04 Desember, 2008

SEJARAH USHUL FIQH


Sebagai pembuka, saya akan kutip dengan agak lebih panjang pandangan tokoh 
pendiri NU, Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari, tentang metode “istinbath” atau 
teknik pengambilan hukum-hukum fiqh : 
 
“….Syariat tidak dapat dikenali kecuali 
melalui tradisi istinbath. Tradisi tidak dapat berjalan kecuali dengan cara 
setiap generasi mengambil dari generasi sebelumnya secara berkesinambungan; 
sementara dalam mengadakan istinbath, mazdhab-mazdhab sebelumnya harus dikenali 
agar tidak keluar dari pendapat ulama sebelumnya, yang dapat menyebabkan keluar 
dari ijma’. istinbath harus didasarkan pada mazdhab-mazdhab terdahulu, dan 
dalam hal ini harus menggunakan (meminta bantuan) kepada generasi sebelumnya…. 

Apabila berbegangan kepada pendapat-pendapat ulama salaf merupakan kemestian, 
maka pendapat-pendapat mereka yang dipegangi harus diriwayatkan dengan sanad 
(mata rantai) yang valid, atau tertulis dalam buku-buku masyhur. Harus 
dijelaskan pendapat mana yang unggul dari pelbagai pendapat yang mungkin; 
dijelaskan pula pendapat-pendapat ‘am (umum, general) yang bisa di-takhshis 
(dipartikularkan), yang mutlak di-taqyid di beberapa tempat (kasus), 
mengkompromikan hal-hal yang diperselisihkan, dan dijelaskan pula ‘illat-‘illat 
hukumnya, sebab kalau tidak demikian, tidak dibenarkan memegangi pendapat 
tersebut. Tidak satupun mazdhab di masa akhir-akhir ini yang memiliki 
karakteristik seperti diatas kecuali empat mazdhab…” 
[Hasyim Asy’ari 1999: 55-56]. 

Apa yang dikemukakan Kiai Hasyim Asy’ari diatas tidaklah beranjak jauh dari 
pola umum tradisi fuqaha Sunni di masa klasik menyangkut perkara “istinbath” 
atau metode penarikan keseimpulan hukum-hukum agama. “Istimbath harus didasrkan 
pada mazdhab terdahulu”. Dan itu berarti “berpegangan pada pendapat-pendapat 
ulama salaf”. Bagaimana caranya? Kutipan diatas menjelaskannya secara rinci : 
pertama, kwalitas pendapat-pendapat tersebut harus diverifikasi dulu, apakah 
punya otoritas tertentu, seperti sanad atau dimuat dalam kitab-kitab yang 
diakui (mu’tabarah); kemudian setelah diketahui punya keabsahan, langkah 
berikutnya adalah meneliti “pendapat-pendapat mana yang unggul dari pelbagai 
penadapat yang mungkin”, baik dengan teknik takhsis, taqyid maupun tarjih, 
yakni “mengkompromikan yang dipereselisihkan”. Sebagai teknik pendukung, juga 
diungkap cara-cara menentukan “’illat-‘illat” (sebab atau faktor-faktor 
munculnya hukum), yang biasa berlaku dalam model penalaran qiyas (analogi) 
sehingga bisa tercapai satu konklusi hukum yang tepat dan dianggap meyakinkan. 

Teknik-teknik “istinbath” atau penalaran dan pengambilan hukum semacam ini 
selanjutnya dominan dalam pengajaran-pengajaran fiqh dan ushul fiqh di 
pondok-pondok pesantren, dan dalam pengambilan keputusan hukum-hukum agama 
dalam forum resmi NU, seperti bahtsul masa’il. Pola penalaran ini kemudian 
dikemudian dikenal dengan sebutan “bermazdhab secara qauli (lieteralis)”. Namun 
perkembangan berikutnya bermunculan, seiring dengan munculnya gugatan-gugatan 
dari dalam tubuh NU untuk meninjau kembali orientasi bermazdhabnya yang selama 
ini dikenal konservatif dan tidak maju. Berbeda dengan kakeknya, Abdurrahman 
Wahid, salah seorang penggugat dari generasi belakangan NU, tampil menyuarakan 
satu lontaran tentang perlunya “bermazdhab secara manhaji”, yakni bermazdhab 
secara kontekstual-metodologis dan bukan lagi berdasarkan pada kecakapan 
mengutip-ngutip pandangan-pandangan para ulama terdahulu. Di tahun 1988, ia 
pernah menyatakan demikian: 

“… di NU muncul satu pandangan yang sangat meluas bahwa sebenarnya yang 
dinamakan bermazdhab itu bukanlah menggunakan aqwâl al-mazhahib (pendapat dari 
mazdhab), melainkan berpikir secara metodologis yang disetujui mazdhab 
tersebut. Jadi penggunaan ushul fiqh dan qawâid al-fiqh, [dan] bukan mengambil 
dari aqwal fiqhiyyah-nya an sich. 

..di sini tajdid terjadi. Kalau begitu, sebenarya kita bisa mengambil dua pola; 
tajdid dalam arti mengubah metodologi berpikir, yaitu satu model tajdid yang 
lebih tuntas, dan satu lagi tajdid dalam kerangka atau metodologi berpikir yang 
sudah ada.” [Abdurrahman Wahid 1993: 193-194]. 
 

Problem Ijtihad Dalam Ushul Fiqh 

Sebelum menguji lebih jauh bagaimana interaksi antara kedua pola bermazhab ini, 
qauli dan manhaji, dan apa relevansinya bagi upaya mengedepankan ushul fiqh 
sebagai “pencerahan pemikiran”, terutama dalam menangani kasus-kasus hukum 
agama, terlebih dahulu akan dikemukakan sejarah pembentukan dasar penalaran 
fiqh (yang lalu disebut ushul fiqh) sebagaimana yang dikenal dalam lingkaran 
Sunni, dalam arti seperti yang dikenal dalam lingkungan empat mazhab fiqh: 
Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali.  
 Kehendak untuk melakukan pembakuan cara-cara berpikir dalam fiqh lahir dalam 
situasi ketegangan antara pendukung hadits (naql) dan ra’y (‘aql, rasio), yakni 
antara pengikut Imam Malik dan Imam Abu Hanifah. Imam Malik dinilai terlalu 
longgar berpegangan pada hadis (waktu itu kalangan Maliki menyebutnya 
“Sunnah”); sementara Abu Hanifah terlalu sering mengabaikan hadis demi ra’y. 
Misalnya sabda Rasulullah, “Penunggang kuda mendapat dua bagian, prajurit 
mendapat satu bagian”, namun oleh Abu Hanifah ditolak dengan mengatakan, “Aku 
tidak akan menjadikan bagian binatang lebih banyak daripada bagian seorang 
mukmin”. Rasulullah melakukan isy’ar (melukai punggung unta) sebelum 
menyembelih hewan kurbannya. Komentar Abu Hanifah, isy’ar adalah penganiayaan. 

