dengan Nabi SAW. Yang beliau ingkari adalah istighosah (meminta pertolongan) kepada Nabi SAW dengan makna beribadah kepada Nabi SAW, bukan bertawasul.
Ibnu Katsir, salah satu murid Ibnu Taimiyah menceritakan mengenai tuduhan yang ditujukan kepada Ibnu Taimiyah:
“Ibnu Atho’ menuduh Ibnu Taimiyah dengan banyak tuduhan yang tidak bisa dibuktikan satu pun. Beliau (Ibnu Taimiyah) berkata “Tidak boleh beristighosah selain kepada Allah, tidak boleh beristighosah kepada Nabi dengan Istighosah yang bermakna Ibadah. Namun boleh bertawasul dan meminta syafaat dengan perantara beliau (Nabi shalallahu `alaihi wa salam) kepada Allah”.
Maka, sebagian orang yang menyaksikan menyatakan, ia tidak memiliki kesalahan dalam masalah ini”
(al-Bidayah Wan Nihayah juz 14 hal. 51)
Kini jelaslah sudah, bahwa tawasul dengan Nabi sama sekali tidak diingkari oleh Ibnu Taimiyah, sedangkan tuduhan yang dialamatkan kepada beliau itu adalah keliru.
Bahkan dalam fatwanya Ibnu Taimiyah menegaskan bahwa tawasul dengan Nabi SAW adalah disyariatkan dalam berdoa. Beliau menegaskan:
“Termasuk ke dalam hal yang disyariatkan adalah bertawasul kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam di dalam do’a sebagaimana terdapat di dalam Hadis yang diriwayatkan oleh at-Turmudzi dan dishahihkan olehnya bahwa:
Nabi SAW mengajarkan seorang untuk berdoa: Ya Allah, sesungguhnya Aku bertawasul kepada-Mu dengan perantara Nabi-Mu Muhammad, Nabi yang rahmat. Wahai Muhammad, sesungguhnya aku bertawasul dengan perantaraanmu kepada Tuhanku agar DIA menunaikan hajatku itu. Wahai Allah, jadikan ia orang yang memberikan syafaat kepadaku.” Tawasul yang seperti ini adalah perbuatan baik.
Sedangkan berdoa dan beristighosah kepadanya (Nabi Muhammad shalallahu `alaihi wa sallam) maka itu merupakan perbuatan yang haram. Perbedaan di antara keduanya telah disepakati di kalangan umat Islam. Orang yang bertawasul sebenarnya hanya berdoa kepada Allah, menyeru kepada-Nya dan memohon pada-Nya. Ia tidak berdoa kepada siapapun selain kepada-Nya, ia hanya menghadirkan Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam. adapun orang yang berdoa dan meminta tolong maka berarti ia memohon kepada yang ia seru dan meminta darinya serta meminta tolong serta bertawakal kepadanya. Sedangkan Allah merupakan Tuhan semesta Alam.
(Majmu Fatawa juz 3, halaman 276)
Berdoa dan beristighosah yang dilarang Ibnu Taimiyah sudah dijelaskan yaitu dengan makna beribadah. Semua ulama sepakat bahwa beribadah kepada Nabi Muhammad SAW adalah syirik, berbeda dengan beribadah kepada Allah dengan melalui wasilah Nabi Muhammad maka itu adalah disyariatkan.
Muhammad bin Abdul Wahhab (Pendiri Wahabiah)
Selama ini umat Islam tahu bahwa kaum wahabi (para pengikut Abdul Wahab) menghukumi syirik bagi siapa saja yang bertawasul dengan nabi SAW dan orang sholeh. Namun, ternyata Abdul Wahab sendiri menganggap masalah tawasul adalah masalah ijtihadiyah yang tidak perlu diperselisihkan. Dalam kumpulan tulisannya, disebutkan bahwa beliau berfatwa:
Mengenai adanya sebagian ulama yang memperbolehkan untuk bertawasul dengan orang-orang sholeh dan sebagian lain yang hanya mengkhususkan kebolehan itu dengan Nabi shalalllahu `alaihi wa salam saja, maka mayoritas ulama (?) melarangnya dan tidak menyukainya. Ini merupakan satu masalah daripada masalah-masalah fiqih walaupun pendapat yang benar menurut kami adalah pendapat jumhur yang menyatakan bahwa bertawasul adalah makruh. Namun kami tidak mengingkari orang yang melakukannya karena tidak ada ingkar atas permasalahan-permasalahan ijtihadiyah. Namun pengingkaran kami hanya ditujukan bagi orang yang berdoa kepada mahluk dengan lebih mengagungkannya daripada ketika menyeru kepada Allah.
(Majmu mualafat Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab juz 2, hal 41 cetakan Darul Qasim)
Meskipun pernyataan beliau keliru dalam hal bahwa jumhur ulama tidak menyukai tawasul dengan Nabi dan orang shaleh, namun kenyataaannya justru para ulama sepakat menganggap baik hal itu. Namun sikap beliau mengenai tawasul jelas: itu adalah masalah ijtihadiyah.
Abdul Wahab tidak mengingkari tawasul, yang beliau ingkari adalah jika seorang mengagungkan orang shaleh lebih daripada pengagungannya kepada Allah SWT. Dan sudah maklum, tidak ada seorang muslim pun bertawasul dengan menganggap wasilahnya lebih agung dari Allah SWT.
Terakhir, Jika Ibnu Taimiyah dan Muhammad bin Abdul Wahab tidak pernah mengingkari seorang yang bertawasul kepada nabi mau pun orang shaleh, lantas darimana kaum Wahabi mendapatkan ajaran untuk meganggap syirik orang yang bertawasul?