BEBERAPA berguna peringatan Hri Santri yg ditetapkan tiap-tiap 22 Oktober & sejak mulai diberlakukannya pada tahun ini? Kalau kita tanya ke kalangan Nahdliyin (warga NU), dengan cara acak di fasilitas sosial sanggup dgn gampang ditemui suara-suara riang. Keberadaan identitas santri yg kadung melekat terhadap ormas mereka, NU, seolah diteguhkan. Bersama peringatan ini, keberadaan santri dipercaya negeri kendati tak hingga ada penetapan hri libur nasional.
Diluar soal pernyatan eksistensi & peneguhan identitas, penetapan 22 Oktober juga sebagai Hri Santri Nasional tak terlepas dari pemenuhan janji politik Presiden Jokowi pada sebahagian elit NU selagi periode kampanye setahun dulu. Menjadikan 22 Oktober juga sebagai Hri Santri Nasional bertitik tolak dari histori resolusi jihad yg dipioniri Kiai Hasyim Asy’ari, pendiri NU. Penetapan tanggal ini edit janji Joko Widodo yg mau menjadikan tiap-tiap
1 Muharam juga sebagai
Hri Santri Nasional.Andil anasir NU, baik dengan cara personal ataukah mewakili kelembagaan, terang tak akan dimungkiri. Walau dengan cara Instansi NU bersikap netral selagi Pilpres 2014, deretan pengurusnya sendiri tetaplah manusia politik biasa. & keberadaan kader NU di badan pemerintahan berandil dalam menggolkan syiar keperluan grup bersama obsesi dapat jadi agenda nasional umat Islam.
Setali dgn Hri Santri Nasional, zaman pemerintahan waktu ini terbilang kondusif. Anasir NU menggencarkan ambisi pemikiran
khas (semisal konsep
Islam Nusantara) buat jadi rujukan bagi umat yang lain. Suatu kepercayaan diri kepada kebenaran yg dianut, & mudah-mudahan tak memaksakan penilaian terhadap kalangan lain sesama umat beriman.
Muhammadiyah, di lain pihak, lewat ketua kebanyakan, seperti dilansir page Republika, menolak penetapan Hri Santri Nasional. Alasannya,
mengusik polarisasi santri & bukan-santri yg sejauh ini telah mencari. Muhammadiyah tak mau umat Islam kian terpolarisasi dalam kategorisasi santri & nonsantri.
“Buat apa menjadikan seremonial umat yg justru menciptakan kita terbelah?” ucap Haedar Nashir, sang ketua umum. Terkecuali itu, penetapan hri santri seakan tak mengindahkan agenda strategi umat yg lebih utama & besar, seperti kemiskinan umat & ketertinggalan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.
Pasti saja keberatan Muhammadiyah, & aspek umat Islam yang lain, enteng disanggah bagi yg menyokong kuat kemauan pemerintah. Bukan sebab alasannya lemah, atau argumentasi yg kurang ilmiah. Basis logika & dalil buat menolak ketidaksetujuan mungkin sebab politis belaka. Seandainya telah pokoknya, & lagi lalu sempat kadung berjanji di hadapan para kiai, bangunan logika & dalil agama tak lagi utama.
Merayakan Hri Santri Nasional kiranya telah menjadi takdir kenikmatan bagi NU di zaman waktu ini. Fakta ini tak boleh diusik oleh sesama saudaranya. Apalagi makna “santri” sejatinya tak identik bersama ormas tersebut.
Muhammadiyah, Al-Irsyad, Persatuan Islam, sampai gerakan-gerakan Islam kontemporer yg marak belakangan, tentu lah mempunyai pesantren bersama pesertanya disebut “santri”. Kalaupun ada klaim sepihak seperti sekian banyak bln dulu utk aktivitas kembali ke pondok pesantren juga sebagai ejawantah kalangan Islam tertentu, anggap saja itu kasus berlainan.
Bersama nikmat idenya diakomodasi, kiranya anasir umat bertenggang rasa terhadap NU. Tinggal menyalami & mengingatkan NU buat tak jumawa. Pengalaman tatkala masuk ke dalam system kekuasaan NASAKOM di bawah Presiden Sukarno mudah-mudahan bukan episode yg diabaikan demikian saja.
Hri ini benar-benar tak hingga menjadi juru resmi wakil agamawan Islam di tiap kebijakan Joko Widodo. Cuma saja, telah mafhum jika Joko Widodo mendapat area tersendiri di tidak sedikit kalangan Nahdliyin. Bersama dicanangkannya Hri Santri Nasional, NU sanggup betul-betul menjadi santri dalam arti sebenarnya tepat garis perjuangan otentik yg ditandaskan para pendiri.
Sebaliknya, NU tak boleh asyik bancakan bersama diambilnya ide-ide oleh pemerintahan sekarang ini. Islam Nusantara pass hadirkan gelontoran dana agung yg sukar dihindarkan; sejak mulai dari sebatas arena lomba sampai forum ilmiah.
Kali ini
Hari Santri Nasional mudah-mudahan tak cuma bancakan duit rakyat demi seremonial penghormatan kepada grup yg kadung dimitoskan dapat representasikan seluruh kalangan, khususnya yg mendaku Ahlus-Sunnah Nusantara.
Disaat yg sama, baiknya Muhammadiyah & ormas atau aktivitas yang lain tak terlampaui berisik. Biarkan NU kali ini berada di “atas”. Toh kenikmatan yg bergelimang publisitas ini pasti ada pertanggungjawabannya kelak. []