Kenyataan inilah yang kemudian mendorong salah seorang murid Imam Malik, Imam 
Syafi’I (150-204 H), menyusun satu metodologi hukum yang selain bisa 
mempertemukan kedua kubu di atas, juga menjadi pedoman dalam menarik kesimpulan 
hukum yang baku dari teks-teks suci agama. Sehingga pertentangan kedua kubu, 
yang melahirkan ekspresi kebebasan berpikir, bisa diredam sedini mungkin 
[mengenai akar-akar kehendak untuk menyeragamkan pemikiran ini, lihat Bab 7 
dalam buku ini]. Kita akan lihat sejauhmana Imam Syafi’i merumuskan dasar-dasar 
berpikir tersebut, yang oleh Fakhr al-Din al-Razi dibandingkan dengan posisi 
Aristoteles dalam bidang filsafat [al-Razi t.t.: 100]. Kalau Aristoteles 
berhasil merumuskan satu sistem filsafat dengan metodologi manthiq-nya 
(logika), demikian pula al-Syafi’i yang dianggap berhasil merumuskan cara-cara 
berpikir dalam agama dengan metodologi ushul fiqh-nya, seperti tertuang dalam 
master piece-nya, al-Risalah. 

al-Risalah dimulai dengan penjelasan tentang sejumlah karekteristik bahasa yang 
dipakai al-Qur’an. Ada yang maknanya sudah jelas dan tidak membutuhkan 
penafsiran; ada yang maknanya kabur, namun dijelaskan oleh Rasulullah; ada 
makna yang dinyatakan secara umum, namun diperinci oleh Rasulullah; ada pula 
yang didiamkan oleh Allah, tapi diterangkan oleh Rasulullah, sehingga 
memperoleh kekuatan hukum yang sama, karena adanya perintah taat kepada Allah 
dan Rasul-Nya. Terakhir, ada yang diserahkan kepada kemampuan ijtihad manusia 
untuk mengetahuinya [al-Syafi’i 1940: 22-25]. 

Kekuatan al-Syafi’i terletak pada proyeknya yang mendasarkan prinsip-prinsip 
penalaran hukum agama pada hukum-hukum bahasa, baik segi semantik maupun 
gramatika maupun sintaksisnya. Dan hukum-hukum bahasa ini dirangkum olehnya 
dengan kata “al-bayân”; “al-bayan ism jâmi’ li ma’âni mujtami’ah al-ushûl 
mutasyâ’ibah al-furû’” (Bayân adalah konsep [abstrak] yang mencakup baik 
makna-makna dasar dan prinsip-prinsip yang bertemu sebagai satu kesatuan, 
maupun cabang-cabang makna yang bersifat parsial) [Ibid.: 21]. Di sini “bayân” 
tidak lagi terkait dengan makna literalnya yang berarti “jelas, ekplisit, 
terang dan fasih”, tapi telah diangkat menjadi sebuah konsep dengan arti 
khusus, yang terkait dengan cara-cara berbahasa, memahami bahasa dan juga 
menimba penalaran dari bahasa. Lalu bagaimana ia merumuskan “ushul” dan “furu’” 
tersebut dalam lingkungan penalaran-penalaran hukum agama yang digelutinya? 
Dalam soal ini, Imam al-Syafi’i mendasarkan diri sepenuhnya pada al-Qur’an, 
karena menurutnya “tidak ada persoalan yang ditemui oleh seorang penganut agama 
Islam kecuali ia dapatkan dalam al-Qur’an petunjuk untuk memecahkannya” [Ibid.: 
20]. 

Imam al-Syafi’i menyebut empat tingkatan “bayan” al-Qur’an yang masing-masing 
disebutnya mempunyai kekuatan hukum yang sama [Ibid.:21-22]. Pertama, hal-hal 
yang diterangkan oleh Allah dalam al-Qur’an kepada makhluk-makhluk-Nya tanpa 
membutuhkan penjelasan di luar dirinya, seperti kewajiban shalat dan 
pengharaman khamar atau minuman keras. Kedua, hal-hal yang disebutkan oleh 
Allah secara umum, namun perincian dan penjelasan detilnya berada di tangan 
Rasul-Nya, seperti jumlah rakaat shalat. Ketiga, hal-hal yang tidak tertera 
dalam al-Qur’an namun diterangkan oleh Rasulullah. Keempat, hal-hal yang 
dibebankan oleh Allah kepada manusia untuk melakukan ijtihad ketika menemukan 
kasus-kasus baru namun belum memperoleh status hukumnya. 

Dari sini kita bisa menemukan dua titik perhatian yang digarisbawahi oleh Imam 
al-Syafi’i: penalaran hukum berdasarkan pada analisa bahasa dan sistem ijtihad 
berdasarkan analogi atau qiyas. Dalam konteks yang pertama, kita menemukan 
sebagian besar pembahasan tema-tema dalam ushul fiqh mengambil titik tolaknya 
dari persoalan bahasa. Menurut Imam al-Syafi’i, untuk mengetahui kandungan 
makna al-Qur’an dan untuk menarik kesimpulan hukum darinya, diperlukan 
perangkat pengetahuan yang memadai tentang bahasa Arab, termasuk unsur-unsur 
pengungkapan kalimat. Ini berarti mengkaitkan struktur makna dengan struktur 
lafadz atau kata. Yakni, sebuah makna tidak akan mungkin bisa ditemukan tanpa 
mengkaitkannya dengan apa yagn tersurat dalam sistem bahasa yang dikenal dalam 
bahasa Arab. Ini selanjutnya membentuk satu konstruk pemikiran yang mengarahkan 
perhatiannya secara eksklusif pada teks. Dan kita pun tahu, sebagian besar 
kitab-kitab ushul fiqh menyediakan satu porsi tersendiri tentang metode-metode 
dan teknik-teknik yang berlaku dalam bahasa (asâlîb) yang menghabiskan sampai 
ratusan halaman. Karya Abu al-Husain al-Bashri (w.436 H), al-mu’tamad fi Ushul 
al-fiqh, misalnya, menghabiskan 350 halaman untuk pembahasan hukum-hukum bahasa 
dari jumlah keseluruhan 990 halaman dari kitab tersebut yang terdiri dari dua 
volume. 

Ini tergambar dengan jelas dalam soal pembakuan hukum-hukum penafsiran 
teks-teks agama, terutama dalam masalah bentuk-bentuk dalâlah (kandungan makna 
suatu lafaz). Bentuk-bentuk dalâlah tersebut diuraikan secara detil oleh 
al-Syafi’i dalam kutipan berikut: 

“…Sesungguhnya Allah mengkomunikasikan [hukum-hukum dan perintah-Nya] dalam 
al-Qur’an kepada bangsa Arab dengan bahasa mereka sendiri sesuai dengan yang 
dikandung dan dikenal dalam bahasa mereka. Di antara yang dikandung dan dikenal 
dalam bahasa mereka adalah keluasan cakupan bahasa tersebut. Mereka biasanya 
menggunakan satu lafaz yang bersifat umum (‘âm) dan eksplisit (zhâhir), dan 
dimaknai dalam pengertiannya yang juga bersifat umum dan eksplisit, sehingga 
tidak lagi memerlukan makna selainnya. Kadang juga suatu lafaz bersifat umum 
dan eksplisit, namun bisa juga dimaknai dalam pengertian yang lebih khusus 
(khash), sehingga bisa dijadikan pegangan untuk mengambil satu konklusi hukum 
dari sebagian arti yang dicakupinya [apakah itu khusus atau umum]. Ada juga 
lafaz yang bersifat umum dan eksplisit , namun dimaknai dalam pengertiannya 
yang bersifat khusus. Atau ada juga lafaz eksplisit dan literal namun 
menunjukkan makna lain dari arti ekplisit dan literalnya karena adanya konteks 
khusus yang menghendakinya … 

Orang Arab biasa memulai satu makna dalam bahasanya dengan sesuatu yang jelas 
terungkap dari awal kalimat sebelum sampai ke akhir kalimat. Kadang juga 
mengungkap sesuatu dengan jelas bukan pada awal kalimat tapi pada akhir 
kalimat. Kadang juga mereka mengungkap suatu makna tanpa suatu kejelasan satu 
lafaz tertentu, tapi melalui sebuah isyarat. Bentuk seperti ini adalah yang 
tertinggi dalam bahasa mereka, dan itu hanya bisa dipahami oleh yang ahli dan 
bukan oleh yang awam [tentang struktur bahasa Arab]. Orang Arab juga menyebut 
satu makna dengan sejumlah kata atau lafaz atau sebaliknya, menyebut satu kata 
dengan arti yang begitu banyak dikandungnya[Ibid.:51-52]. 

Maka, bisa dipahami kemudian kalau persoalan istinbath dalan 
literatur-literatur ushul fiqh adalah persoalan yang terkait dengan teks dengan 
segenap tangga-tangga dalalah-nya, mulai dari makna yang mudah ditangkap hingga 
ke yang paling subtil, dan ini kemudian bertambah kompleks dan njelimet setelah 
wafatnya al-Syafi’i. Kita lihat bentuk-bentuk dalalah tersebut bukan cuma 
bertingkat-tingkat secara vertikal tapi juga secra horisontal bercabang-cabang, 
mulai dari bentuk ‘am, khash, musytarak, sharih, kinayah, hingga muhkam, 
mufassar, nash, khafi, musykil, mujmal, dan mutasyabih. Belum lagi bila dilihat 
dari sisi metodenya: ada yang berupa dalalah al-‘ibrah, dalalah al-isyarah, 
dalalah al-nash, dalalah al-iqtidla’ hingga mafhum mukhalafah dan mafhum 
muwafaqah. Yang kesemuanya itu lazim ditemukan dalam teks-teks disiplin ushul 
fiqh. Sehingga praktis pemikiran ushul fqh, terutama yang tertuang dalam metode 
pengambilan keputusan hukum atau istinbath, diarahkan pada cara-cara mencermati 
teks-teks agama, apakah itu al-Qur’an atau hadis, pada sisi linguistik dan 
semantiknya. Yakni mencari-cari makna teks dengan mengamati bentuk-bentuk 
dalalah atau lafaz-nya, apakah itu khas, ‘am, musytarak, kinayah, sharih, 
mujmal, mutasyabih,…dan sebagainya. Implikasinya kemudian adalah lahirnya 
kecenderungan berpikir yang berorientasi dan berangkat dari lafaz ke makna, 
bukan dari makna ke lafaz atau kata seperti dikenal dalam sistem bahasa Eropa, 
seakan-akan lafaz tampak sebagai sebuah tambang makna yang menyimpan jawaban 
atas segenap persoalan-persoalan hukum dan persoalan-persoalan duniawi. 

Dari sinilah kemudian kita bisa memahami mengapa studi ushul fiqh 
diorientasikan pada pengkajian tentang “wujûh dalâlah al-adillah ala al-ahkâm 
al-syar’iyyah” (bentuk-bentuk dalalah dari dalil-dalil yang menunjukkan 
hukum-hukum agama ), karena yang namanya istidlal atau istinbath hanya 
dimungkinkan melalui sebuah teks. 

Apalagi empat sumber hukum utama atau tasyri’ (al-Qur’an, hadis, ijma, dan 
qiyas atau analogi) mendapatkan legitimasi dan otoritasnya dari teks agama. 
al-Qur’an dan hadis jelas merupakan teks yang mendasarkan otoritasnya pada 
dirinya sendiri. Sementara ijmâ’ atau kesepakatan para ulama memperoleh dasar 
hukum dan otoritasnya dari teks, karena adanya ajaran dalam teks tentang 
keharusan berbegang kepada suara jama’ah dan juga karena adanya periwayatan 
teks-teks agama yang dikukuhkan melalui jalur “mutawatir” (bentuk periwayatan 
berita atau hadis yang melibatkan sejumlah besar pihak). Sedangkan qiyas, 
menganalogikan satu kasus yang belum memiliki status hukum dengan satu kasus 
lainnya yang sudah punya status hukum, juga memperoleh basis otoritasnya dari 
teks karena ia merupakan satu bentuk penalaran yang mengacu kepada apa yang 
disebut Imam al-Syafi’i sebagai “mitsâl sâbiq” atau contoh ideal yang sudah ada 
sebelumnya, yaitu teks al-Qur’an dan hadis Nabi. Maka pada tingkatan inilah, 
kita bertemu dengan fokus lainnya dari proyek al-bayan-nya Imam al-Syafi’i, 
yaitu ijtihad. 

Seperti telah disinggung sebelumnya, persoalan krusial yang diahadapi 
al-Syafi’i adalah masalah membengkak dan makin bebasnya gerakan ijtihad di 
tangan kaum “rasionalis” (ahl ra’y) yang melampaui batas-batas otoritas 
teks-teks atau nash-nash agama. Mereka bukan hanya berasal dari latar belakang 
filsafat tapi juga dari latar belakang tradisi agama kuno seperti Hermetisisme 
dan Neo-Paltonisme sebagaimana yang diadopsi kaum bathiniyyah (esoteris) dan 
Syi’ah Ismaili. Mereka berupaya melampuai teks dengan mencari makna 
terselubung, yang tidak tersurat dalam makna harfiyahnya, dan menukik dan 
menyelam lebih dalam seakan-akan makna tersebut sudah keluar dari teks itu 
sendiri. Seperti penafsiran sebagian mereka atas teks al-Qur’an “marajal 
bahrain”, dengan mengatakan bahwa yang dimaksud bahrain (dua laut) itu adalah 
Ali dan Fathimah. 

Saking gerahnya dengan kebebasan penafsiran semacam ini, Imam al-Syafi’i 
kemudian berupaya mengatur dan mengarahkan kebebasan akal tersebut sehingga 
bisa terjerat dalam genggaman teks, dan tidak keluar dari pakem-pakem yang 
sudah ada. Dengan ini ia mengajukan seperangkat aturan-aturan yang memungkinkan 
kegiatan akal manusia terkait erat dengan otoritas teks, dan bukan di luar 
teks. Minimal menjadikan teks sebagai acuan utamanya, sebagai tempat 
sandarannya, dan juga tempatnya untuk kembali, seperti halnya yang kita lihat 
dalam kasus istinbath dari lafaz dan bahasa. Baginya, ”Ijtihad selamanya tidak 
akan mungkin tanpa didasarkan pada keharusan mencari sesuatu. Dan yang namanya 
mencari sesuatu itu hanya dimungkinkan kalau disertai dengan sejumlah petunjuk. 
Nah, petunjuk-petunjuk itu disebut qiyas” [Ibid.: 505]. 

Singkatnya, seperti ditegaskan sendiri olehnya, ijtihad itu hanyalah berupa 
qiyas, tiada yang lain (al-ijtihad al-qiyas) [Ibid.: 477]. Dalam konteks ini 
tidak akan diungkap analisa Nashr Hamid Abu Zaid yang menyebut teori Imam 
Syafi’I ini sebagai dukungan terhadap kaum “literalis” (ahl hadits) untuk 
mempersempit ruang gerak kaum ahl ra’y, yang kemudian dari sana memperpanjang 
gurita sakralisasi agama terhadap urusan-urusan duniawi [Abu Zaid 1996]. Yang 
relevan di sini adalah konsekuensi apakah yang akan ditimbulkan oleh cara-cara 
berpikir seperti yang dirumuskan oleh Imam al-Syafi’i tentang qiyas ini dalam 
konteks pemikiran ushul fiqh. 

Pertama-tama adalah persoalan jangkauan teks agama yang diperlebar dan 
diperluas oleh teori tentang qiyas ini. Sebelum al-Syafi’i, ada satu keyakinan 
di kalangan tokoh-tokoh ulama di saat itu bahwa jangkauan teks agama sangatlah 
terbatas, dan tidak banyak memberikan jawaban tuntas terhadap kasus-kasus hukum 
yang baru. Bahkan ada hadis Nabi, yang dikutip sebagai dukungan terhadap 
pendapat ini, yang mengatakan “antum a’lamu bi umûri dunyâkum” (kalian lebih 
tahu tentang urusan dunia kalian). Sehingga, tidak heran kemudian kalau 
kebanyakan pengikut Imam Abu Hanifah dan Imam Malik menerapakan metode istihsân 
dan mashâlih mursalah (prinsip menganggap baik dan bermanfaat dan prinsip 
kemaslahatan bebas tanpa ikatan dengan teks) 1 untuk menjawab 
persoalan-persoalan kekinian yang tidak dinyatakan secara eksplisit oleh 
nash-nash atau teks-teks agama. 

Kemudian, setelah kemunculan al-Risalah, al-Syafi’i dengan tegas menolak 
cara-cara berpikir demikian. Menurutnya, seperti dikutip di atas, “tidak ada 
persoalan yang ditemui oleh seorang penganut agama Islam kecuali dalam 
al-Qur’an terdapat petunjuk untuk memacahkannya”. Dan itu berarti, ijtihad 
harus didasarkan pada adanya satu model yang muncul terlebih dahulu (ala mitsâl 
sâbiq) [al-Syafi’i 1940: 25], dan itu berupa teks-teks otoritatif agama, 
al-Qur’an dan hadis. Dan hal ini tidak dimiliki oleh bentuk-bentuk berpikir 
semacam istihsan dan mashalih mursalah, karena model berpikir demikian lebih 
banyak mengandalkan pikiran manusia tanpa ada dasarnya dalam al-Qur’an maupun 
sunnah atau hadis. Seperti dikatakannya: “Qiyas merupakan satu bentuk penalaran 
yang mencari petunjuk-petunjuk berdasarkan pada teks-teks (khabar) sebelumnya, 
yang berupa al-Qur’an maupun sunnah, karena keduanya ini adalah rambu-rambu 
kebenaran yang mengharuskan kepada kita untuk menemukannya, seperti halnya yang 
berlaku dalam kasus menghadap ke kiblat dalam shalat …” [Ibid.:40]. 

Sebagai catatan, al-Syafi’i sering mengangkat kasus menghadap ke kiblat sebagai 
pendasaran argumen validitas qiyas saebagai salah satu sumber hukum agama. 
Menurutnya, bila kita tidak melihat langsung Ka’bah di Mekkah karena tempat 
yang jauh, seperti di Indonesia, maka kita diharuskan bersungguh-sungguh 
mengamati kemana arah kiblat meski kita tidak melihatnya dengan mata kepala 
sendiri. Dan upaya sungguh-sungguh itu bisa berupa mencari kompas, mencocokkan 
dengan arah mata angin, dengan arah terbit dan terbenamnya, atau dengan 
bertanya kepada orang-orang yang tahu dan pernah ke melihat langsung Ka’bah. 
Jadi, qiyas pun juga merupakan upaya sungguh-sungguh – dengan cara apapun asal 
tidak keluar dari arah yang dituju – untuk mengarahkan status hukum dari satu 
kasus baru kepada asalnya, yaitu al-Qur’an dan hadis, meski kasus baru tersebut 
tidak dimuat secara eksplisit dalam kedua sumber utama hukum tersebut. 

Bila demikian, apakah qiyas itu sama saja dengan ittibâ’ (mengikuti sebuah 
contoh) Bisa jadi. Karena, sebagaimana halnya dalam bidang gramatika bahasa 
Arab (nahw) dimana qiyas berarti iqtida’ dan ittiba’ seperti dikatakan 
Jalaluddin al-Suyuthi dalam al-Iqtirâh fi ‘Ilm Ushul al-Nahw [lihat al-Jabiri 
1992c: 137-173], qiyas dalam ushul fiqh juga berarti ittiba’. Ketika ditanyakan 
apakah boleh ber-istihsan tanpa melalui mekanisme qiyas, Imam al-Syafi’i 
menjawab tegas bahwa hal itu tidak diperkenankan, karena seseorang diharuskan 
ittiba’ dalam perkara yang tidak dinyatakan secara eksplisit oleh teks, dan 
ittiba’ itu berupa menerapkan mekanisme qiyas [1940: 504]. Singkatnya, “tidak 
diperkenankan seseorang untuk menghukumi sesuatu haram atau halal tanpa melalui 
jalur ilmu , dan jalur ilmu tersebut tiada lain adalah teks al-Qur’an dan 
sunnah, atau ijma’, atau qiyas” [Ibid.:39]. Kalimat inilah yang sering dikutip 
di belakang hari bukan hanya oleh para pengikut mazdhab al-Syafi’i, tapi juga 
pengikut mazdhab fiqh lainnya, dan kemudian menjadi aturan normatif bagi 
kerja-kerja istinbath dan penalaran ushul fiqh di lingkungan tradisi empat 
mazhab fiqh. 

Konsekuensi berikutnya yang perlu digarisbawahi dari pendasaran aturan-aturan 
normatif tersebut adalah menguatnya pola berpikir ortodoksi yang menjadikan 
masa lalu yang ideal sebagai rujukan yang tidak pernah kering mata airnya. Ini 
juga dimungkinkan karena al-Syafi’i sendiri menyatakan bahwa sebagai mekanisme 
qiyas seseorang harus mengetahui “tradisi masa lalu, tradisi masyarakat salaf, 
termasuk kesepakatan-kesepakatan (ijma’) dan perbedaan-perbedaan pendapat 
mereka, dan juga harus menguasai bahasa Arab” [Ibid.: 510]. Dari sini kemudian 
kita lihat bahwa dasar-dasar penalaran yang dibangun al-Syafi’i bukan cuma 
ditujukan untuk mengatur pola hubungan yang serasi dan penuh damai antara kubu, 
yakni ahl ra’yu dan ahl hadits , tapi juga lebih dari itu, ditujukan untuk 
mengabsahkan cara berpikir yang senantiasa merujuk dan kembali kepada masa lalu 
dan kepada teks sebagai otoritas tertinggi. Proyek al-Syafi’i ini disebut 
Muhammad Abed al-Jabiry sebagai “al-tasyri’ lil ‘aql” [1998b], yang 
dikatakannya membatasi ruang gerak penalaran manusia pada wilyah teks semata, 
sehingga mengabaikan dimensi-dimensi yang sifatnya politically contested, 
historically unfinished yang terangkum dalam konsep “kemashlahatan umat 
manusia” (mashlahah). 

Lalu, bukankah dalam mazhab al-Syafi’i juga ada pembahasan tentang mashlahah, 
bahkan juga ada perhatian tentang prinsip lima hak dasar atau al-kulliyah 
al-khams seperti kita lihat dalam al-Mustashfâ-nya al-Ghazali? Benar, tapi itu 
hanya dimungkinkan dalam kerangka empat sumber hukum yang telah dikukuhkan 
tersebut, dan tidak mungkin mengambil satu posisi tertentu sebagai sumber hukum 
yang berdiri sendiri di luar dari empat sumber itu. Dengan demikian, bentuk 
pemikiran apapun tentang mashlahah bila berada di luar dari “jangkauan” nash 
atau teks agama, dalam arti tidak ditemukan di sana dasarnya atau dalalah-nya 
dalam bahasa al-Syafi’i, jelas akan ditolak. Tidak mengherankan kemudian kalau 
misalnya salah satu keputusan Muktamar NU di Cipasung 1994 tentang kemaslahatan 
menyebutkan bahwa mashlahah ‘ammah (atau public good) tidak boleh bertentangan 
dengan al-Qur’an dan hadis, ijma’ dan qiyas [lihat bab 2 dalam buku ini]. Maka 
apa yang dikatakan dengan al-kulliyah al-khams pada akhirnya dibatasi menjadi 
persoalan mashlahah (kemaslahatan dan kebaikan) dan mafsadah (kerusakan), 
seperti yang kita lihat dalam al-Mustashfa-nya al-Ghazali: 

“Bahwa tujuan syari’at agama bagi umat manusia adal lima hal, yaitu memelihara 
(menjamin dan melindungi) agama (din), dirinya (nafs), akalnya (aql), 
keturunannya (nasl) dan harta bendanya (mal). Maka semua yang mencakup jaminan 
perlindungan kelima hal pokok tersebut dikategorikan sebagai mashlahah dan 
semua yang mengancam keselamatan atau merugikan kelima pokok itu dikategorikan 
mafsadah, dan upaya menghindarkannya adalah mashlahah” [al-Ghazali t.t. vol. I: 
287]. 

Persoalan mashlahah (kemaslahatan dan kebaikan) dan mafsadah ini malah 
dikukuhkan dalam disiplin qawaid fiqhiyyah (legal maxims, hukum-hukum fiqh) 
misalnya dalam qaidah al-dlarar yuzâl (kemudaratan dihindarkan), dar’ul mafâsid 
muqaddamun ala jalb al-mashâlih (menghindari kerusakan lebih diutamakan 
daripada menarik manfaat), atau qaidah la dlarar wa la dlirâr (tidak boleh ada 
kerusakan dan juga tidak boleh menimbulkan kerusakan kepada orang lain). 

Masalah qawaid fiqhiyyah ini perlu disinggung di sini. Karena dalam lingkungan 
mazdhab al-Syafi’i, terutama yang dianut kalangan NU di Tanah Air, di samping 
disiplin ushul fiqh, qawaid fiqhiyyah menduduki posisi yang penting dalam 
proses istinbath, termasuk dalam konteks pemikiran Islam dalam lingkup yang 
lebih luas. Salah seorang tokoh mazhab Syafi’i, Jalaluddin al-Suyuthi, dalam 
bukunya al-Asybâh wa al-Nazhâ’ir, yang merupakan rujukan utama dalam qawaid 
fiqhiyyah, manyatakan bahwa “al-fiqh ma’rifah al-nazha’ir” (pemikiran fiqh 
adalah pemikiran tentang kasus-kasus yang disepadankan satu sama lain) 
[al-Suyuthi t.t.: 5]. Apa yang dimaksud dengan nazhâ’ir atau kasus-kasus yang 
disepadankan satu sama lain itu tidak lain adalah bagian mekanisme qiyas itu 
sendiri, atau seperti dikatakan al-Suyuti “liyuqâs alaihâ ma laisa bi manqûl” 
(untuk mengqiyaskan kasus-ksus yang tidak dinyatakan dalam teks agama dengan 
qaidah-qaidah tersebut) [Ibid.]. Sehingga, dalam konteks disiplin semacam ini, 
qaidah-qaidah fiqh telah beralih menjadi suatu asal, menjadi teks primer, di 
samping al-Qur’an dan hadis, yang memungkinkan diberlakukannya mekanisme qiyas 
terhadapnya. Bukankah qaidah-qaidah tersebut sebagian merupakan teks hadis dan 
sebagian lagi menimba maknanya dari al-Qur’an? Singkatnya, pemikiran tentang 
mashlahah yang dibakukan dalam qawâid fiqhiyyah pada akhirnya bermuara menjadi 
pembakuan-pembakuan cara-cara berpikir yang kembali kepada teks, dan pada 
gilirannya juga tetap merrupakan bagian dari ortodoksi yang tertutup. 

Ushul Fiqh Sebagai Rasionalisme “Non-Teks” 

Dengan demikian, perbincangan tentang kemaslahatan umat manusia dalam pemikiran 
ushul fiqh haruslah beranjak dari kritik terhadap qiyas. Karena dalam qiyas 
inilah pemikiran manusia dikekang dan dibelenggu sehingga tidak memungkinkan 
dirinya berpikir tentang sesuatu yang berada di luar teks, dan itu artinya, 
tentang sesuatu yang berada di luar garis ortodoksi. Kalau kita mau misalnya 
berbicara tentang demokrasi, hak asasi manusia, atau sosialisme, maka 
pertama-tama orang akan bertanya: mana rujukannya, mana teksnya? Kalau tidak 
ada teksnya, ya percuma bicara tentang perjuangan membela kelompok-kelompok 
terpinggirkan, tentang sebuah empowering, dan tentang “rahmatan lil-âlamin”, 
dan juga tentang kritik kemapanan ortodoksi. Demi tirani teks! 

Maka, kita akan lihat kemudian satu bentuk lain, sebuah perlawanan, dari 
pemikiran ushul fiqh di luar yang telah digariskan dan dibakukan oleh Imam 
Syafi’i namun posisinya hingga kini tetap marjinal. Ini kita temukan dalam 
pemikiran tokoh-tokoh fiqh Andalusia [kini Spanyol], mulai dari Ibn Hazm, Ibn 
Rusyd hingga al-Syathibi, yang sama-sama bergerak pada level ta’shîl al-ushûl, 
yakni mengajukan alternatif pendekatan metodologis yang baru terhadap 
metodologi lama. Sebutan ta’shil al-ushul dipakai al-Syathibi untuk proyek 
pemikiran ushul fiqh alternatifnya sebagaimana tertuang dalam al-Muwâfaqah-nya 
[al-Syathibi t.t. vol. I: h. 99]. Di sini sengaja tidak diangkat pemikiran Najm 
al-Din al-Thufi tentang mashlahah yang ditempatkan sejajar dengan posisi 
al-Qur’an dan Sunnah, bahkan melampaui keduanya. Hal ini sebagian karena 
ide-ide al-Thufi tersebut tidak ditujukan sebagai ta’shil al-ushûl untuk 
merombak metodologi dan cara-cara berpikir lama dengan mengangkat satu sistem 
berpikir baru yang lebih sepadan dengan semangat “radikalisme” mashlahah-nya 
itu. 

Harus diakui, Ibn Hazm, Ibn Rusyd, dan al-Syathibi semuanya lahir di wilayah 
Andalusia yang telah mengenal tradisi rasionalisme Aristotelian (sebutan Arab 
klasiknya, burhâni). Pertama-tama, Ibn Hazm (384-456 H) mengangkat tema 
rasionalisme dalam Syariat dengan mengukuhkan “hujaj al-‘uqûl” (argumen-argumen 
akal), dan sekaligus menjadikannya sebagai rujukan [1980 vol. I: 27]. Berbeda 
dengan pandangan dominan selama ini yang mengidentikkan dirinya sebagai seorang 
literalis atau tekstualis (zhâhiri), Ibn Hazm tampak menampilkan dirinya 
sebagai seorang yang sama-sama mengakui kekuatan akal dan wahyu dalam porsinya 
masing-masing. Menurutnya, wilayah jangkauan wahyu terbatas pada apa yang telah 
dijelaskan secara lengkap oleh agama beserta segenap hukum-hukumnya. Sehingga 
dalam pikiran Ibn Hazm, tidak mungkin lagi kita membutuhkan qiyas dalam konteks 
hukum-hukum agama karena Tuhan sendiri telah mengatakan “alyaumu akmaltu lakum 
dinakum” dan “ma farrathna fil-kitab min say’i” (tiada satu pun yang kami 
tinggalkan untuk kami jelaskan dalam al-Qur’an). Sementara wilayah akal justru 
porsinya lebih luas, karena urusan duniawi merupakan urusan manusia demi 
kemaslahatan manusia itu sendiri. Argumentasinya, hadis Nabi “antum a’lamu bi 
umur dunyakum” (kalian lebih tahu urusan dunia kalian), dan juga prinsip 
“al-ashl fil al-asyya’ al-ibahah” hukum asal dari segala sesuatu adalah boleh). 
Maka, otoritas untuk mengetahui urusan duniawi tersebut dibebankan kepada akal 
manusia [Ibid. vol VII: hal. 2]. 

Paradigma pemikiran semacam inilah yang kemudian dikenal dengan sebutan 
“literalisme”, karena lebih mengandalkan pola pemahaman terhadap teks-teks 
agama, bukan urusan duniawi, dalam makna dan konteks literalnya, tanpa menukik 
lebih jauh ke dalam penakwilan-penakwilan yang menyesatkan. Ia mengatakan: 
“Tidak dibenarkan memalingkan satu kata atau lafaz yang sudah dikenal maknanya 
dalam bahasa dari maknanya yang asli dalam bahasa tersebut, yang dengannnya 
Tuhan menyampaikan pesan-pesannya dalam al-Qur’an, ke satu makna yang bukan 
miliknya, kecuali kalau itu didukung oleh satu teks dalam al-Qur’an atau dalam 
Rasulullah SAW, atau ijma’ semua ulama, atau memang dibenarkan oleh persepsi 
inderawi dan akal manusia. Maka, atas dasar unsur-unsur pendukung semacam 
itulah dibenarkan terjadinya takwil” [Ibn Hazm t.t. vol. III: 50]. 

Pertanyaannya kemudian, bagaimana akal tersebut memainkan fungsinya menyangkut 
perkara-perkara yang tidak dinyatakan secara eksplisit dan literal oleh 
teks-teks agama? Dalam soal ini, Ibn Hazm menyatakan perlunya mengadopsi 
pendekatan logika Aristoteles, termasuk premis-premis dan middle term-nya 
(al-had al-awsath), dan menerapkannya dalam persoalan-persoalan hukum agama 
[Ibid. vol. II: 95]. Bagaimana itu diterapkan? 

Pertama, hal itu mengharuskan dirinya untuk mengkritik qiyas yang menurutnya 
menyalahi prinsip hakekat sesuatu, karena membenarkan persamaan antara dua hal 
yang berbeda spesiesnya (naw’). Qiyas baginya harus dibenarkan selama 
penganalogian dan pengidentifikasian tersebut berlangsung pada tataran spesies 
yang sama pula. Seperti dalam kasus pengharaman Nabi terhadap jual beli barter 
di antara biji gandum yang nilainya tidak sama. Dalam kasus ini, tidak 
dibenarkan mengqiyaskan satu batang kayu yang kuat dan besar dengan biji gandum 
tersebut dalam status pengharamannya, karena ada perbedaaan dalam spesiesnya. 
Kecuali kalau ada teks lainnya yang menyebutkan demikian secara eksplisit [1980 
vol. VII: 185-186]. Kalau qiyas dibenarkan, kata Ibn Hazm, tanpa 
mempertimbangkan hakikat genus (jins) dan spesies sesuatu, maka kita bisa saja 
terperangkap pada cara-cara berpikir yang mempersamakan hukum memakan daging 
kambing dan daging babi, karena adanya kesamaan di antara keduanya dari segi 
fisik misalnya. Misalnya sama-sama berkaki empat, mamalia, dan hewan menyusui. 
Tapi, kambing halal dan babi haram, justru karena adanya teks yang menyatakan 
mengharamkan yang ini, dan menghalalkan yang itu [Ibid.:191-194]. Singkatnya 
Ibn Hazm mengkritik qiyas dari perspektif Aristotelian yang memandang sesuatu 
dari genus dan spesiesnya, dan juga dari sisi hukum kausalitasnya, dan bukan 
dari perspektif atomisme (jauhr fard) model Asy’ariyah yang memungkinkan qiyas 
berlaku tanpa kontrol, tanpa mempertimbangkan hukum sebab-akibat [tentang hukum 
kausalitas, lihat Ibid. vol. VIII: 99]. 

Namun demikian dalam soal ini, Ibn Hazm hanya menekankan pada “literalisme” 
teks-teks agama tanpa mengarahkannya kepada sebuah konsep universal tentang 
“mashlahah” dan “maqâshid syar’iyyah”. Maka, tugas rasionalisme dalam konteks 
literalisme dan mashlahah di atas kemudian dielaborasi secara lebih matang oleh 
Abu Ishaq al-Syathibi (w. 790 H). Tapi sebelum al-Syathibi sudah muncul Ibn 
Ruyd (520-595 H) yang bukan hanya dikenal sebagai filsuf, tapi juga peletak 
dasar cara-cara berpikir yang rasional dalam bidang ushul, baik ushul al-din 
maupun ushul al-fiqh. Dalam bukunya al-Kasyf ’an Manahij al-Adillah, Ibn Rusyd 
telah menekankan perlunya memahami teks-teks agama pada makna literalnya dalam 
konteks memahami maqasid-nya [1968: 41]. Literalisme semacam ini merupakan 
perpanjangan dari paradigma zhahiriyyah Ibn Hazm, sementara yang kedua 
merupakan tema yang dikembangkan kemudian oleh al-Syathibi. Kita akan kupas 
bagaimana yang terakhir ini merumuskan maqasid syar’iyyah tersebut dalam 
bingkai mashlahah-nya. 

Seperti halnya Ibn Hazm dan Ibn Ruyd, al-Syathibi juga menganut paradigma 
Aristotelianisme. Ia misalnya mengajukan konsep “al-kulliyyâh” (universalisme) 
dalam syariah yang diperoleh dari pengamatan secara induktif atas segenap 
detil-detil hukum syariah, yang kemudian bersifat qath’iy dan meyakikan 
[al-Syathibi t.t. vol. I: 77-78]. Ada tiga prinsip yang membuat kulliyah 
syar’iyah bersifat qath’iy dalam pandangan al-Syathibi. Pertama, prinsip 
universal dan keumuman syariah, yang mencakup semua mukallaf (subyek hukum) 
tanpa mengkhususkan diri pada waktu dan tempat tertentu. Kedua, prinsip 
ketetapan (tsubût) dan ketidakberubahan syariah, karena hukum-hukum syariah 
bersifat demikian, yang wajib misalnya tetap dalam keadaannya sebagai sesuatu 
yang wajib, yang haram tetapa haram, demikian pula yang berupa hukum-hukum 
syarat. Ketiga, prinsip legalitas (qânûniyah), yakni bahwa disiplin keilmuan 
ini bersifat mengatur, karena hukum-hukum syariah yang berupa perintah dan 
larangan adalah sesuatu yang superior dan tidak ada yang mengatasinya. 

Hal semacam ini berbeda misalnya dengan Ibn Taymiyah yang menafikan konsep 
“al-kulliyah” karena dianggapnya tidak berwujud di alam kenyataan, tapi hanya 
di alam pikiran. Sehingga ia disebut-sebut sebagai peletak dasar “empirisme” 
dalam Islam. Padahal ketika mengkritik “al-kulliyah” itu, Ibn Taymiyah sedang 
berada dalam posisi mempertahankan dan menyelamatkan qiyas yang dikenal dengan 
orientasi probabilitas (zhan) dan partikularitasnya (juz’iy). Sementara posisi 
al-Syathibi bukanlah mempertahankan hukum-hukum dan mekanisme qiyas, tapi dalam 
konteks mempertahankan sifat kepastian dan ketidakraguan (qath’iy) syariah 
berdasarkan hukum-hukum akal. Maka yang termasuk dalam konteks al kulliyah yang 
disebutnya qath’iy itu adalah konsep maqasid syar’iyyah-nya (tujuan-tujuan 
kemaslahatan syariat) yang diidentikkan dengan konsep final causa-nya 
Aristoteles, dan itu artinya ditempatkan sebagaimana layaknya posisi hukum 
kausalitas. Sedangkan Ibn Taymiyah malah menempatkan maqasid syar’iyyah sebagai 
subordinat dari qiyas, dan tidak melihatnya sebagai sumber hukum yang pasti. 

al-Syathibi menjelaskan adanya empat bentuk maqasid sebagai berikut: 

Pertama , bahwa syariah agama diturunkan untuk kepentingan kemaslahatan umat 
manusia. Kemaslahatan ini terbagi tiga: dlarûriyah (yang bersifat emergency, 
mencakup kemaslahatan akal, jiwa, harta, keturunan dan agama), hâjiyah (yang 
bersifat sekunder, seperti kebutuhan sandang dan papan), dan tahsîniyah (yang 
bersifat tersier dan pelengkap, seperti kebutuhan bersenang-senang dan 
rekreasi) [Ibid. vol II: 8]. Mazhab Syafi’i terutama sejak al-Ghazali juga 
menekankan prinsip ini. Cuma bedanya, yang terakhir ini membicarakan prinsip 
mashlahah dan al-kulliyah al-khams itu dalam kerangka dasar-dasar dan 
sumber-sumber hukum yang telah ditetapkan oleh Imam Syafi’i. Sehingga, tidak 
dimungkinkan untuk melampaui keempat sumber hukum tersebut demi kepentingan 
mashlahah yang dikatakan tidak punya dasar sama sekali. Apalagi mereka 
berbicara tentang mashlahah dalam konteks yang menafikan istihsân dan mashalih 
mursalah (kemaslahatan yang tidak punya dasar dalam teks agama). 

Kedua , bahwa syariah agama diturunkan agar dipahami oleh umat manusia. Prinsip 
ini menekankan semangat kontekstualitas dan historisitas dari maqasid sehingga 
tetap aktual dan relevan sepanjang masa dan di setiap tempat. al-Syathibi 
misalnya menekankan bahwa syariat agama diturunkan dalam bahasa Arab dan dalam 
lingkungan sosial masyarakat Arab, sehingga untuk memahaminya diperlukan 
pengetahuan tentang apa yang dikenal dan diketahui masyarakat Arab dalam 
lingkungan bahasa dan kehidupan mereka [Ibid. vol. II: 69-82]. Namun, dalam 
kerangka seperti ini, al-Syathibi tidaklah terjebak pada bentuk-bentuk 
penalaran yang – seperti sering kita temukan saat ini – misalnya membaca bahwa 
penemuan sains atau demokrasi sudah ada dalam al-Qur’an. Ia justru menguraikan 
batas-batas linguistik dan historis ayat-ayat al-Qur’an, dalam setting sosial 
tertentu, untuk menghindari pemaknaan dan pembacaan yang membengkakkan 
ayat-ayat tersebut di luar dari “makna historis”-nya Tentu saja, keseluruhan 
investigasi metodologis yang dilakukan al-Syathibi ini membutuhkan basis kajian 
sejarah yang begitu kuat, dan konsep “asbâb al-nuzûl” (sebab-sebab turunnya 
ayat) merupakan modal baginya. 

Ketiga , bentuk ketiga dari maqasid syar’iyyah adalah taklif, yakni bahwa 
pembebanan kewajiban agama kepada umat manusia harus berada dalam kerangka 
kemampuan dan keterbatasan umat manusia, karena Allah tidak akan membebani 
seseorang melebihi dari batas kemampuan dan kesanggupannya untuk memikul beban 
tersebut [Ibid, vol.II, hal. 107-111]. Singkatnya, menurutnya, “syariah agama 
diturunkan untuk kepentingan kemaslahatan umat manusia secara mutlak dan 
menyeluruh” [Ibid, vol. II, h. 323]. 

Keempat , maqasid berikutnya adalah melepaskan umat manusia dari kungkungan 
hawa nafsunya, sehingga menjadi hamba Allah secara merdeka, setelah menjadi 
hamba Allah secara terpaksa [168-170]. 

Penerapan Maqâshid Syari’ah, Bukan Penerapan Syariat 

Dengan demikian, dalam konteks pengajuan mashlahah sebagai tema mendasar dari 
hukum-hukum agama sebagaimana dirumuskan oleh al-Syathibi, kita tidak lagi 
berhadapan dengan upaya mencari-cari pendasaran hukum dari dalam teks, seperti 
yang lazim berlaku dalam konteks qiyas. Tepatnya, ia anti gerakan 
tekstualisasi, dan juga sebagai konsekuensinya anti gerakan sakralisasi. Kalau 
kita misalnya berbicara tentang hak asasi manusia, tentang pluralisme dan 
demokrasi, maka kita berpedoman kepada maqâshid syar’iyyah yang memang 
ditujukan untuk mengedepankan kepentingan umat manusia secara mutlak dan 
menyeluruh, tanpa mempertimbangkan perkara perbedaan agama, suku, ideologi dan 
kelompok. Dalam konteks seperti itu pula, kita tidak mungkin lagi terpaku dan 
terbelenggu oleh teks, apalagi oleh “mitsâl sabiq”, menghabiskan umur untuk 
mencar ‘illat atau sebab-sebab munculnya hukum sebagai dasar berlakunya qiyas, 
atau terhegemoni oleh otoritas masa lalu, atau mengotak-atik teks-teks qawaid 
fiqhiyyah. Pegangannya, singkatnya, adalah kepentingan umat manusia. 

Lalu bagaimana dengan soal penerapan syariat Islam yang kini sedang marak 
diangkat lagi di Tanah Air? Kalau yang dimaksud dengan syariat Islam adalah 
seperti yang diberlakukan dalam rumusan al-Syafi’i, dalam kerangkeng 
hukum-hukum qiyas, maka kita diajak masuk dalam lingkaran teks-teks agama 
secara harfiyah dan partikular, terlepas dari setting kulliyyah dan maqashid 
al-syari’ah yang merupakan semangat dasar terbentuknya syariah. Kalau sebuah 
teks mengatakan harus ada hukum potong tangan untuk kasus kriminal pencurian, 
maka – mengikuti rumusan al-Syathibi – yang diberlakukan bukan makna literal 
atau harfiyahnya, tapi semangat dasar yang mengantarkan kepada jenis 
penghukuman semacam itu. Misalnya untuk membuat jera pelaku kriminal, untuk 
bisa memperbaiki kembali perilakunya tersebut, dan juga menjaga kepentingan 
menjaga al-kulliyyah al-khams, yang salah satu unsurnya adalah menjaga harta 
benda. Dan semangat inilah yang disebut al-Syathibi sebagai prinsip “ketetapan 
(tsubût) dan ketidakberubahan syariah”. 

Demikian pula halnya kalau kita berbicara tentang persoalan-persoalan 
sosial-politik. Misalnya, apakah sistem politik demokrasi itu relevan dengan 
syariah atau tidak. Yang dilakukan kemudian bukan mengutak-atik ayat-ayat 
al-Qur’an atau hadis, mencari-cari apakah ada demokrasi dalam Islam atau tidak, 
tapi justru mengakomodasi persoalan tersebut dalam konsep maqâshid syari’ah dan 
“mashlahah. Maka, kalau demokrasi tidak bertentangan dengan prinsip syariat 
“kepentingan kemaslahatan umat manusia”, hal itu bisa diterima. Dan kita tahu 
bahwa demokrasi di antaranya menjamin kebebasan warga menyalurkan aspirasi 
politiknya, tanpa tekanan dan paksaan, dan menjamin hak-hak sosial individu 
untuk memperoleh kesejahteraan hidup yang layak. Dan syariat juga diturunkan 
untuk menjamin kemaslahatan hak-hak tersebut. 

Sementara apa yang dikenal dengan “syariat Islam” hanya terbatas pada teks-teks 
agama yang sifatnya ubudiyah (ritual-ritual keagamaan), seperti shalat, puasa 
dan haji. Dan ini tidak membuka peluang untuk ditafsirkan macam-macam; tepatnya 
harus terikat secara tekstual dan harfiyah. Tapi teks-teks agama yang sifatnya 
mu’amalah (berkaitan dengan persoalan hubungan manusia antar sesamanya), maka 
hal itu membuka peluang ijtihad, terbuka untuk ditafsirkan sesuai dengan 
kebutuhan uamt amnsuia yang berubah-ubah, asalkan sesuai dengan prinsip-prinsip 
kullliyyah syariat, yakni prinsip “kepentingan kemaslahatan umat manusia” 
(public good), dan bukan sekadar demi kepentingan umat Islam secara partikular 
atau kelompok-kelompok Islam tertentu. Pendek kata, hal-hal semacam itu semua 
diakomodasi dalam konsep maqâshid syari’ah yang bersifat universal. 

Konsep “maqâshid” dan “mashlahah” semacam ini jelas berbeda dengan konsep 
“mashlahah” atau “istishlâh” seperti dikenal dalam lingkungan Sunni dengan 
keempat mazhab fiqhnya. Mereka tidak mengenal konsep “al-kulliy” yang lahir 
dari metode “istiqra’”, tidak mengenal kajian historis sebagai basis 
epistemologi dan juga tidak mengenal taradisi rasionalisme seperti yang dikenal 
masyarakat Islam di Andalusia. Sebaliknya yang mereka kenal hanyalah metode 
qiyas yang menghinggapi segenap pemikiran fiqh maupun ushul fiqh, sehingga 
konsep mashlahah tidak lebih hanya merupakan kreasi dari konsep qiyas tersebut, 
dan bukan sebagai dasar epistemologis yang melampaui qiyas. Makanya, kita kenal 
di kalangan mereka, seperti al-Ghazali, satu mekanisme yang disebut ta’lîl 
al-ahkam, istinbath al-‘ilal atau illah munasibah yang semuanya dipakai untuk 
menunjukkan adanya mashlahah tersebut. Model “mashlahah” semacam inilah yang 
kemudian dirumuskan oleh kalangan NU dalam Muktamarnya di Cipasung 1994 lalu, 
dengan mengadopsi konsep “mashlahah”-nya al-Ghazali dalam al-Mustashfâ min ‘Ilm 
al-Ushul. Lihat hasil-hasil keputusan Muktamar NU ke-29, 1-5 Desember 1994, di 
Pondok Pesantren Cipasung, Jawa Barat [1996], khususnya yang menyangkut 
keputuisan tentang “mashlahah ‘ammah” atau kepentingan umum. 

Nah, itu berarti kita perlu perubahan metodologi, dari pola dan cara-cara 
berpikir seperti yang dibakukan Imam al-Syafi’i ke metodologi dan cara-cara 
berpikir seperti yang dirumuskan oleh Ibn Hazm, Ibn Rusyd dan al-Syathibi. 
Itulah tajdid sebagaimana di isyaratkan oleh Abdurrahman Wahid dalam kutipan di 
atas : “Kalau begitu, sebenarnya kita bisa mengambil dua pola : tajdid dalam 
arti mengubah metodologi berpikir, yaitu satu model tajdid yang lebih tuntas, 
dan satu lagi tajdid dalam kerangka atau metodologi berpikir yang sudah ada”. 
Cuma sayangnya, nama al-Syathibi di lingkungan umat Islan di Indonesia, 
terutama dari kalangan tradisionalis, tidak begitu bagus sejak KH Sirajuddin 
Abbas menyebut al-Syatibi berada di luar lingkungan Ahlussunnah wal jama’ah 
[KH. Sirajuddin Abbas 1985: 195] Padahal al-Syathibi adalah penganut mazhab 
Maliki dan merupakan pewaris dari tradisi mashlahah mursalah Imam Malik, meski 
dalam bingkai rasionalisme Aristoteles seperti dipaparkan di atas. 

Pada akhirnya, dari sini kemudian kita bisa berbicara tentang ushul fiqh 
sebagai pencerahan pemikiran, yang terbuka dengan dinamika sejarah, demi 
kepentingan umat manusia secara universal, dan bukan sekadar arena 
kutip-mengutip dari teks yang bersifat konsumtif yang cuma “berpegangan pada 
pendapat-pendapat ulama salaf”, dan akhirnya diperalat demi kepentingan 
eksklusif umat Islam atau malah kelompok Islam tertentu. (Ahmad Baso)

*Makalah ini disampaikan dalam Kajian Ushul Fiqh Progresif the WAHID Institute
Jakarta, 17 Juni 2005.

**Ahmad Baso adalah alumni LIPIA (Lembaga Ilmu Pengetahuan- Islam dan Arab)

*** footnote:
Istihsan di kalangan pengikut Abu Hanifah dan mashalih mursalah di kalangan
pengikut Malik sering dimaknai sebagai cara yang mengabaikan qiyas demi
kepentingan sebuah maslahah, dan kadang juga diidentikkan dengan pengabaian
kandungan eksplisit sebuah nash demi kepentingan mengedepankan asas maqasid
al-syar’iyah (tujuan syari’at) yang di antaranya adalah kemaslahatan umat
manusia. Lihat misalnya sebagai pengantar tentang pembahasan istihsan dan
mashalih mursalah ini dalam Muhammad Abu Zahrah [t.t.].

2 komentar:

Terima kasih untuk meluangkan membaca artikel ini. Silakan tinggalkan pesan.